2. Hole On The Wall

Recap :
Kaitley ingin berteriak dan menendang pintu itu untuk mencari penjelasan. "Bisakah hari ini bertambah lebih buruk?" desahnya.

Kaitley kemudian memutar kenop pintu dan membuka pintu kayu tersebut lebar-lebar.

****

Kaitley terpaku di tempat. Buku-buku jarinya memutih akibat tekanan yang diberikan kepalan tangannya. Seluruh tubuhnya membeku ketakutan. Matanya menelusuri ruangan dengan liar. Tak mampu mengalihkan pandangannya dari kumparan-kumparan asap yang perlahan menyingkap makhluk yang menampakkan diri di depannya.

Makhluk yang dilihat Kaitley sedang membelakanginya. Sibuk mengobrak-abrik sesuatu di meja ayahnya yang setengah hangus. Kaitley merasakan dirinya meremang melihat tulang-tulang tak terlihat yang mencuat dari tubuh hitam mahkluk itu saat membungkuk.

Struktur tubuh makhluk itu begitu aneh. Kepalanya yang botak tampak seperti manusia biasa. Tetapi bagian bawah tubuh mahkluk tersebut, dipenuhi tonjolan-tonjolan tulang dan urat-urat biru yang menjalar di tubuh telanjang mahkluk tersebut.

Kaitley baru bisa mengalihkan tatapannya dari mahkluk itu ketika mendengar rintihan lemah ibunya dari ujung terjauh ruangan.

Kaitley mengatupkan rahangnya dengan keras. Berusaha menahan dorongan untuk berteriak memanggil ibunya. Makhluk hitam itu terlalu fokus dengan kertas-kertas di depannya sehingga tidak melihat, Kaitley yang sedang mengendap- endap melintasi ruangan untuk menghampiri ibunya.

"Mom?! Mom! Ap..apa yang terjadi?"

Mrs. Summer tergeletak dengan lemah di lantai. Tubuhnya dipenuhi debu dan reruntuhan kecil dari ledakan yang kemungkinan besar disebabkan oleh mahkluk itu.

Kaitley membelai wajah ibunya dengan khawatir. Bibir Mrs. Summer bengkak dan mengeluarkan darah yang menetes di kerah baju malamnya. Dahinya, berbercak darah yang entah darimana asalnya.

Mrs. Summer menatap Kaitley dengan lemah. Bibirnya membentuk kata-kata dengan susah payah dengan suara yang serak.

"Ka..kait..ley.."

Kaitley menopang kepala ibunya dengan raut wajah putus asa. Menunggu kata-kata ibunya.

"Batu..nya, bahaya..ba..wa," bisik ibunya sambil mencengkram lengan baju Kaitley.

"Apa yang kaubicarakan mom?! Aku tidak akan meninggalkanmu!"

"Pergi..sekarang!!" bisik ibunya. Kali ini lebih parau dari sebelumnya.

"Bertahanlah mom! Aku akan memanggil bantuan!"

Kaitley merogoh ponselnya dari kantong piamanya dan mulai mengetik deretan angka di layarnya. Jarinya bergetar begitu hebat.

"Halo. Kepolisian Kota X dengan siapa ini? Ada keadaan darurat apa?" suara seorang wanita menjawab panggilannya.

"Rumah kami... rumah kami telah diledakkan. Tolonglah cepat kemari! Ibuku terluka dan ada seseorang... sesuatu yang akan membunuh kami!"

"Miss, tolong tenang dulu. Sebutkan alamat rumahmu dan saya akan kirimkan bala bantuan kesana,"

"Alamat... alamatnya di...di..."

Kaitley menengok ke kiri dan ke kanan dengan waspada. Ia melihat ke arah meja kerja ayahnya tempat mahkluk tadi.

Tidak ada.

Tidak ada siapa siapa di tempat itu.

Tidak... makhluk tadi... kemana?

" Miss? Kau masih disana?" sahut si wanita operator di ponselnya

Kaitley buru-buru menempelkan telinganya kembali ke ponsel.

" Dia... dia tidak ada... kumohon! Kirimkan bala bantuan segera! Dia akan membunuh kami!" isaknya dengan panik.

"Miss kumo-"

Sebuah tangan menampar wajah Kaitley. Kaitley terjatuh dan melepaskan genggamannya pada ponselnya. Ponsel tersebut terjatuh di sudut kiri di dekat kaki si penyerang.

"Miss? Miss?" si operator terus memanggil-manggil sebelum telapak kaki lebar dan berwarna hitam memutuskan suaranya. Ponsel kaitley hancur berantakan tak bernyawa dalam sekali injak.

Kaitley terseok-seok mundur, saat si penyerang yang ternyata adalah mahkluk hitam yg tadi mendekatinya. Kaitley bisa mendengar desiran darahnya sendiri di telinganya. Setiap langkah yang dibuat oleh makhluk itu, mengirimkan sinyal bahaya pada Kaitley—membuat tubuhnya menjadi semakin kaku.

Akhirnya, ia bisa melihat wajah makhluk itu. Mulutnya berupa garis tipis dengan gigi yang mencuat saat ia meringis. Hanya itu. Hanya itu yang ada di mukanya. Makhluk tersebut tidak berhidung atau bermata. Tapi kaitley merasa ruang kosong tempat mata makhluk itu harusnya berada menusuknya dengan tajam.

Memadamkan setiap inci nyali yang ia miliki.

Makhluk tersebut mengangkat tangannya yang berbonggol-bonggol. Hendak menghantamkannya ke tubuh Kaitley yang gemetaran.

Kaitley menyisir ruangan sekitarnya dengan panik, sebelum kembali menatap ke makhluk yang tangannya  siap menghantam tubuhnya kapan saja. Ia menelusuri tangannya sambil meraba-raba reruntuhan. Mencari senjata tajam atau apapun yang bisa membantunya.

Lalu, ia merasakan sebuah pecahan kaca di tangan kirinya. Ia genggam erat pecahan kaca itu, lalu meluncurkannya ke lengan makhluk yang hendak menghantamnya itu dengan kalut.

Makhluk itu mengeluarkan teriakan kesakitan dengan nyaring. Suaranya membuat telinga Kaitley berdenging.

Kaitley berhasil menikam makhluk tersebut di salah satu tonjolan tulangnya yang sekarang, mengeluarkan cairan berlendir berwarna hijau neon terang.

Kaitley berpikir dengan cepat. Ia mengabaikan semua rasa shock dan ketakutan yang sedari tadi menekannya, lalu ia berdiri untuk menyeret tubuh ibunya ke arah lubang besar tempat dinding ruangan kerja ayahnya seharusnya berada.

Tapi makhluk itu lebih cepat. Kaitley menjerit kaget, saat makhluk itu menjambak rambutnya. Refleks, Kaitley menohokkan sikunya ke belakang sambil menggertakkan giginya dengan putus asa. Serangannya itu nyatanya tidak berdampak apa-apa bagi makhluk itu. Tapi cukup untuk membuatnya melepaskan rambut Kaitley.

Kaitley berguling ke belakang makhluk itu dan menarik tubuh ibunya lagi. Namun, lagi-lagi si makhluk menyerangnya. Kaitley yang melihat gerakan sama yang dilakukan makhluk itu, dengan cekatan merunduk saat makhluk tersebut hendak menerkamnya. Ia mulai bisa memprediksi gerakan makhluk itu.

Makhluk itu kuat dan cepat. Namun ia hanya tau gerakan menerkam dan memukul.

Kaitley tidak menghabiskan waktu lagi. Ia merangkak kembali ke arah tubuh ibunya yang tergolek di dekat lubang tanpa mempedulikan makhluk yang tetap berusaha untuk menerkamnya itu. Kaitley menggendong ibunya dan melihat lubang di depannya. Wajahnya yang penuh luka tersenyum bahagia.

Sedikit lagi Kaitley. Kau pasti bisa.

Baru saja ia menyentuh pinggiran kasar lubang, ia merasakan tekanan keras dari punggungnya yang menekan tubuhnya ke bawah. Kaitley menggeliat-geliat dengan panik. Tapi kaki si makhluk tak memberi ampun.
Kaki si makhluk terus menekan punggung kaitley dengan keras. Kaitley meringis kesakitan dan berusaha keras untuk menahan jeritan. Pikirannya hanya dapat membentuk 3 kata.

Aku akan mati.

Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ia memejamkan matanya—tidak mampu untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Makhluk itu lalu menekan kepalanya dengan keras dengan tangan berbonggolnya—hendak membenturkan kepalanya ke lantai.

Kaitley merasakan air mata yang asin mengalir dari matanya yang perih ke bibirnya. Bercampur dengan darah yang berkumpul di mulutnya.

Kaitley menarik napas untuk terakhir kalinya dan–

BUUM !!

Suara tembakan senjata yang begitu keras sehingga bisa disalahartikan sebagai ledakan dari bom, terdengar dari belakang Kaitley. Kaitley menengok saat merasakan tekanan dari tubuh si makhluk mengendur. Ia menengok ke belakang dan secara refleks berguling menjauh, sebelum makhluk yang dadanya telah berlubang tersebut bisa menimpanya.

Kaitley menatap bangkai makhluk itu dengan perasaan takut campur lega. Ia terdiam untuk beberapa saat, sebelum sadar akan kenyataan bahwa penembak makhluk itu kemungkinan ada di reruntuhan rumahnya sekarang. Ia membalikkan tubuhnya dan melihat ke arah suara tembakan itu. Sesosok manusia berdiri di ambang lubang tanpa menggerakkan tubuhya. Mata Kaitley bertatapan dengan mata abu  pudar yang begitu serupa dengan warna matanya sendiri.

Mendadak tenggorokannya terasa kering. Kaitley merasakan gumpalan pahit mulai terbentuk disana. Ia menajamkan matanya ke arah sosok dengan pakaian serba hitam itu dengan perasaan campur aduk dan segera berdiri. Menghiraukan uluran tangan dari penyelamatnya.

Kaitley merasakan darahnya menggelegak. Ia tidak lagi merasa takut. Ia merasa marah.

Ia menyentakkan tubuhnya ke belakang saat sosok itu hendak menyetuhnya.

"Apa-apaan ini? Siapa kamu?! " bentaknya.

"Kaitley..ini aku.." sosok tersebut akhirnya mengeluarkan suaranya. Suara yang terdengar begitu familiar dan ringan di telinga Kaitley. Cuplikan akan ingatan masa lalu mulai tampak di otak Kaitley—seperti sedang melihat suatu film lama di proyektor. Ia buru-buru mengusir cuplikan-cuplikan itu dan memfokuskan dirinya kembali kepada sosok yang berdiri di depannya.

"Tidak mungkin! Kau sudah mati! Aku menyaksikannya dengan mataku sendiri!"

Kaitley merasakan sengatan air mata di sudut matanya kembali muncul–tetapi memutuskan untuk menghiraukannya. Ia menatap lelaki itu dengan murka.

"Kaitley...oh kaitley..maaf..maafkan aku."

Rintih James yang balik menatapnya dengan raut wajah pedih.


                             ****

Kaitley tidak pernah sekalipun, melupakan kejadian yang membuat kakaknya meninggalkannya. Bayangan wajah kakaknya yang penuh memar dan dadanya yang bersimbah darah, selalu menghantuinya setiap saat ia bangun tidur dan melihat wajahnya di cermin.

Selama 2 tahun lamanya, Kaitley berusaha untuk melupakan kejadian itu. Kejadian yang menimpa James. Kejadian yang membuat Kaitley begitu membenci dirinya sendiri dan membuat ayahnya menjadi seorang pecandu kerja.

Kaitley masih ingat langit suram dan semilir dedaunan cokelat yang menghiasi sore itu. Ia masih ingat dengan jelas syal merah yang digunakan James saat mengantarnya ke pusat kota.

Saat itu Kaitley baru berumur 15 tahun dan hendak mendaftar ke SMA ternama di pusat Kota x dengan memaksa ibunya untuk mengantarnya. Namun, Mrs. Summer saat itu sedang merasa tidak enak badan sehingga, beliau menyuruh James untuk mengantar adiknya mendaftar sekolah ke pusat kota x.

Keluarga Summer tidak terbiasa pergi ke pusat kota. Jadi, saat kereta bawah tanah menurunkan mereka di department store di pusat kota x, James dan Kaitley pun tersesat di hiruk pikuk Kota X.

Setelah menanyakan arah beberapa kali dan mencari jalurnya lewat GPS, mereka akhirnya sampai di sekolah itu.

Sistem penerimaan siswa baru di Kota X tidak menggunakan psikotes atau tes pelajaran biasa. Melainkan dengan cara yang dikenal sebagai Brain-ward.

Sistem ini dilakukan dengan cara memasukkan calon peserta didik ke dalam sebuah ruangan yang sudah diatur sedemikian rupa agar berubah bentuk mengikuti pola pikir anak. Ruangan yang memiliki hal-hal paling fantastis atau kreatif akan lulus.

Misalnya seorang anak yang memiliki bakat dalan melukis memasuki ruangan tersebut. Pada awalnya, ruangan tersebut putih dan polos. Kosong. Namun seiring waktu, bentuk dan desain ruangan itu, akan berubah mengikuti harapan si anak terhadap ruangan itu. Ruangan itu akan membentuk imaginasi terdalam dan terliar anak itu. Anak yang suka melukis itu, akan melihat ruangan kosong tersebut dipenuhi lukisan lukisan yang indah dengan berbagai macam kesenian.

Jika para penilai melihat suatu objek yang dapat memberi keuntungan atau pola kehidupan baru pada sekolah atau masyarakat, maka anak itu akan lulus dan diarahkan ke dalam kelas yang menampung anak-anak dengan pikiran dan tujuan yang serupa dengan anak tersebut.

Para juri kemudian melihat sebuah lukisan 4 dimensi yang jika disentuh dapat memberikan sensasi nyata yang dialami objek yang digambar pada lukisan ke orang yang menyentuhnya. Lalu mereka melihat bagaimana sang anak menguraikan pemikiran dan pendapatnya tentang lukisan itu. Menganggap pola pikir dan lukisan ciptaan anak itu kreatif, maka para juri akhirnya akan menerimanya di sekolah itu.

Hal serupa terjadi saat Kaitley memasuki ruangan tersebut. Ruangan itu mulai bergejolak dan meliut-liut untuk membentuk pikiran Kaitley.
Kaitley dengan semangat, menyaksikan ruangan itu mulai diwarnai berbagai macam tanjakan dan turunan. Gambar-gambar dan berbagai macam hal muncul dan menggeliat. Membesar dan mengecil untuk menyesuaikan diri.

Namun sudah 15 menit, ruangan itu tetap bergejolak. Tidak membentuk satupun gambaran yang jelas.
Kaitley mulai gelisah. Ia menatap cctv di atas langit-langit di ujung ruangan, dengan bertanya-tanya.

Ada sesuatu yang salah pasti pikir kaitley saat itu.

Tiba-tiba, ruangan berhenti bergejolak. Dinding-dinding ruangan tetap berwarna putih polos. Begitu pula ubin dan langit-langitnya. Tidak ada apapun di ruangan itu selain Kaitley.

Dan sebuah kotak besi ukuran sedang, yang tergeletak di tengah ruangan tersebut.

****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top