Bab 20
Notifikasi saldo bertambah di aplikasi keuangan membuat kening Mawar berkerut. Dia baru sampai di rumah dan langsung masuk ke kamar, tidak siap untuk diceramahi orang tuanya. Syukurnya, orang tuanya tidak melarang. Tidak main-main, masing-masing aplikasi mendapatkan tambahan saldo sejuta. Angka yang sama rata. Jika ditotal, mencapai lima juta.
"Ulah Kris apa orang salah kirim, ya?" Mawar berucap pelan. Dia ingin bertanya, tapi Kris pasti masih bersama orang tuanya. Jadi, notifikasi pesan masuk di layar ponsel Kris bisa terbaca oleh ibunya yang sedang membencinya membabi-buta itu.
Diceknya satu per satu, dan saat membuka salah satu aplikasi, barulah Mawar mendapat kepastian bahwa si pengirim memang Kris. Saldo masuk diiringi dengan pesan 'kita berjuang sama2 syg'.
Napas panjang lolos dari hidung Mawar. Dia kasihan, tapi juga lelah. Drama seperti ini tidak cocok untuk pecinta kedamaian seperti dirinya. Apalagi dia anak tertua, beban untuk menjadi contoh yang baik di keluarga menempel erat di pundaknya. Meski mencintai Kris dan memang tidak bisa membayangkan dirinya berakhir bersama pria selain lelaki itu, Mawar tidak terima kalau keluarganya diinjak-injak.
Mawar duduk di atas ranjang dengan kaki menjulur ke lantai. Tangannya yang masih memegang ponsel di atas paha. Ibu jarinya mengetuk-ngetuk layar ponsel itu.
Dia penasaran, dari mana ibu Kris tahu dia pernah hamil--yang sebenarnya salah diagnosa. Dan dari mana pula keluar dugaan Mawar akan menggugurkannya. Mawar memang membeli obat, tapi itu kepada temannya yang bidan dan kepada temannya itu pun Mawar berkata obatnya untuk temannya yang lain. Bukan untuk dirinya.
Berdasarkan pengamatan Mawar sementara, ibu Kris hanya sembarang tuduh. Mungkin dia trauma anaknya akan disakiti sama seperti saat bersama Siska sehingga berkeras menjauhkan Mawar dengan Kris. Atau Siska memang ikut andil dalam menghasut? Tapi, apa gunanya untuk perempuan itu?
Hidung Mawar mengerut, mengendus bau tubuhnya sendiri. Rentetan kejadian tadi membuatnya lupa kalau dia belum mandi sehabis melakukan hubungan badan dengan Kris. Memalukan sekali. Jangan-jangan, batinnya, semua orang bisa mencium aromanya. Sampai saat ini Mawar memang tidak bisa merasakan aromanya, hanya saja dia selalu berpikir kalau keringat dan bau tubuh orang yang baru saja berhubungan badan pasti berbeda dengan orang umumnya.
Wanita itu berdiri dan membuka lemari, mengambil pakaian ganti. Lalu, dia beranjak ke kamar mandi yang letaknya di sudut dapur. Rumahnya memang kecil dan hanya memiliki satu kamar mandi untuk dipakai bersama, sedangkan satu kamar mandi lagi ada di kamar orang tuanya. Wajar, Mawar bisa paham, karena kadang orang tua butuh privasi untuk kamar mandinya sendiri.
Saat akan membuka pakaian, tubuh Mawar menghadap cermin kecil di dinding dan seiring tersingkapnya kaos dari tubuhnya, terlihatlah bercak merah di sekitar dadanya. Mawar menyentuh bercak-bercak itu. Untung letaknya di lokasi tertutup.
Kembali, napas kasar keluar dari hidungnya. Dia ingin bersama Kris dengan cara yang benar. Dia ingin terbangun dalam pelukan lelaki itu dan bebas melakukan apa saja bersama-sama dengan status yang sah dan halal. Jika diputar kembali waktu, dia tidak akan menolak saat Kris memintanya menemani ibu lelaki itu. Dia akan mencari muka, membuat wanita tua itu simpatik dan menerimanya sebagai menantu karena telah bersikap baik.
***
Kris: Aku udah isi saldo kamu. Pake aja. Terserah kamu buat apa.
Dasar tukang pamer, batin Mawar. Sudah sengaja dia tidak bertanya, eh si pelaku malah memperjelas sendiri.
Mawar: Makasih.
Jawaban singkat dan dingin, padahal Mawar mengirimnya sambil tersenyum.
Kris: Di tas kamu juga ada kartu debit. Aku tempel stiker kartun biar g ketahuan.
Mawar segera beranjak dari kasurnya dan menumpahkan isi tasnya di ranjang. Benar saja, ada 1 kartu yang bukan miliknya. Kartu dengan gambar kartun berwarna orange. Iseng, Mawar mencungkil bagian ujungnya. Ternyata benar itu kartu debit.
Mawar: Buat apa sih? Kayak aku g punya uang banget.
Dia mengirimkan pesan itu sambil menahan rasa sedih, terharu, dan kesalnya pada Kris. Lelaki itu seakan sudah memikirkan semuanya dan jika begini Mawar malah merasa bersalah karena tidak melakukan apa pun untuk mengimbangi perjuangan Kris. Dia duduk dengan punggung membungkuk membelakangi ranjang. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan posisi miring.
Kris: Aku mau kamu happy.
Mawar: Emang uang buat aku happy?
Kris: Emang apa yang buat kamu happy?
Kamu, ucap Mawar dalam hati sambil menghapus air matanya yang mendadak menetes.
Seolah memiliki firasat bahwa Mawar sedang gelisah hatinya, Kris malah melakukan panggilan video. Mawar tentu saja menekan tombol merah.
Kris: Cuma mau lihat kamu. Sebentar aja gpp.
Mawar: Aku lagi seksi karena mau tidur. Malas.
Kris: Justru aku jadi makin pengen lhat kamu, syg
Mawar: Dasar mesum!
Tapi, Mawar menekan tombol hijau di panggilan Kris berikutnya. Lelaki itu memegang teguh ucapannya sebelumnya karena saat panggilan itu tersambung suara memang hening. Telah dibisukan dari seberang sana.
"Cinta kamu," ucap Kris tanpa suara, tapi Mawar membaca gerakan bibirnya.
Mawar menyahut dengan memonyongkan bibirnya seolah mengejek, padahal dia hanya tidak mampu membalas ucapan itu tanpa menangis. Mawar mengatur posisi lalu membaringkan tubuhnya menghadap ke pintu. Jaga-jaga kalau mendadak ada yang masuk kamar.
Suasana kembali hening. Mawar memfokuskan pandangan pada layar ponsel, meneliti wajah Kris yang sedang terpampang di sana. Cahayanya temaram sehingga kualitas gambar kurang jelas. Namun, Mawar bisa melihat guratan lelah di wajah lelaki itu yang tidak bisa ditutupi dengan senyuman.
Suasana hati Mawar kembali membiru. Dia tidak bisa menahan tangis. Karena air mata itu tumpah juga, dia memiringkan wajahnya agar tenggelam di atas kasur.
"Hei, jangan nangis, sayang ...." Suara bisikan terdengar.
Mawar kembali meluruskan kepalanya sehingga bisa melihat layar ponsel dengan jelas. Kris mengaktifkan suaranya.
"Memang harus susah-susah dulu kan, biar kita bisa sama-sama. Nggak papa. Kamu yang sabar, ya. Biar aku bergerak sendiri. Kamu jangan memaksakan diri. Yang penting kamu jangan tinggalin aku. Tunggu aku. Oke?"
Kepala Mawar hanya mengangguk. Isakannya dia tahan. Tidak ingin Kris semakin sedih karena melihatnya semenyedihkan ini.
"Kamu di mana?" Mawar berusaha mengeluarkan suara, berbisik. Masalahnya hari sudah malam dan di antara heningnya rumah, suaranya bisa saja terdengar ke kamar sebelah. Kamar orang tuanya.
"Lagi di rumah teman."
"Kok nggak di rumah?"
"Lagi malas ketemu Ibu."
"Aku juga malas banget sama Ibu. Padahal harusnya aku baik-baik sama Ibu, ya, biar diterima jadi menantu." Mawar tertawa di ujung kalimatnya.
"Emang kamu mau jadi menantu Ibu?"
"Ya mauuu ...." Mawar menjawab kesal. "Udah terlanjur gini."
Kris malah tertawa puas. Agak kencang. Membuat Mawar spontan mematikan panggilan itu.
Kris: Sorry, tadi kelepasan. Aku seneng banget kalau kamu udah pasrah untuk nikah sama aku begitu. Pkoknya harus nikah sama aku ya syg. Jangan nyerah. Jangan kabur.
Membaca itu, Mawar merasa miris. Kalau begini, ketakutan ibu Kris malah terasa benar. Seolah-olah Mawar sedang sok jual mahal pada Kris yang mati-matian ingin berjuang. Seolah persetujuan Mawar untuk menjadi pasangan Kris karena terpaksa atau kasihan. Bukan karena cinta.
Padahal kan tidak. Mawar memang ragu, tapi ragu Kris benar-benar mencintai dan menginginkannya. Bukan ragu karena Kris tidak pantas untuknya, baik dari segi moral, sikap, maupun keuangan. Mawar yang selama ini meragukan dirinya. Karena seumur hidupnya dia memang tidak pernah dikejar-kejar lelaki sampai sebegininya. Karena tidak pernah merasa dirinya cukup cantik untuk dicintai lelaki seperti Kris.
Mawar: Aku cinta sama kamu, Kris. Aku sayang kamu. Kalau harus nikah, aku maunya memang cuma sama kamu. Jadi, aku nggak akan pernah lari dari kamu. Tinggal masalah apa kamu akan terus memperjuangkan aku atau enggak. Soalnya aku nggak sanggup kalau harus melawan orang tuaku dan frontal mengejar kamu di tengah makian ibu kamu. Aku cuma nggak mau keluargaku kena imbasnya.
Sebelum mengirim pesan itu, Mawar membacanya berulang kali, memastikan tidak ada kata yang salah. Dia ingin Kris tahu perasaannya tanpa harus merendahkan diri Mawar sendiri. Dia masih memegang teguh ucapan ibunya bahwa perempuan tidak boleh merendahkan dirinya hanya demi lelaki. Untuk masalah keperawanan, dia sudah terlanjur lepas kendali. Setidaknya dari segi sikap dan ucapan, masih bisa dia jaga.
Kris: Kawin lari aja yuk? Biar nggak perlu nunggu lama.
Mawar tertawa membacanya.
Mawar: Kita perjuangin dengan cara yang benar, ya, Sayang. Kali ini, kita lakukan dengan cara yang benar, biar ibu kamu maupun orang lain g punya alasan untuk menentang hubungan kita.
Kris: Bercanda, sayang. Aku juga maunya nikahin kamu dengan cara yang benar kok. Btw, aku mau dong kamu panggil sayang pakai suara. Vn, ya. Biar aku bisa dengar suara kamu. Bisa aku putar kalau aku rindu.
Mawar menggigit bibirnya saat senyumnya akan melebar. Ternyata lelaki yang di masa lalu bajingan, bisa juga jadi semanis ini. Bodoh sekali Siska dulu mendua-tigakannya. Tapi, ada untungnya juga. Kalau Siska dulu tidak mencampakkan Kris, lelaki itu tidak akan berakhir bersamanya. Malah mungkin sudah memiliki anak bersama Siska.
Kris: Mana vn-nya?
Mawar semakin tersenyum lebar saat Kris masih menagihnya. Kesalah tingkahan yang membuatnya gagal membisikkan kata 'sayang' dengan normal dan akhirnya setelah merekam 10 kali dengan 9 kali digagalkan, barulah voice note alias pesan suara itu terkirim.
Kris: Makasih ya syg. Mulai besok kamu wajib setoran suara sama aku, biar aku semangat terus ya. Selamat tidur syg.
Mawar: Oke.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top