Bab 24


Setelah bertemu Mawar, Kris merasa lega. Sudah lama dia tidak merasa cemburu dan saat harus merasakannya lagi, dia agak sulit mengendalikannya. Mawar tertarik untuk berpaling atau tidak, lelaki itu tertarik pada Mawar atau hanya iseng, tidak penting bagi Kris. Dia tidak ingin Mawarnya bersama orang lain. Titik.

Untungnya, tadi dia juga mendapatkan bonus tambahan. Mawar yang berbaring di atasnya dan berusaha menenangkan dirinya, menyadari gairah Kris yang memang terkadang tidak bisa dikondisikan. Awalnya Mawar memberikan servis dengan mulutnya. Namun, gairah Mawar memang sama besarnya dengan gairah Kris. Mendengar bujuk rayu, mendapatkan sentuhan, lama-lama Mawar gelisah sendiri. Dialah yang kemudian menduduki Kris dan terjadilah hal-hal yang Kris inginkan.

"Assalamualaikum ...." Kris mengucapkan salam sambil tersenyum, masih merasa berbunga-bunga. Tidak berlangsung lama karena begitu masuk suasana suram langsung menyambutnya. Ayahnya yang duduk di depan tv menoleh lalu kembali menatap tv dalam diam. Sang ibu menyahut tapi agak pelan. Kris merasa orang-orang sedang enggan berinteraksi dengannya.

Kris memilih langsung masuk ke kamar. Dia harus bersiap untuk menyinggahi beberapa tempat, menuntaskan pekerjaannya yang sempat dia tinggalkan begitu saja karena tidak mood, juga karena ingin bertemu Mawar.

"Bang," Adik Kris yang baru masuk kamar memanggil.

Kris menoleh sebentar lalu meneruskan kegiatannya yang tadi sedang memilah pakaian yang akan dia kenakan setelah mandi. Dia menunggu, tapi sang adik tidak berkata apa pun.

"Kenapa?" Akhirnya dia bertanya.

Hening beberapa saat. "Abang habis ketemu Kak Mawar ya?" tanya sang adik yang bernama Guntur.

Sebenarnya Kris enggan membahas masalah pribadinya dengan sang adik. Dia menganggap, adiknya belum sepantasnya diajak membahas sesuatu yang seserius hubungannya dengan Mawar. Dia tidak merasa malu atas skandalnya dengan Mawar, karena adiknya sendiri juga penikmat gaya hidup bebas. Mereka tidak pernah saling mengganggu selama ini, bahkan beberapa kali malah pergi ke tempat hiburan malam bersama-sama. Guntur sendiri juga tidak malu saat memamerkan gadis-gadisnya.

"Kenapa kamu nanya begitu? Ibuk?" tebaknya.

Terdengar helaan napas panjang lalu bunyi dipan. Sang adik duduk di sana. Kris menutup lemari dengan tangan lain memegang pakaian gantinya nanti, lalu melangkah ke kamar mandi yang terletak di kamarnya itu juga. Enggan berdiskusi karena sudah menerka tidak akan ada hasil. Guntur pasti sudah dikuliahi panjang lebar oleh ibu mereka dan disuruh untuk memengaruhi Kris. 

"Kan nggak harus kayak gini, Bang," keluh Guntur.

Kris menghentikan langkahnya lalu memutar tubuh menghadap sang adik. "Benar, nggak harus gini. Ibu keras kepala nggak menentu. Nggak masuk akal. Kemarin sibuk nanya kapan aku nikah, sekarang malah menghalang-halangi. Kalau Ibu bahas dosa dan aib, semakin hari dosa dan aib kami semakin banyak cuma karena prinsip nggak jelas Ibu itu."

Guntur terdiam. Kris langsung berjalan lagi ke kamar mandi. Langsung, semua perasaan gembira yang tadi dia rasakan, kandas tak bersisa. Suasana hatinya jadi benar-benar buruk.


***


Pekerjaan Kris memang tidak pernah habis. Selalu ada masalah-masalah baru yang harus dia tuntaskan. Jika kemarin ada masalah pekerja yang dituduh melakukan pencurian, perhentian kerja sama dengan Danu untuk penyediaan daging sapi, sekarang dia pusing mengatur waktu untuk mengecek kebun yang dia beli memakai uangnya sendiri serta pekerjaan lainnya. Orang mengira uang mengalir begitu saja, padahal dia harus terus memantau semuanya serta pintar-pintar mengatur keuangan karena di balik semua usaha, ada pembiayaan serta utang yang harus dia pikirkan.

Belum lagi dia mendapat sindiran dari tantenya, dituduh tidak peduli keluarga hanya karena perempuan yang sebenarnya biasa saja. Pasti, ibunya yang menghasut. Menceritakan versi ibunya dengan penuh emosi sehingga sang tante jadi ikut bersemangat untuk ikut campur.

Karena belum mendapatkan ide harus bagaimana membuat pikiran ibunya berubah serta malas berdebat dengan orang tuanya, Kris menyibukkan diri dengan pekerjaan selama beberapa hari. Dia pergi pagi dan pulang sore hari. Karena Mawar sibuk mengingatkanlah dia masih ingat makan. Kadang memang lupa, kadang tidak berselera. 

Kris sudah merindukan Mawar lagi, tapi wanita itu menolak bertemu dengan alasan mereka hanya akan menambah masalah baru. Setan dalam diri Kris terkadang membujuk agar Kris sengaja mencari masalah, dengan begitu Mawar akan membujuknya dan dia akan mendapatkan apa yang dia mau. Tapi, Kris tidak tega. Dia masih ingat bagaimana Mawar menangis di pelukannya sehabis mereka bercinta di mobil kemarin. Bukan hanya dia yang tersiksa, Mawar juga. Meski tidak segigih Kris untuk memperjuangkan, ternyata Mawar juga sangat ingin mereka segera bersatu.

"Lama-lama gendut juga!" 

Kris tersenyum sambil tertawa pelan atas ejekan Elyas. Lelaki yang masih lajang di usianya yang sudah menginjak kepala 4 itu mana paham permasalahannya. Tidak ada seorang lelaki pun yang akan paham, jika mereka tidak pernah merasakan cinta dan harus memperjuangkan cinta itu.

"Bang Kris." 

Kris menghembuskan napas malas saat mendengar suara itu. Namun, dia masih menoleh dan tersenyum tipis.

"Disuruh Bunda nganterin ini, tadi. Kok malah udah makan duluan." Dian mengangkat rantang di tangannya agar Kris bisa melihatnya sambil berjalan mendekati meja Kris.

"Ya udah, sini untuk aku aja." Elyas menimpali.

"Ya nggak boleh lah, Bang Elyas. Kan ini disuruh Bunda kasih ke Bang Kris."

"Nggak papa sih, kasih aja. Soalnya aku udah makan kan." Kris menjawab tanpa menoleh ke Dian yang kini sudah berdiri di seberangnya.

"Nanti aku dimarahin Bunda," ucap Dian manja.

Kris mengunyah suapan terakhirnya lalu mencuci tangan di kobokan yang sudah disediakan. "Ya udah, letakkan aja."Dia memberi anggukan kepala, kode agar Dian meletakkan rantang itu di meja.

"Ah enggaklah, nanti Abang kasih ke Bang Elyas." Dian memasang ekspresi merajuk manja.

Elyas dan Dian saling berdebat, menjadi hiburan tersendiri bagi Kris. Awalnya dia kesal, lama-lama dia malah ikut menggoda Dian. Tertawa saat adik sepupunya itu marah karena diserang dua orang sekaligus.

"Eh ... Bang Kris bukannya belain!" Dian mencubit lengan Kris, yang secara refleks Kris gerakkan menjauh. Dian yang semakin kesal malah memukul lengan Kris berkali-kali. 

Kris dan Elyas tertawa terbahak-bahak. Dian menghentakkan kakinya, lalu pergi dengan langkah kasar dibuat-buat.

"Ngambek beneran dia?" tanya Elyas.

"Enggaklah. Kayak baru kenal Dian aja." Kris memindahkan rantang dari mejanya ke meja Ilyas. Mereka memang duduk di meja yang berbeda karena mejanya memang kecil dan hanya bisa diduduki 2 orang. Elyas juga sepertinya paham Kris enggan diganggu.

"Padahal kalau kamu nikahnya sama dia, pasti langsung direstuin kan."

Kris yang tadi sudah bersikap santai, jadi kembali kehilangan mood. "Bercandanya nggak lucu. Dia sepupuku dan bukan tipeku." Dia berdiri lalu menatap Elyas sinis.

"Santai, Bro. Bercanda. Tapi, ada benarnya kan? Dia sepupu kesayangan ibumu. Dia juga udah lulus kuliah. Anaknya lembut, manja, cantik. Aku aja suka, kok."

"Ya udah, nikahin aja sana. Kenapa malah nyodorin ke aku? Kurang kerjaan!"

Kris paham itu candaan biasa di antara lelaki. Namun, hubungannya yang sedang rumit dan di ujung tanduk, tidak layak dijadikan candaan. Suasana hatinya mudah memburuk kalau orang-orang mengungkit hubungannya dengan cara yang menyebalkan.

Ponsel Kris berdering. Kris mengeluarkannya dari saku dan memejamkan mata setelah melihat nama yang tertera di layar. Ibunya. Panggilan pertama sudah terhenti karena terlalu lama diabaikan. Masuk ke panggilan kedua, Kris mengangkat dengan malas.

"Ya?" tanyanya dingin.

"Pulang, Bang. Ayah sama Ibu kelahi karena kamu dan sekarang Ibu pingsan!"


NB


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top