Bab 2

Selamat malam minggu 💋💋💋

***

Makanan hotel tidak pernah seenak yang Mawar rasakan sekarang ini. Dia benar-benar makan dengan lahap ... menghabiskan makanan yang diambilkan Kris dengan sigap. Sebenarnya dia marah pada Kris yang melayaninya seperti itu, yang setelah melihatnya hampir menghabiskan nasi goreng di piring, langsung beranjak untuk mengambilkan makanan-makanan lain. Seperti sedang menyudutkan Mawar saja agar Kris terkesan jadi pria sangat baik hati sedangkan dia adalah wanita tidak tahu diri karena sudahlah berantakan, lebay, rakus, angkuh lagi.

"Jadi ... kita harus bicara," ucap Mawar setelah menghabiskan menu keempat dan menenggak habis satu gelas air putih.

"Benar." Kris melipat tangannya di meja dan memandang Mawar dengan pandangan yang membuat Mawar risih. Gadis yang sudah tidak gadis lagi itu berdeham dan menunduk sejenak.

Sial, ucapnya dalam hati. Musti banget ya dia ngelihatnya begitu? Atau tatapannya sebenarnya biasa aja, tapi akunya yang lagi baperan?

Satu tarikan napas panjang, lalu Mawar memberanikan diri untuk kembali menatap Kris. 

"Kita udah bebas sekarang," ucapnya dengan senyum yang dipaksakan. Berusaha terlihat senang, tapi dadanya sesak, kerongkongannya tercekat. Bahkan, matanya memanas. Benar-benar sialan, umpatnya dalam hati.

"Kamu sengaja ... atau tidak?" Suara Kris lebih pelan dan lembut dari biasanya. 

Bibir Mawar melengkung ke bawah. "Aku juga nggak tau. Awalnya garis dua, terus satu. Entahlah ... mungkin aku yang salah. Mungkin hormonku, mungkin kelainan di tubuhku. Entahlah."

"Kita cek ke dokter."

Itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

Mawar menggelengkan kepalanya. "Nggak perlu kita. Aku aja nanti ke dokternya. Yang penting kamu dan aku sama-sama udah bebas, nggak perlu pusing mikirin ... dia lagi."

"Kamu bicara seolah-olah aku harusnya senang karena sedang mendapatkan sesuatu. Kebebasan. Padahal aku sudah kehilangan sesuatu, yang begitu besar. Darah dagingku sendiri."

Sial! Sial! Sial!

Mawar benar-benar ingin berteriak saat melihat raut wajah sedih dan mendengar suara yang lesu itu. Seolah Kris benar-benar merasa terluka. Demi Tuhan, di sini, dia benar-benar sedang menjadi si jahatnya. Sedang Kris menjadi si baik yang terluka.

"Mungkin ... kamu perlu cek ke pacar-pacar kamu, siapa tau ada calon anak kamu yang lain." Mawar tertawa garing. Berharap ucapannya tidak terlalu kejam karena dia sedang realistis. Kris memang buaya darat spesialisasi penjahat kelamin meski belum kelas kakap sekali. Meski mereka tidak tinggal di kota besar, tapi gaya hidup Kris sebebas pria yang hidup di kota metropolitan sana. 

"Maksud kamu, pacar-pacar aku yang lain bisa aja sedang hamil?"

"Ralat. Bukan pacar kamu yang lain. Soalnya aku juga bukan pacar kamu. Kita kan anu ... itu ... apa namanya ... ya semacam teman tapi mesra, friend with benefit, gitu-gitulah. Dan ya, bisa aja salah satu dari perempuan yang terlibat sama kamu juga hamil. Soalnya kita aja bisa ... kebobolan kan? Kamu kayaknya lagi dalam masa subur."

Kris mengerutkan kening. Jantung Mawar langsung berdetak kencang. Yang dia ketahui, lelaki di depannya ini temperamen. Jika sudah mengamuk, apa pun bisa dia hancurkan. Kecuali yang bernyawa, tentu saja. Kris memiliki track record yang buruk dengan emosinya. Mawar bahkan pernah mendengar cerita dari sahabatnya yang juga mantan kekasih Kris kalau dulu Kris bahkan sering melukai dirinya sendiri saat marah, seperti meninju-ninju tembok.

"Bagian mana dari hubungan kita yang membuat kamu meyakini masih ada wanita lain yang terlibat sama aku?"

Mata Mawar berkedip beberapa kali, lalu mulutnya setengah terbuka. Dia kehilangan kata-kata.

***

Mawar terpaku, terdiam, membisu dalam perjalanan pulang. Dia duduk di kursi sebelah supir dengan tubuh yang memepet ke sisi pintu dan pandangan ke luar jendela. Hatinya galau. Dia teringat percakapan tadi, di mana Kris mengatakan bahwa sejak mereka berhubungan lelaki itu sudah berubah. Sudah lelah dengan kehidupannya yang tidak jelas dan memang berniat memperbaiki diri. Selain itu, dia juga sudah bosan. Dia hanya ingin menjalani kehidupan normal sebagai lelaki dewasa. Maksudnya, mulai mendekatkan diri dengan keluarga serta bekerja dengan serius.

Jauh di lubuk hati Mawar yang terdalam dia percaya. Kris memang terlihat dan terasa berbeda. Hanya saja, akalnya berkata itu hanya perasaannya saja. Karena amat sangat tidak mungkin lelaki yang dahulu kala bergaya hidup sebebas itu mendadak menjadi lelaki yang lurus. Mawar memang tidak memiliki banyak teman, tapi mata dan telinganya tetap aktif. Dia tahu sekarang ini seks dianggap kesenangan yang normal. Tidak setabu dulu. Banyak perempuan yang secara terbuka bersedia berhubungan seks dengan lelaki yang bukan pasangannya. Itulah mengapa dia akhirnya terjebak dalam hubungan sebebas ini dengan Kris. Dia penasaran, dia menikmatinya.

Waktu itu, dia menepis rasa bersalah dengan pemikiran dia bukan satu-satunya perempuan yang melakukan ini. Malah dia hanya berhubungan intim dengan satu laki-laki. Apalagi lelakinya itu tampan dan mapan. Jadi, dia tidak merasa seperti wanita tua yang sedang kehausan seks sampai rela berhubungan dengan siapa saja. Dia tetap berkelas karena masih memiliki aturan ketat saat akhirnya terjun ke dunia birahi ini. 

"Aku boleh turun?" tanya Kris. 

Mawar yang sedari tadi melamun pun menoleh lalu memandang sekitar. Ternyata mereka sudah sampai di rumahnya. Rumah kecil yang lokasinya agak di pinggiran kota. Ya ... kecil dibandingkan rumah para sahabatnya ... juga rumah Kris.

Di halaman rumahnya terdapat banyak tanaman buah maupuin bunga di dalam pot besar. Ibunya suka berkebun. Melihat itu, hatinya sedikit lebih tenteram. Ada rasa rendah diri saat kini Kris melihat rumahnya. Ini adalah salah satu kekurangan Mawar. Dia takut Kris akan mengasihani dirinya atau malah ilfeel. Namun, sudah sejauh ini, dia harus berani bukan? Toh Kris yang berkoar-koar tidak mempermasalahkan perbedaan dan belakangan dia sudah mendorong Kris menjauh meski lelaki itu bersikukuh ingin tetap bersama.

"Aku nggak pernah bawa temen cowok ke rumah. Keluargaku pasti mikir aneh-aneh. Kalau mereka bersikap menyebalkan ... maafkan ya."

"Jadi aku boleh turun?" 

Mawar kembali menoleh ke arah Kris lalu tersenyum. Seandainya tidak jadi pun, dia tidak seharusnya merasa rendah diri atau malu bukan? Gagal itu biasa. Toh pasangan yang sudah berkencan bertahun-tahun dan sudah merencanakan pernikahan saja masih bisa berpisah. Dia membawa Kris ke rumahnya dan memperkenalkan lelaki itu sebagai temannya. Teman biasa. Misal keesokan harinya mereka putus hubungan 100% pun, dia tidak harus malu bukan? Toh, dia tidak menjanjikan apa pun pada keluarganya.

Kris keluar dari mobil lalu berjalan cepat ke sisi pintu di sebelah Mawar, membukakan pintu. Untuk itu Mawar berharap tidak ada tetangga yang mengintip karena ini bisa jadi bahan gunjingan.

"Kayak aku nggak bisa buka pintu sendiri aja," gerutunya pelan sambil mendorong Kris agar tidak berjalan terlalu mepet dengannya. Lelaki itu hanya tertawa.

"Assalamualaikum ...." Mereka mengucapkan salam serempak.

"Waalaikumsalam ...." sahut Ibu Mawar diiringi suara langkah kaki cepat. Tidak berapa lama, wanita yang mulai renta itu sampai ke pintu teralis yang terkunci dan membukanya.

"Loh ... sama siapa ini?" tanyanya sambil menerima salam dari Mawar.

"Saya Kris, Tante, cal--"

"Dia teman Mawar, Bu. Tadi Mawar mau pulang dan kebetulan dia lewat daerah sini. Jadi numpang deh. Ternyata dia bilang mau tau keluarga Mawar, ya jadinya Mawar suruh singgah."

"Tadi cal apa maksudnya?" tanya ibu Mawar ulang sambil menerima salam dari Kris. Salam tempel tangan di kening. Mawar takjub dengan sopan santun dadakan Kris itu.

"Tanya Mawar aja, Tante, takut salah ngomong."

Ibu Mawar kini menatap Mawar dengan pandangan tajam, menyelidik, menunggu.

"Ayah ada nggak Bu? Nggak enak juga Kris bertamu kalau nggak ada laki-lakinya kan. Terus Mawar juga mau ganti baju dulu. Lupa jemput ganti kemarin."

"Mau duduk di teras atau di dalam?" tanya ibu Mawar. 

"Di luar aja--"

"Di dalam aja, Bu." Ucapan Mawar dipotong sang ayah.

"Assalamualaikum, Yah." Mawar masuk ke dalam rumah dan menyalami sang ayah. Lelaki itu memasang wajah datar dan menatap Kris lekat. Kris dan ibu Mawar pun melangkah ke dalam rumah. Kris ikut menyalami ayah Mawar.

"Kamu teman dekatnya Mawar kan? Mosok di teras. Kayak siapa aja. Hayuk duduk." Ayah Mawar meletakkan tangannya di punggung Kris dan menuntun lelaki itu untuk duduk di sofa. Rumah Mawar sederhana. Hanya rumah type 45 berlantai satu di mana saat masuk akan langsung disambut oleh ruang tamu. 

"Mau minum teh? Kopi?" tanya ibu Mawar.

"Air putih saja, Bu, nggak usah repot-repot."

"Kok repot. Ibu buatin kopi mau? Ayahnya Mawar juga biasanya ngopi."

Kris mengangguk sopan. Mawar berdecih dalam hati. Pintar sekali lelaki ini mengatur sikap di depan orang tua. Tapi setidaknya itu membuat Mawar tidak malu di depan orang tuanya. Baguslah.

"Ya udah, Mawar ke kamar dulu ya." Sebelum memutar badan, Mawar sempat membesarkan matanya, memberi kode yang semoga dipahami Kris bahwa dia tidak mau Kris salah-salah bicara pada keluarganya.

Lelaki itu tersenyum sambil menaikkan alisnya seolah paham dan sepakat. Dengan hati yang lega, Mawar pun masuk ke dalam kamarnya.



NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top