Bab 19

"Kamu menggugurkan dia?"

Di antara kebisingan yang terjadi di ruangan itu, ucapan Kris dan ekspresi sedihnya seakan menghisap kesadaran Mawar. Dia tidak bisa mendengar seruan yang lain dengan jelas. Tentu saja tuduhan itu tidak benar. Meski pernah berniat, tapi masalah terselesaikan dengan sendirinya. Ternyata dia tidak hamil.

"Mawar!!!" Teriakan dan hentakan sang ayah yang masih memegangi kedua lengan Mawar, membuatnya sadar.

"Aku ... aku nggak hamil," cicitnya.

"Iyalah, orang kamu gugurkan!" sahut Ibu Kris cepat.

"Kayaknya nggak mungkin deh, Tante. Mawar nggak seberani itu." Izzy kemudian menatap Mawar, bertanya. "Nggak kan, Mawar?" Dia mencoba meyakinkan lagi.

"Dia hamil! Dan saat anak saya bersedia bertanggung jawab, dia malah menjauh dan menggugurkan kandungannya! Dia dan Siska sama rendahnya. Sama-sama hanya tau bersenang-senang dan mencintai hidup liar. Membuat anak saya seperti pengemis!!! Dia pikir dia siapa?!"

"Bu, kejadiannya tidak seperti itu." Mawar berucap pada Ibu Kris. "Mawar pikir Mawar hamil, ternyata Mawar salah. Jadi, Mawar kukuh menolak Kris kemarin karena memang tidak ada yang perlu dipertanggung-jawabkan."

"Kalau kamu perempuan normal, kamu pasti akan mengejar tanggungjawab Kris, hamil atau tidak!!!"

Mawar kehilangan kata-kata. Sulit menjelaskan situasinya pada orang yang masih memegang teguh prinsip adat budaya, terpaku pada aturan lama. Tidak mungkin dia menjelaskan bahwa dia memang mencintai Kris, tapi tetap tidak bersedia menikah dengan pria itu saat dia pikir Kris tidak mencintainya. Pernikahan bukan sekadar status bagi Mawar. Dia ingin terikat dengan lelaki yang memang bersedia diikat olehnya. Yang bisa menjadi pendampingnya sampai tua.

"Dia bersedia, Buk. Dia hanya berpikir Kris masih suka main perempuan kemarin. Setelah Kris menjelaskan—"

"Kalau dia wanita baik-baik, mengapa dia tidur dengan lelaki yang dia kira meniduri banyak perempuan lainnya?" Lagi, ibu Kris memotong.

"Karena kami berdua memang bukan orang baik-baik!" Kris membentak. Emosinya tidak terbendung lagi. "Ibu pasti taulah sebrengsek apa Kris, kan? Semua orang tau. Bahkan orang-orang suka bercanda dengan mengejek tabiat Kris yang suka minum dan ...." Dia menghentikan ucapannya saat melirik orang tua Mawar, sungkan berbicara frontal di depan calon mertua. "Kris bejat, Buk. Mawar pun bisa Kris perdaya. Tapi, sejak bersama Mawar, Kris jadi tidak butuh yang lainnya lagi. Kris hanya butuh dia. Kris berhenti melakukan hal-hal yang rasanya tidak perlu Kris jabarkan! Tolong Ibu jangan memperburuk situasi dengan mencoreng nama Kris di depan orang tuanya, Buk." Suara Kris melunak, dia memelas. "Kalau ditanya, mereka pasti inginnya Mawar menikahi lelaki baik-baik. Bukan lelaki yang seperti Kris."

"Iya, ibumu itu sok suci dan tidak menghargai orang lain. Dia terus menjelekkan anak kami kepada kami terus menerus saja sudah menjelaskan serendah apa kami di pikirannya. Seakan-akan dia tidak perlu menjaga sikap dan lisannya."

"Yang saya bicarakan semuanya fakta!!!"

"Ibuk!!!" Kris kembali membentak. "Tolonglah, Buk."

"Lihat mereka, Mawar. Kamu mau mertua dan suami seperti ini, ha? Kamu mau, setelah menikah nanti ... anggaplah akhirnya kamu menikah dengan Kris ... kamu akan terus dirongrong seperti ini. Kamu sanggup? Apa nggak jadi gila kamu?"

"Pak, tolong jangan ikut-ikutan menghasut calon istri saya," pinta Kris lemas.

"Loh, saya ngomong sama anak saya!"

"Ya nggak salah sih dua-duanya," timpal Dino. "Mawar emang calon istrinya Kris, anaknya bapaknya."

"Dino," tegur Izzy. Lalu, Dia menoleh pada ibu dan ayah Kris bergantian. "Saya sahabat Mawar dan saya perempuan. Benar kata ayah Mawar, apa yang Ibu lakukan mungkin tidak sefrontal memaki-maki dengan bahasa kotor. Tapi, tetap saja merendahkan, seolah dia tidak kayak untuk Ibu perlakukan dengan baik. Kalau itu terjadi karena Ibu tersinggung, merasa anak Ibu direndahkan karena Mawar sempat menolak dia, mungkin itu kesalahpahaman. Mereka saling menginginkan. Tolonglah, Bu. Di sini Kris sebagai lelaki loh yang akan mengambil Mawar dari keluarganya. Mawar yang nanti setelah menikah akan mengabdikan diri ke keluarga Ibu juga. Jadi, lebih banyak rugi di Mawar. Dengan sikap Ibu yang seperti ini, orang tua mana yang mau melepas anaknya untuk dipersunting anak Ibu?"

"Banyak! Justru saya yang tidak mau menantu seperti Mawar!"

"Sudah-sudah!!! Buang-buang waktu. Mawar, ayo pulang." Tangan Mawar ditarik sang ayah.

"Pak, saya mohon—"

Ayah Mawar menghentikan langkahnya. Dia memutar tubub ke belakang lalu menunjuk Kris. "Jangan berani kamu bermimpi menikah dengan anak saya kalau Mawar masih diinjak-injak seperti ini!" Dia mengalihkan pandangan ke arah Ibu Kris. "Dan Anda, sadarilah. Kris tidak perlu restu Anda untuk menikahi Mawar, sedangkan Mawar membutuhkan restu saya untuk menikah dengan lelaki mana pun. Di sini yang berhak jual mahal masalah restu itu harusnya pihak kami. Bukan sebaliknya."

"Pak, saya mohon. Kita bisa lanjutkan diskusi dengan kepala dingin." Kris berjalan cepat untuk mendekati ayah Mawar. "Saya sungguh-sungguh mencintai Mawar. Saya ingin menikah dengan dia."

"Bicarakan itu pada ibumu. Kalau dia memfitnah saya, masih bisa saya tahan. Tapi kalau masalah anak saya," kepala lelaki tua itu menggeleng, "jangan macam-macam."

Mawar tidak berani membantah saat ditarik lagi oleh ayahnya. Dia hanya sempat menoleh ke belakang untuk melihat Kris yang menatapnya dengan sorot lemas tak berdaya. Mawar merasa pedih melihatnya. Namun, dia tidak akan mempermalukan keluarganya dengan berkoar membela Kris dan membantah keluarganya sendiri.

Sudah cukup dia membuat orang tuanya kecewa dengan kenyataan yang terkuak ke mana-mana kalau dia sudah tidak perawan dan bukan hanya melakukan hubungan terlarang itu satu kali. Orang tuanya tipe orang lurus yang menjunjung tinggi perawan sampai menikah. Doktrin itu terus digaungkan kepada Mawar dan adiknya. Pergaulanlah yang membuat Mawar membelot dan berani melayani godaan Kris.

"Mawar, tas kamu." Izzy mengejar sambil mengangkat tangan untuk memperlihatkan tas yang ada di genggamannya. Dia menghampiri Mawar yang sudah berdiri di dekat motornya.

"Makasih ya." Mawar tersenyum sambil menerima tas yang disodorkan. Air matanya mengalir begitu saja karena merasa Izzy pasti mengerti apa yang dia rasakan tanpa harus dijelaskan. Mawar terjebak di antara rasa cinta dan bakti sebagai anak.

"Saya boleh ikut sama Mawar, Om, Tante? Kasihan juga Mawar bawa motor. Takutnya. Nggak fokus." Izzy meminta izin dengan sopan pada ayah Mawar yang sudah mulai menaiki motornya sendiri.

"Boleh."

"Kamu aja yang bawa ya, Zzy," pinta Ibu Mawar. Dia sudah mengenakan helm dan naik ke atas motor juga.

"Siap, Buk."

Mawar menyerahkan kunci pada Izzy yang sudah berjalan kembali ke arahnya setelah mengambil helm di motor Dino.

"Tenang aja. Semua bakalan baik-baik aja," bisik Izzy sambil lalu saat menaiki motor dan mulai menstarter. "Makin kuat cobaannya makin kuat cintanya makin bahagia nanti di depannya."

"Jangan ngeracunin anak saya, Zy!" Ayah Mawar ternyata masih bisa mendengar ucapan Izzy di antara deru suara mesin motor.

"Hehe nggak, kok, Om. Basa-basi aja," ucap Izzy sambil tersenyum lebar.

Mawar menginjak footstep dan kini sudah duduk di belakang Izzy. Dia ingin sekali menoleh dan melihat apakah Kris sedang mengawasinya atau tidak. Tapi, tidak dilakukannya karena takut orang tuanya melihat dan bertambah kecewa padanya yang seolah-olah terlalu diperbudak cintanya kepada Kris.

Harusnya dia tidak mau diajak bertemu. Mengabaikan Kris terus menerus sampai akhirnya nanti lelaki itu bosan berjuang atau restu akhirnya berhasil mereka dapatkan. Berkeras untuk menikah bukanlah pilihan baik saat ini. Ibu Kris masih sekeras batu. Hatinya sedang menghitam, berisikan semua tuduhan-tuduhan keji kepada Mawar.

Dulu, saat Siska diperlakukan sama, Mawar merasa sebagian besar tuduhan itu benar jadi Ibu Kris tidak sepenuhnya salah. Siska memang menyukai kebebasan. Dia juga mencintai kemewahan. Selagi berkencan dengan Kris, Siska memperalat Kris untuk melimpahinya materi. Sudah begitu, Siska masih berkencan dengan lelaki-lelaki lain demi kepuasannya. Mawar selalu percaya Siska haus akan pembuktian diri. Semakin banyak lelaki yang takluk padanya, semakin terbukti kalau Siksa punya daya tarik yang tinggi.

Tapi, saat Ibu Kris mengulangi pola perlakuan yang sama, Mawar merasa senasib dengan Siska dan harus meminta maaf pada sahabatnya itu. Pasalnya dulu dia menghibur Siska dengan kalimat palsu karena tidak benar-benar bersimpatik. Berpikir kalau Siska terlalu mendramatisir rasa sakit hatinya akibat tuduhan-tuduhan Ibu Kris sampai Siska bahkan berencana mendukuni mantan calon ibu mertuanya itu.

Ternyata rasanya memang sakit sekali. Membuat kehilangan gairah hidup. Bahkan saat ini, perut Mawar mulai terasa seperti diperas. Melilit. Selain hati, kini perutnya pun ikut-ikutan sakit.

Mawar menarik napas panjang dan menatap sisi kiri sepanjang jalan dengan pandangan kosong. Dalam hati, dia berdoa agar Kris lebih kuat dari dirinya. Tidak apa-apa, dia yang terluka. Selama Kris baik-baik saja. Baru melihat sorot sedih lelaki itu tadi saja, Mawar sudah merasa tidak berdaya. Apalagi kalau sampai melihat Kris hancur. Mawar tidak akan sanggup. Air matanya menetes lagi. Ingatan bagaimana dampak masalah restu dulu memengaruhi Kris terlintas. Mawar takut, efeknya lebih parah dari itu. Sayangnya dia pun sama menyedihkannya seperti Siska, tidak punya cukup daya untuk memperjuangkan hubungan mereka. Siska tidak ingin repot. Sedangkan Mawar tidak ingin keluarganya ikut terluka.

NB

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top