Bab 11
Selamat siang, para manusia yang hatinya ingin, tapi selalu merasa tidak layak untuk bahagia.
Kalau bukan kamu, ya Alhamdulillah hehe
🌹🌹🌹
Selamat membaca
Love yeeaaahhhh
***
Mawar membolak-balik kertas di hadapannya sambil tersenyum. Sesekali, dia tertawa kecil. Meski dia masih meragu atas semua yang terjadi, tetap saja dia merasa berbunga-bunga. Akhirnya, hubungannya dengan Kris jadi lebih nyata. Dia sudah mengatakan iya, bahwa dia akan ikut memperjuangkan hubungan itu. Perdana baginya, tapi tidak ada salahnya dicoba.
"Ekhem ...."
Wajah Mawar langsung datar. Dia menoleh ke sumber suara. "Napa?"
"Bagi-bagi dong, info happy-nya," ucap Dino dengan wajah menggoda sambil menempelkan sikunya di atas meja kerja Mawar lalu menempelkan wajahnya di telapak tangannya, membuat jarak wajah mereka jadi dekat.
"Info happy apaan?"
"Duhh ...." Dino kini kembali menegakkan badannya sambil menyipitkan mata. "Masih aja main rahasia-rahasiaan sama gue. Padahal mending gue tau dari lo sih, dibanding gue cari tau sendiri. Soalnya kalau gue cari tau sendiri, aib lo jadi kebuka lebih banyak!"
"Aku dikasih ini!" Mawar mengangkat jemarinya, memamerkan benda yang melingkar di jari manis tangan kirinya.
"Hah? Ini ... lo tunangan? Maksudnya ini cincin pengikat kan? Bukan panjar buat anu-anu?"
"Nggak tunangan juga sih."
"Jadi, panjar anu-anu? Murah banget--aw!!!"
Mawar langsung menyubit kulit tangan Dino yang bisa diraihnya. "Pertama, aku bukan perempuan yang pasang tarif, ya. Kedua, biasain denger orang ngomong sampai selesai, sampai semua jelas, baru nyela! Ini bukan cincin tunangan karena bagiku tunangan itu ya harus ada acara khususnya. Keluarga kedua belah pihak tau. Sedangkan ini baru antara kami berdua. Tapi, iya benar, ini cincin pengikat gitu. Tanda kalau aku sama dia mau serius kedepannya."
"Sok-sok tersinggung gue bilang murah, padahal nggak pasang tarif itu kan lebih murah dari murah, soalnya nggak dibayar sama sekali. Gratisan!" Dino merengut kesal sambil mengelus kulit tangannya yang tadi kena cubit. "Btw, selamat ya, akhirnyaaa ...." Kini, lelaki itu tersenyum sambil mengulurkan tangan yang langsung disambut Mawar.
"Makasih. Tapi, aku nggak sependapat ya sama omongan kamu. Nggak dibayar itu belum tentu lebih murah! Enak aja. Aku nggak membenarkan pergaulanku, ya. Tapi, aku nggak terima kalau apa yang aku lakuin sama Kris dianggap kegiatan demi mendulang keuntungan secara materi. Sama-sama suka, sama-sama lagi mau khilaf, kok. Dan syukurnya, semua yang diawali dengan cara yang kurang tepat, bisa aja berakhir dengan benar." Gantian, Mawar yang tersenyum lebar. "Ya ... semoga sih."
"Belajar percaya, Buk. Ya ... nggak ada jaminan semua akan mulus kedepannya. Tapi, itu normal. Nggak ada kehidupan orang yang mulus kok. Kegagalan itu bagian dari proses menuju kebahagiaan yang hakiki, Buk. Nggak nyoba sesuatu yang baru, lo memang nggak dihadapkan sama kemungkinan untuk kecewa, tapi hidup lo akan monoton dan membosankan. Percaya deh, semua ada harganya."
"Thanks ya, Din. Selama ini aku merasa hubungan kita profesional aja, sebagai teman kerja doang. Makin ke sini, aku merasa kita ternyata lebih dari itu. Aku bukan nuduh sih. Tapi, gimana perkembangan hubungan kamu sama Izzy?"
"Ha? Ap--- ak---" Dino seperti kehilangan kata-kata.
Bibir Mawar tersungging ke bawah sambil memasang ekspresi cuek. "Ya ... siapa tau aku bisa bantu kan. Meski aku tuh nggak tau kamu suka ke dia sebagai dirinya, atau sebagai cewek yang kebetulan cowok banget. Aw!!!" Gantian, kali ini Dino yang anarkis. Dia menjitak kepala Mawar.
"Gue nggak gitu!"
"Gitu gimana?" Mawar memicingkan mata curiga.
"Gue nggak semanipulatif itu sampai-sampai memanfaatkan Izzy untuk menormalkan ketidaknormalan gue yang sebenarnya cuma dugaan kalian-kalian aja. Gue normal, bener-bener normal. Sumpah!"
"Tapi?"
"Ya nggak ada tapi, Mawar. Lo jangan mancing-mancing deh. Hanya karena gue lebih lembut dan punya hati dibanding cewek-cewek di circle lo bukan berarti gue lekong dan gayong!"
"Geyong itu apa?" tanya Mawar polos.
"Gay!"
"Nah! Cara kamu bilang gay aja beda, pake bahasa kaum melambai. Ya nggak papa sih, misal kamu emang melambai. Asal normal. Takutnya kalau beneran jadi sama Izzy tapi kamu minta dia begituan ala kaum Nabi Luth kan bahaya. Bisa dimutilasi kamu sama dia."
"Ya enggaklah. Gue nggak gitu."
"Jadi beneran, ya?" Mawar mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Beneran apa?"
"Kamu suka sama Izzy."
"Hah? Aku--gue nggak bilang gitu." Dino membantah dengan gelagapan.
"Dari tadi kamu cuma klarifikasi kalau kamu normal, tapi nggak menyanggah kalau kamu tertarik sama dia. Dan misal kamu sanggah pun, aku nggak akan percaya. Bahkan kalau kamu jujur, aku bisa kasih gambaran kamu gimana Izzy sebenarnya. Soalnya dia itu jauh banget dari apa yang dia tampilkan. Tau kan gambaran orang tenang yang sebenarnya menyembunyikan banyak hal di balik ketenangan itu? Kalau nggak pakai jalur orang dalam, kamu nggak akan pernah tau Izzy yang sebenarnya. Boro-boro buat dia cinta sama kamu, sebenarnya buat dia nyaman sama kamu aja udah nggak gampang loh. Perhatiin deh, dia itu lebih sering bahas hal lain, selain tentang dia. Ekspresi minim, dan jarang banget ngelakuin sesuatu untuk dirinya sendiri."
Dino terdiam sejenak, lalu bahunya merosot. "Kedengarannya lebih rumit dari lo ya, Buk."
"Emang. Aku cuma tipe pesimis. Kalau dia ... dia lebih nggak tersentuh lagi. Nyaris ke mati rasa."
"Duh ... selera gue ...."
Mawar tersenyum miris. Dia ikut kasihan pada Dino karena paham betul bagaimana karakter kedua orang itu--Izzy dan Dino. Bisa dibilang, pertemanan mereka berempat bisa terjalin lama dan dalam karena memiliki masalah yang sama. Kehidupan menempa mereka menjadi wanita berkarakter rumit. Meski ada sisi di mana mereka saling bertolak belakang, tidak ada yang bisa memahami mereka lebih baik selain mereka berempat itu.
Seperti Siska, yang orang tau wanita itu mudah mendapatkan apa yang dia mau karena paras dan penampilannya. Padahal, dia melewati banyak hal yang jika terjadi pada Mawar, mungkin dia sudah gila. Di mata Mawar, Siska itu mengagumkan. Cantik, ambisius, mudah beradaptasi, menarik. Berbeda sekali dengan dirinya.
Dan kini, mirisnya, dia menjalin hubungan dengan mantan kekasih Siska.
Kembali, rasa tidak nyaman menggelayuti diri Mawar. Dia mendapatkan bekas wanita itu. Meski Kris bukan barang, tetap saja pemikiran bahwa dia hanya mampu mendapatkan apa yang telah dibuang Siska terkadang membuatnya kecewa pada diri sendiri. Dia juga tidak mengerti. Terkadang dia merasa dia tidak cukup layak untuk mendapatkan hati Kris sehingga terus menuduh Kris hanya ingin bermain-main dengannya, terkadang dia yang merasa tidak seharusnya dia bersama pria seperti Kris yang selain mantan kekasih sahabatnya sendiri, juga memiliki masa lalu yang amat sangat kelam bagi Mawar yang terbilang kuper alias kurang pergaulan.
***
"Kenapa lagi?" Kris mengelus lengan Mawar yang sedang berbaring miring memunggungi Kris. Pandangannya terpusat ke jendela yang gordennya tertutup. Dia menoleh ke sana bukan karena melihat pemandangannya, tapi karena otaknya tidak berhenti berpikir sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa. Membuat hatinya gelisah sendiri.
Kris kini memeluknya. Memberikan rasa nyaman yang luar biasa, terutama karena ac di kamar itu memang agak dingin dan tubuh mereka agak lembab karena habis melakukan kegiatan yang menguras keringat--plus tubuh mereka yang sedang telanjang bulat.
"Kamu nggak berpikiran untuk lari, kan? Udah sejauh ini, Sayang. Kamu juga udah janji sama aku."
"Enggak. Ya nggak mungkinlah aku lari ninggalin kamu. Ada-ada aja." Mawar berusaha tersenyum meski terasa hambar.
"Jangan sampai, ya, Mawar. Kamu tau aku nggak pernah main-main kalau udah berkomitmen. Aku nggak sebrengsek itu. Aku cuma main-main saat aku nggak berkomitmen dengan seseorang. Tapi setelah aku berkomitmen, aku akan fokus dengan satu orang aja. Dan perasaan aku untuk berkomitmen sama kamu tuh nggak main-main. Aku mau kamu. Aku butuh kamu."
Bersamaan dengan kata 'butuh', Kris menggesekkan miliknya yang kembali mengeras.
Mawar tertawa. Awalnya dia ingin hubungannya dengan Kris dibawa ke jalan yang benar sampai akhirnya mereka menjadi halal. Tapi, perasaan rendah dirinya dan keraguannya bisa memiliki Kris seutuhnya membuat dia butuh merasakan Kris memenuhi dirinya. Membisikkan serta meneriakkan namanya. Meski masih belum percaya cinta bisa menjadi pengikat hubungan mereka, setidaknya seks bisa.
Kris membalikkan tubuh Mawar sehingga kini dia berbaring telentang. "Aku udah jadi punya kamu, sejak pertama kali kita bersama." Dia menindih Mawar sambil menarik kaki wanita itu agar mengangkang.
"Sejak celupan pertama, ya?" Mawar berusaha melucu.
Kris tertawa juga, tapi sorot matanya serius. "Aku awalnya merasa perasaan terikat aku ke kamu karena aku kaget, mendapatkan kamu yang masih perawan. Jujur sebelumnya aku nggak pernah meniduri perempuan yang masih berselaput dara. Dan aku bersyukur untuk itu. Meski brengsek, aku nggak mau jadi yang pertama merusak perempuan. Mungkin aku agak kolot, tapi bagiku selaput dara itu spesial. Lebih mudah main-main sama orang yang sudah pernah menyerahkan dirinya pada orang lain."
"Tapi Siska?" Pertanyaan itu terlontar juga.
"Kamu tau aku nggak main-main sama dia kan?" Kini, Kris tersenyum perih. Membuat Mawar menyesal karena sudah merusak suasana.
"Terus kenapa kamu mau waktu itu sama aku padahal aku udah bilang aku nggak ada pengalaman sama laki-laki?" Mawar mengalungkan tangannya di leher Kris, memainkan jemarinya di tengkuk lelaki itu.
"Aku nggak tau. Kalau aku jawab, mungkin jawabannya ngarang. Aku cuma tertarik. Aku antusias. Entah karena apa. Mungkin ... mungkin karena aku udah tertarik sama kamu."
Mawar menarik pria itu turun, lalu bibir mereka saling memagut. Tubuh Kris merebah sempurna di atas tubuh Mawar. Tangan lelaki itu bermain di tubuh Mawar, kadang meremas dada wanita itu, kadang meremas bokongnya.
Lalu, Kris melepaskan pagutan itu, dan mengangkat tubuh atasnya dengan bertumpu di siku tangannya. "Kita nggak harus melanjutkan ini kalau ini cuma membuat kamu merasa aku butuh kamu untuk kepuasan aja, Sayang."
Mawar tertawa. "Siapa yang bilang aku berpikiran begitu?"
"Aku nggak tau. Aku nggak pernah tau apa yang ada di pikiran kamu. Tapi--"
Mawar kembali menarik Kris dan melumat bibir lelaki itu. "Aku yang butuh ini saat ini. Untuk meyakinkan diriku bahwa semua ini nyata."
"Kurang nyata apa lagi?" Kris terlihat sedikit tersinggung dan itu membuatnya terlihat lebih tampan di mata Mawar.
"Jangan merusak suasana!" Mawar memukul kuat bokong Kris. "Buat aku jeritin nama kamu, Kris. Buat aku kehilangan akal sampai aku nggak bisa mikir yang aneh-aneh lagi. Pliiissss," Mawar berakting merengek.
Kris tertawa lalu menangkap kedua tangan Mawar. Menyatukan kedua tangan Mawar di atas kepala wanita itu lalu menahannya dengan satu tangannya sedang tangan yang lain menyusup ke bawan, menuntun miliknya memasuki diri Mawar.
"Kamu yang minta. Jadi, nggak ada acara minta ampun, ya."
Mawar menyambut Kris. Dia bergerak mengimbangi lelaki itu. Sesuai ucapannya, dia sedang ingin hilang akal dan hanya bisa meneriakkan nama lelaki itu. Dia ingin dilelahkan oleh kepuasan. Dia ingin melihat sebuas apa Kris saat ingin mereguk kepuasan bersamanya. Dia sedang ingin mereka menggila bersama.
NB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top