Bab 23

Untungnya Ardi bisa diajak kompromi. Berbekal uang yang diberi Kris, Mawar memberi sogokan kepada lelaki yang memang matre itu. Akhrinya abang sepupunya itu menjemput dan mereka pergi dengan alasan menjenguk teman Mawar yang sakit. Ardi mengantarkannya ke tempat yang Mawar minta, lalu langsung pergi. Tidak lama, mobil berhenti di depan Mawar. Saat dia masih menerka-nerka, kaca mobil itu bergerak turun. Membuat Mawar tersenyum dan langsung membuka pintunya, duduk di sebelah sang supir yang tak lain adalah Kris.

"Kita ke mana?" tanya Kris ketus, masih merajuk.

Berinisiatif mencairkan suasana, Mawar melingkarkan tangannya di lengan Kris dan menempelkan tubuh mereka. Kepalanya dia senderkan di bahu Kris. "Bingung juga. Kamu ada ide?"

"Nggak tau, nggak bisa mikir."

Akhirnya Mawar mengalami juga, menghadapi sisi kekanak-kanakan lelaki yang sedang merajuk dan bersikap manja.

"Tempat yang sepi, biar nggak ada yang lihat. Kamu kan biasa tuh ngajak perempuan ke tempat sepi-sepi," canda Mawar.

Kris mendecak kesal dan wajahnya semakin masam. 

"Kamu udah makan?" Mawar bertanya sambil menatap Kris. Dia yakin lelaki itu sadar dia sedang ditatap. Reaksi tubuhnya tidak bisa berbohong. Anehnya, di saat seperti ini Kris malah seolah salah tingkah. Mungkin, terka Mawar, dia ragu harus tetap merajuk atau meladeni sikap ganjen Mawar.

"Kris sayang ... udah makan belum?"

Lelaki itu menjawab dengan menggelengkan kepala. 

"Ck, nanti asam lambungnya naik baru tau. Kita singgah dulu deh beli makanan. Kamu mau makan apa?"

Kris hanya mengedikkan bahunya, masih dalam mode dingin. Mawar akhirnya meminta Kris singgah di toko kue dan mengambil roti secara acak serta beberapa botol minuman. Pilihan itu lebih praktis bagi mereka yang belum tahu hendak ke mana. 

"Jadi, kita mau ke mana?" tanya Mawar saat kembali masuk ke dalam mobil. Dia memiringkan tubuh menghadap ke belakang saat meletakkan plastik belanjaan di bagian lantai, lalu mengambil satu roti. Setelah membuka plastiknya, dia menyobek roti itu dan menyuapkannya pada Kris.

Suapan demi suapan diterima Kris dalam diam. Hal yang sama terjadi saat Mawar menyodorkan botol air minum, lelaki itu minum dengan bantuan sedotan. Mobil kemudian terhenti di daerah yang sesuai dengan keinginan Mawar, sepi sekali. Mereka masuk ke area lahan tidak terpakai yang berisi beberapa pohon tinggi tapi tidak selebat tanaman di hutan. Rumputnya juga tidak semak sehingga Mawar merasa aman. Suasananya mirip seperti di hutan kota.

"Kamu sering ke sini?" tanya Mawar setelah selesai meneliti sekitar.

Kris meliriknya malas. Lelaki itu kemudian membuang napas panjang seakan merasa sangat lelah, lalu merendahkan posisi punggung kursinya. Tangannya dilipat di dada, pandangannya lurus ke depan.

"Masih lapar nggak? Mau roti rasa apa?" Mawar sudah mengulurkan tangannya ke plastik berisi roti-roti tadi, karena tidak mendapat jawaban, dia menoleh ke arah Kris. Masih berusaha bersabar menunggu jawaban yang nyatanya tak kunjung tiba.

"Jangan kayak anak-anak dong, Kris. Aku nggak biasa nanganin orang merajuk begini. Kalau kamu adekku aja, udah aku bentak nih."

"Ya udah, bentak aja," sahut Kris sinis.

"Nggak ah, takut kualat sama calon suami." Mawar berusaha menggombal.

"Calon suami kamu yang mana satu?"

Mawar akhirnya mengambil satu roti secara acak, lalu membaguskan posisi duduknya. Sengaja menghela napas kasar agar terdengar oleh Kris. "Yang mau sama aku kan cuma kamu, Sayang. Peletnya cuma mempan di kamu."

"Bohong banget."

"Kamu kira Ardi naksir aku? Kalau dia naksir, nggak mungkinlah dia mau ngantarin aku ketemu sama kamu. Dia itu cuma mau dapat untungnya aja. Contohnya tadi, kan aku kasih dia uang. Pake uang dari kamu sih." Bibir Mawar menyengir.

"Ya bisa aja dia mau duitnya juga mau kamunya juga."

Kris memang lelaki yang pantang menyerah, batin Mawar. Yang untuk kejadian saat ini, jadi menjengkelkan.

"Manalah aku mau, Sayang, sama laki-laki modelan begitu. Aku maunya kan sama kamu. Yang udahlah baik, sabar, royal." Sengaja, wanita itu menekankan kata terakhirnya.

"Kamu kalau ada maunya, baru panggil-panggil sayang. Kalau enggak, mana ada." Suara Kris kini lebih lembut. Sepertinya, emosinya mulai mereda.

"Aku nggak lapar," ucapnya saat Mawar kembali menyuapkan sobekan roti.

Merasa enggan memaksa, Mawar memasukkan lagi sobekan roti itu ke plastiknya dan meletakkannya di saku pintu mobil. "Dari dulu aku penasaran rasanya dicemburui dan kepengen dicemburuin. Kesannya keren aja. Kayak lagi dibucinin banget. Tapi, pas kejadian kok malah nggak enak ya? Apa momennya nggak pas?"

"Aku udah sering cemburu sama kamu. Kamu aja yang nggak pernah cemburu sama aku."

"Kata siapa? Aku banyak makan hati, tau, deket sama kamu. Kamu pasti kan---" Tuduhan yang sudah diujung lidah, Mawar hentikan. Dia masih saja sulit menerima kenyataan Kris tidak dekat dengan wanita mana pun saat mulai intens berhubungan dengannya. Dia merasa bersalah karena terus menyudutkan Kris padahal lelaki itu terbukti setia belakangan.

"Pasti apa? Ha?" Kris menantang, seolah tau apa yang Mawar pikirkan. "Kamu selalu nuduh aku, padahal kamu yang ramahnya kelewatan sama laki-laki. Ke mana-mana semotor berdua. Kadang duduk juga dempet-dempetan. Kamu kayak nggak peduli perasaan aku gimana. Udah gitu, tetap aja aku yang terus dituduh ganjen dan punya banyak simpanan."

"Maaf, Sayang." Mawar mencoba menyelipkan tangannya di bawah ketiak Kris untuk menggandeng tangan lelaki itu, tapi Kris menggerakkan tubuhnya, menolak. Malah mempererat lipatan tangannya di dada.

"Hati aku sakit, Mawar. Harusnya aku yang ke mana-mana sama kamu. Bercanda sama kamu. Jadi tempat kamu curhat dan nanya pendapat. Tapi kamu .... Kalau aku yang kamu pergokin semotor berdua sama perempuan lain, mungkin kamu udah minta putus dan blok aku. Tapi, aku mana bisa begitu kan. Kalau aku nyerah, pasti kamu langsung cari kebahagiaan kamu sama laki-laki lain."

"Nggak gitu ...." Mawar yang merasakan kepedihan dalam setiap ucapan Kris, merasa bersalah. Awalnya Mawar menganggap semua ini sepele, tapi sekarang dia percaya, hal yang sepele itu benar-benar menyakiti hati Kris.

"Hei, dengerin aku." Ditangkupnya wajah Kris dan diarahkan untuk menoleh padanya. Mawar mendaratkan kecupan di bibir lelaki itu. "Emang harus gini dulu kan, kita? Emang harus ngalah. Syarat dari ayahku begitu dan Ardi itu sepupuku. Aku juga keluar karena aku mau ketemu ... Siska. Dia ngajak ketemu."

Ekspresi Kris yang sempat melunak, kembali kesal. "Ngapain kamu ketemu dia? Mau dengar hasutan nggak masuk akal dia?"

"Enggaklah, Sayang," dusta Mawar. "Dia cuma mau ngobrol biasa. Mungkin dia juga sungkan ngorek-ngorek masalah hubungan kita."

"Kamu hobi banget, Mawar, bohongin aku. Astagaaaa ...." Kris membuang pandangannya keluar jendela. "Aku nggak tau berapa banyak lagi kebohongan yang lagi kamu simpan.

Mawar merutuk dalam hati. Bisa-bisanya dia tidak menerka kalau Kris sudah pasti langsung tahu kalau dia berbohong. Lagi pula untuk apa dia melindungi Siska? Seolah-olah dia butuh nama temannya itu baik di depan Kris saja.

"Aku ... minta maaf," cicit Mawar. Perasaan tidak enak menggelayutinya, membuatnya merasa tidak enak badan, bahkan perutnya mual. Suasana jadi serba tidak enak. Diluruskannya duduknya, mencoba memperbaiki semangatnya dulu sebelum kembali membujuk Kris. Yang ada dia malah bertambah sedih. Bukannya dia ingin memperdaya Kris dengan air mata, tapi tidak bisa dicegah, dia pun menangis.

"Kan ... aku juga yang salah." Kris menggumam kesal, lalu lelaki itu menarik Kris dalam pelukannya. Erat. Tapi kurang bagi Mawar karena posisi duduk mereka yang agak berjauhan dipisahkan oleh seperangkat transmisi serta handrest sialan.

"Mau dipeluk lebih kencang," rengek Mawar seperti anak kecil.

Kris malah melepaskan pelukannya, membuat tangis Mawar semakin kencang, berpikir Kris muak dengan kelakuannya yang kekanak-kanakan. Ternyata, Kris memajukan posisi kursinya lalu menurunkan posisi punggung sampai benar-benar datar.

Mawar yang langsung mengerti pun bergeser dengan lututnya ke tempat duduk Kris, ikut merebahkan diri di kursi supir. Tentu saja dengan tubuhnya yang telungkup. Mereka beberapa kali saling menggeser tubuh sampai mendapatkan posisi yang nyaman. Saat itulah Mawar menyadari perutnya mulai membuncit. Mungkin faktor stres. Dia juga agak rakus belakangan, selalu merasa lapar saat pikirannya kusut. Untungnya Kris tidak komplain. Entah tidak sadar, atau tidak peduli.

Nb

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top