Bab 13
"Jangan mikir aneh-aneh. Kita hadapi sama-sama. Aku cinta kamu, Mawar. Aku akan perjuangkan kamu. Pasti."
Kris mengirimkan itu sambil menyetir. Di sebelahnya sang ibu duduk dengan tangan di lipat di dada. Pandangan mengarah ke luar jendela. Kris paham jika ibunya kecewa, tapi tidak akan mau memaklumi jika ibunya menentang Mawar sekeras menentang Siska dulu.
Perasaannya kali ini lebih matang. Usianya semakin tua. Cintanya lebih dalam. Dan Mawar pun tidak seperti Siska yang merengek di perjuangkan. Kris kini tidak paham lagi perasaannya dulu hanyalah ego atau benar-benar cinta. Pasalnya dia melihat Siska sudah biasa saja, bahkan malu. Karena Siska adalah saksi kebodohannya di masa lalu.
Entah apa peran mantannya itu di kejadian ini. Dia belum bisa mempertanyakannya.
"Dia wanita yang baik kok, Ma," ucap Kris memecah keheningan.
"Wanita baik tidak akan mau tidur dengan pria sebelum menikah."
"Tidurnya dengan Kris. Wajar kalau Ibu menganggap dia tidak baik. Keluarganya pun pasti berpikir hal yang sama kalau tahu anak gadisnya sudah Kris tiduri. Kami sudah dewasa, melakukannya suka sama suka. Tidak ada yang salah sepihak saja. Kalau dia buruk, Kris lebih buruk. Karena Kris mendapati dia perawan sedangkan dia mendapati Kris sudah tidak perjaka."
"Kamu laki-laki, sudah lumrah dan tidak ada bekasnya! Lagi pula, kalau sadar kamu rusak, carilah wanita baik yang nanti membawa kamu ke kebaikan!"
"Kris yang merusak Mawar, Bu, sumpah." Kris tetap menanggapi ucapan ibunya dengan suara lebih pelan. Tidak mau terpancing emosi lalu mereka saling menyalahkan. Dia ingin menunjukkan kedewasaan sehingga nantinya sang ibu berpikir dia benar-benar jernih dalam berpikir.
"Kata kamu. Siapa tau dia memang sudah lama ingin dirusak, tapi baru kamu yang berani melakukannya."
Dada Kris sesak mendengarnya. Meski wanita yang di samping adalah ibunya, tapi di saat begini, Kris merasa seperti tidak mengenalinya sama sekali. Ucapannya sungguh berbisa. Seandainya Mawar mendengarnya, wanita itu pasti benar-benar mundur dan menghapus nama Kris dari kehidupannya.
"Kris ulangi, Bu. Kami melakukannya suka sama suka. Dan sebagai lelaki yang bertanggung jawab, Kris memang sudah berniat membawa hubungan kami ke arah yang lebih serius. Untuk itu Kris berharap Ibu mau memberikan restu dan dukungan."
"Nggak akan. Mending Ibu carikan kamu perempuan yang lebih baik. Mending kalau can—"
"Bu!" Kris tidak bisa menahan diri. Kalau sudah membahas fisik, terlalu kelewatan. "Cantik tidaknya perempuan itu tergantung mata yang melihat. Bagi Kris, Mawar cantik kok. Kalau jelek, mana mungkin Kris tiduri berulang kali."
Sang ibu tampak kehabisan kata-kata dan suasana hening sejenak. Kris merasa bersalah sudah berucap tidak santun, tapi salah ibunya juga yang memancing emosi.
Mawar cantik. Luar dalam. Dengan atau tanpa riasan, Kris sudah terbiasa dengan wanita itu. Tidak mungkin dia menjelaskan keterikatan emosionalnya dengan Mawar saat ibu dan ayahnya hanya menjalankan pernikahan berdasarkan kesadaran akan peran masing-masing sebagai suami istri.
"Lagi pula yang membutuhkan restu itu sebenarnya Kris, karena dia perempuan. Tanpa restu Ibu, Kris kualat. Tapi masih bisa. Tanpa restu keluarga Mawar, kisah kami tidak akan pernah ada. Jadi, Kris harap Ibu berhenti terlalu menekan Mawar, Bu. Kris yang membutuhkan Mawar agar kehidupan Kris jadi lebih baik. Dia sumber semangat Kris selama ini bekerja lintas kota seperti ini."
Seperti enggan memercayai ucapan sang anak, ibu Kris kembali menatap ke luar jendela.
***
Akhirnya mereka sampai di rumah. Tadinya Kris meminta mereka menginap saja dulu di kota. Dia ingin ibunya lebih tenang sekaligus agar dia bisa bertemu Mawar di pagi harinya. Tapi, ibunya mulai bermain drama. Mulai mengoceh tidak jelas dan meminta orang dari daerah untuk menjemput. Mana mungkin Kris membiarkan itu terjadi.
Kris tidak bisa tidur. Mereka sampai di rumah dalam keadaan gelap tapi sudah menjelang pagi. Ayah Kris duduk di ruang tamu—menunggu dengan wajah tegang.
"Tolong kamu nasehatin anakmu ini, Pak."
"Bu, tolong jangan membuat semua jadi berantakan. Ibu dan Bapak suka nanya kapan aku nikah. Sekarang, aku udah punya calon, Ibu malah begini. Kok aneh?!"
Ibu Kris yang tadi sudah hendak berjalan menuju kamarnya pun kembali menghampiri Kris dengan wajah tegang penuh amarah. "Kamu itu masih gagah. Tidak miskin. Ibu yakin banyak perempuan yang mau sama kamu. Kenapa harus dia, sahabatnya Siska itu?!"
Kris mengerutkan kening. "Siska bilang apa ke Ibu?"
"Bukan Siska! Tapi, Ibu yang memaksa Siska memberi tahu semua tentang sahabatnya itu. Dia loh wanita yang mengantarkan Siska untuk aborsi dulu! Otaknya busuk! Mata duitan! Selama ini dia nggak laku, dan ternyata diam-diam dia mengincar kamu?"
"Buk ... pikiran Ibu itu ...." Kris kehabisan kata-kata. Dia mengelap wajahnya beberapa kali, lalu membuang napas kasar. "Apa pun yang Siska sampaikan, itu sudah pasti salah, Bu. Mungkin dia kesal karena Mawar malah menjalin hubungan dengan Kris. Mungkin dia cuma nggak terima. Biasalah perempuan, nggak jelas alasannya tapi suka saling cemburu. Siska juga udah nikah kan?"
"Sudahlah. Kamu masuk ke kamarmu, Kris. Ibu juga. Kita bicarakan besok saat semua lebih tenang." Akhirnya, ayah Kris angkat bicara.
Kris melempar tatapan memelas pada sang ayah, berharap mendapat kubu, tapi lelaki itu malah langsung membuang pandangan. Menghampiri sang istri dan menuntunnya masuk ke kamar.
"Kok malah jadi begini ...." Kris mengacak rambutnya frustasi.
***
"Buat malu!"
Mawar menyentuh kulit pipinya yang panas sehabis kena tampar ayahnya. Ternyata ibu Kris menceritkan semua pada ayahnya. Tadi Mawar sempat memaksa dirinya untuk tidur, berusaha mengenyahkan kekhawatirannya akan kemarahan ibu Kris. Namun, jam 5 pagi, pintu kamarnya diketuk kasar lalu namanya dipanggil dengan lantang.
"Maaf ... maafin Mawar, Yah."
Hanya itu yang mampu Mawar ucapkan.
"Siapa yang mengajari kamu menjadi perempuan murahan? Bisa-bisanya kamu selama ini menjadi pelacur dan menutupi semuanya dari kami!"
"Mawar bukan pelacur, Yah."
Mawar ingin meluruskan semua, tapi pasti dia akan tetap disalahkan. Kehilangan keperawanan dan bersenggama sebelum menikah jelas tabu bagi keluarganya. Dan kini, sudah pasti dia akan dipandang sebagai makhluk cacat menjijikkan.
"Kamu tidur dengan lelaki itu berulang kali! BERULANG KALI!!!"
Ayah Mawar menunjuk-tunjuk emosi.
"Tapi ... dia janji mau menikahi Mawar. Dia mengajak Mawar berhubungan serius—"
"Tidak akan Ayah nikahkan kalian! Tidak akan Ayah restui. Sudahlah kamu dirusak anaknya, lalu kamu dimaki ibunya! Mau seperti apa nasib kamu kalau menikah dengan dia nanti? Lagi pula, tidak sepantasnya pezinah dinikahkan dengan pezinah! Tidak akan Ayah restui!!!"
Nb
Ada yang nanya adegan dewisi. Disave buat versi berbayar ya shayyy
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top