15. Meeting Him

Recap:
Dean berdiri dari rerumputan dan membereskan pedang-pedang yang kami gunakan untuk berlatih. Saat kami berdua sudah akan berpisah untuk pergi ke asrama masing-masing, ia melambaikan tangannya kepadaku dan berkata dengan pelan.

"Mungkin nanti akan kumaafkan,"

                               ****

"Hmm..."

"Oh ayolah, James," bujukku sambil menarik-narik lengan baju saudara lelakiku.

James mendelik kepadaku dan mendengus sambil melepaskan peganganku pada lengan bajunya.

"Kau kan tahu aku ikut kelas seharian kemarin!"

"Dan kau jadikan itu alasan untuk tidak mengunjungi kakakmu sendiri selama lebih dari sehari??"

Aku membuka mulutku untuk menyanggah tuduhannya. Namun segera kututup kembali mulutku setelah menyadari apa yang dikatakannya memang benar.

James menunggu responku selama beberapa detik sampai pada akhirnya ia menghela napas panjang.

"Though so," gumamnya. James lalu membalikkan badannya dan berjalan ke asrama laki-laki. Aku memutuskan untuk tidak mengejarnya. Mungkin ia waktu untuk sendiri.

Aku berbalik pergi ke asrama perempuan sambil menyaksikan kawanan burung yang terbang ke arah timur—hendak kembali ke rumahnya di senja hari ini.

Rumah....

Padahal belum sampai seminggu aku berada di akademi ini. Tapi rasanya, sudah bertahun-tahun lamanya sejak aku meninggalkan rumah. Dengan lesu aku masuk ke kamar dan melempar semua bawaanku di kasur. Tidak ada siapa-siapa selain diriku disini. Kemungkinan Tessa sedang berpesta dengan anak-anak keren dari angkatan atas.

Hari ini tidak terjadi sesuatu yang menarik. Aku belajar di kelas lagi bersama anggota must lainnya. Tidak ada yang berani menyinggung kejadian kemarin. Bahkan Dust pun tidak melakukan instruksi apapun denganku. Instruktur Chen  tidak mengajari kami hari ini jadi kami tidak belajar merapalkan mantra apapun. Setelah itu, aku latihan lagi bersama Dean di lapangan. Kata Dean kemampuanku berkembang pesat. Aku sudah mampu bertahan selama beberapa menit saat kami saling beradu pedang.

Namun, setelah 2 jam latihan, Dean mendapat panggilan dari kelompok hunter nya. Sehingga, kami tidak sempat berbincang-bincang.

Aku merebahkan diriku di atas kasur. Detik jam dan suara jangkrik saling beradu untuk mengalahkan keheningan di senja ini. Aku melirik jam dinding di depanku.

Pukul setengah 6. Masih ada satu jam lagi hingga panggilan untuk makan malam. Apa yang harus kulakukan untuk mengisi kekosongan selama satu jam ini?

Kemudian seakan menjawab pertanyaan batinku, mataku menangkap kerlipan cahaya di ujung ruangan. Lebih tepatnya di antara gunungan pakaian kotorku. Aku bangkit dari tempat tidurku dan mulai memilah-milah pakaian kotorku untuk menemukan sumber dari cahay tersebut.

Urgh...kenapa pesing sekali baunya... Apakah keringatku memang sebau ini?

Aku mengingatkan diriku untuk pergi ke laundry akademi besok untuk menyetorkan baju kotorku. Pantas saja muka Tessa selalu terlihat seperti kuda bunting yang sedang partus* setiap ia berada di kamar ini.

Setelah mengaduk-aduk timbunan pakaianku selama beberapa saat, aku menemukan darimana cahaya itu muncul. Sebuah batu hitam kecil.

Batu hitam yang sekarang sudah kukepal dengan erat. Aku tidak tahu kenapa aku selalu lupa meletakkannya di tempat yang aman setiap saat batu ini selesai menimbulkan masalah.

Aku harus menghancurkan batu ini...

Aku mengambil kunci kamarku dan bergegas pergi ke dapur akademi. Di dapur, aku yakin aku pasti dapat menemukan benda tajam yang dapat menghancurkan batu ini. Atau mungkin aku bisa melemparkannya ke penggorengan atau oven.

Semakin dekat jarakku dengan dapur, batu kecil di genggaman tanganku terasa semakin berat. Langkahku terasa semakin berat.

Sial....sedikit...lagi.

Saat pintu hijau dapur hanya tinggal beberapa langkah lagi, aku menghembuskan napas lega. Batu kecil itu sekarang telah kugenggam dengan kedua tanganku akibat bebannya yang semakin bertambah.

Baru saja aku hendak mendorong pintu dapur, seseorang menepuk bahuku dari belakang. Aku menengok dan memasang wajah kesal untuk menunjukkan bahwa aku sedang tidak berniat untuk berbincang-bincang.

Kerutan dahiku bertambah dalam saat aku melihat lawan bicaraku.

"Hai Kaitley!" sapa Zahra dengan riang. Ia memandangku dari atas sampai bawah lalu mulai mengoceh.

"Apa yang kaulakukan disini?? Kau lapar ya? Memang kudengar makanan yang ada di dalam dapur jauh lebih enak daripada makanan yang disajikan di ruang makan setiap hari. Bukankah itu hal yang an—"

Beban batu itu sekarang telah membuatku harus menopang tubuhku sendiri pada dinding di samping pintu dapur. Zahra masih terus mengoceh tentang dapur dan ruang makanan. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan untuk mencari sesuatu yang dapat mengalihkan perhatian perempuan berkerudung itu. Ketika mataku menangkap sesosok koki yang sedang merapihkan jasnya di sudut ruangan, sebuah ide timbul di benakku.

"Ah! Zahra, lihat!" seruku sambil menunjuk ke arah sang koki. "Koki itu sepertinya membawa makanan dari dalam dapur! Aku yakin pasti makanan itu enak!"

Zahra langsung menghentikan in ocehannya. Matanya memantulkan bayangan si koki yang sedang mengancingi jasnya. Lalu, tanpa aba-aba perempuan itu langsung menyerbu koki itu. Aku yang telah ia lupakan, segera mendorong pintu dapur tanpa membuang-buang waktu lagi.

Di dalam dapur, terlihat para koki dan pelayan yang sedang berlalu-lalang. Mereka semua sedang menyiapkan hidangan untuk makan malam semua murid di akademi sehingga mereka tidak melihat seseorang gadis kucel sepertiku yang diam-diam menyelinap di belakang mereka menuju ke tempat penggorengan.

Sosok familiar seorang lelaki berpakaian koki menghentikan langkahku. Aku mengamati bagaimana punggungnya yg lebar itu membungkuk. Rambut ikal kecoklatannya yang disisir asal-asalan dan ditutupi dengan topi panjang khas chef.

Tangannya yang sedang mengiris daging cincang itu serupa sekali dengan tangan yang sering mengelus kepalaku sebelum aku tidur dulu. Batu di tanganku terjatuh dan bergelinding ke arah kaki si koki. Ketika batu tersebut membentur sepatunya, koki tersebut menoleh ke bawah dan memungut batunya.

Aku menahan napas saat melihatnya mengamati batu tersebut sambil memicingkan matanya. Kerutan di samping matanya serupa pula dengan kerutan mata yang selalu muncul setiap kali ia tersenyum padaku.

Lelaki berbaju koki itu lalu menoleh ke belakang. Bola matanya melebar melihat diriku.

Saat itu, aku tidak menyangka bahwa sosoknya bisa membawa kembali begitu banyak kesedihan dan kepedihan yang sudah lama terkubur di dadaku. Aku tidak menyangka ia akan membuatku begitu rindu akan rumah. Saat ia memanggil namaku dengan suara serak, aku tetap terdiam di tempatku berdiri—takut jika aku bergerak, sosoknya akan hilang.

Ya tuhan, kumohon...kumohon semoga hal ini bukanlah ilusi.

Tangan lelaki itu mendekap tubuhku dengan lembut. Daguku bersandar di bahunya yang bergetar akibat isakannya.

Jujur, aku sendiri tidak ingat kapan terakhir kali sebuah pelukan dari seseorang begitu membuatku ingin menjerit sekaligus menangis sejadi-jadinya. Perlahan, kunaikkan kedua tanganku ke bahu lelaki itu untuk membalas dekapannya. Setelah itu tanpa sadar, jemariku sudah meremas baju koki lelaki itu dengan begitu erat hingga rasanya kain katun itu hampir rusak.

Aku memejamkan mataku. Berusaha untuk menikmati pelukan ini, seperti ini adalah pelukan terakhir yang akan kuperoleh dalam hidupku. Mulutku membuka dan mengucapkan sebuah kata yang dahulu terasa begitu manis setiap kali terucap di bibirku.

"Dad..."


****

Frau's Note:
Hai guyss wkwkwk maaf ya kali ini pendekk. Aku susah bgt skrng mau nyari waktu buat nuliss. Btw sekarang aku mau memperpanjang jadwal update-an ku krn seperti yg kalian tau, membuat 2500 kata dalam seminggu itu bukan hal yg gampang wkwk jd skrng aku update 2 minggu sekali ya :')

Hampura pisan
(Maap)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top