10. Election Test (Part 2)
Awesome banner above by deviation-
Recap:
Dehaman Dean selanjutnya, membuat kericuhan para murid mereda. Dean mulai membaca papan yang dari tadi ia pegang, lalu ia mengumumkan nama petarung selanjutnya. Aku yakin jantungku sempat berhenti saat mendengar kata yang selanjutnya ia keluarkan.
"Kaitley Summer,"
****
Aku terdiam. Aku tetap terdiam walaupun Dean telah memanggil namaku berkali-kali. Bahkan setelah ia memanggil lawanku ke tengah halaman pun, aku tetap tidak bergerak.
Murid lain mulai menengok ke segala arah sambil memanggil-manggil namaku. Di sebelahku, Zahra mengguncang bahuku dengan keras sambil membisikkan sesuatu. Entah apa yang ia katakan. Mataku terlalu sibuk menjelajahi lawanku yang telah berdiri di samping Dean; perempuan dengan tubuh semampai yang sedang menyipitkan matanya ke kerumunan murid untuk mencariku.
Ia mengetuk-ngetukkan kakinya ke tanah dengan tidak sabar sambil mengelus-elus rambut cokelat panjang di bagian kiri kepalanya. Sisi kanan dari kepalanya telah ia cukur habis. Anting-anting kecil menghiasi telinga, hidung, dan mulutnya. Dandanannya yang menyerupai preman membuatku semakin merasa terintimidasi.
"KAITLEY!! KAMU DIPANGGIL ITU CEPAT!" teriak sebuah suara di telingaku. Aku menyentak kaget dan segera menghindar dari suara Zahra yang luar biasa kerasnya itu. Semua orang melihat ke arahku dan setelah menyadari menyadari bahwa orang yang mereka tatap adalah Kaitley yang mereka cari, dengan tidak sabar, mereka mulai mendorong tubuhku ke depan. Aku tahu aku tidak boleh memberontak jika aku masih ingin mempunyai harga diri. Bulir keringat mulai terbentuk di sudut-sudut dahiku saat jarakku dengan area bertarung di tengah halaman semakin dekat.
Aku dapat merasakan tatapan mematikan dari lawanku yang mengamatiku dari atas sampai bawah. Mungkin saat ini aku terlihat tenang. Tapi pikiranku jelas tidak.
Shitshitshit apa salahku why why shsjsiekkdkfkd.
Sesampainya di arena bertarung, aku berdiri di samping Dean sambil menundukkan kepala. Tidak berani untuk menatap apapun selain tanah berumput di bawah kakiku. Dean menepukkan kedua telapak tangannya.
"Baiklah, jika semuanya sudah siap, kedua peserta dipersilahkan untuk mengambil tempatnya masing-masing." Sahutnya sambil mengarahkanku ke sisi kiri lapangan. Lawanku berjalan dengan santai ke sisi yang berlawanan sebelum Dean mengarahkannya.
Aku bahkan tidak tahu siapa nama perempuan dengan dandanan preman tersebut.
Aku memasang kuda-kuda yang digunakan oleh Lila tadi, dengan tidak yakin. Jika ada yang memerhatikan dari dekat, mungkin mereka akan mengernyitkan muka saat melihat tubuhku yang sudah basah terlebih dahulu oleh keringat sebelum pertarungan dimulai. Aku ya–
PRIITT
Eh... apa?
Tanpa aku sadari, Dean telah membunyikan peluitnya—yang artinya pertarungan sudah dimulai. Si preman (aku akan memanggilnya itu mulai sekarang. Jadi mohon maklum saja), tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerang. Ia memasang cara berdiri yang sama denganku.
Aku menengok ke kiri dan ke kanan. Apakah aku yang harus menyerangnya terlebih dahulu? tapi di film-film, orang yang menyerang terlebih dahulu pasti akan kalah. Aku menatap Zahra yang mengacungkan jempolnya sambil menyuruhku untuk menyerang duluan dengan isyarat tangannya.
"Oh, ayolah kita semua bisa menjamur kalau pertarungan ini tidak juga dimulai." Celetuk seorang murid yang berada di kerumunan depan. Murid-murid lain mulai menggumam dan mengeluh. Aku menggertakkan gigiku. Kalau mereka ingin cepat, kenapa tidak mereka saja yang berada di tempatku sekarang? ini sungguh super tidak adil.
Kukepalkan kedua tanganku di depan mukaku sambil berjalan perlahan untuk memperpendek jarakku dengan si preman. Sekarang kami hanya berjarak empat kaki. Tapi lawanku ini lagi-lagi tetap terdiam. Akhirnya, dengan jengkel kulancarkan tinjuku ke perut si preman. Kepalan tanganku membentur permukaan perutnya dengan keras. Aku merasakan ujung jemariku berdenyut-denyut sebagai efek benturan.
Atmosfer di sekitar lapangan menjadi semakin suram, saat aku menengadahkan kepalaku untuk melihat lawanku yang tetap bergeming. Ia bahkan tidak terlihat kesakitan walaupun tinjuku jelas-jelas telah mengenai salah satu bagian vital tubuhnya. Sudut mulutnya terangkat membentuk cengiran mengerikan.
"Itu saja?" Itu kata-kata pertama yang ia keluarkan semenjak pertarungan berlangsung. Suaranya yang serak dan rendah membuat tubuhku merinding. Memutuskan bahwa seranganku tadi terlalu gegabah, aku menarik tanganku dari perutnya, saat tiba-tiba ia bergerak untuk menahan tanganku.
Dengan panik, aku menggeliat memberontak sambil berusaha melepaskan genggamannya dengan tanganku yang satu lagi. Namun rupanya gerakanku lagi-lagi salah karena saat aku meletakkan tangan kiriku di lengannya, ia memutar tanganku satu lagi ke arah yang tidak memungkinkan. Aku menjerit kesakitan saat mendengar suara mengerikan yang keluar dari tanganku yang diputar. Si preman langsung melepaskanku saat tubuhku tersungkur di tanah sambil memegangi tangan kananku yang terpelintir.
Sebelum aku sempat berdiri, aku menerima tinju brutal dari si preman di pipi kananku. Murid-murid menggumamkan suara-suara melihat pertarungan yang mulai memanas. Kemarahan mulai mengambil alih ketakutanku. Menolak untuk dijadikan kantong tinju, aku berdiri tanpa memedulikan rasa panas di pipi kananku dan cairan asam yang mulai terbentuk di dalam mulutku.
Aku menendangnya menggunakan kaki kananku—yang berhasil ia tahan dengan kedua tangannya. Kucoba lagi menyerangnya dengan kaki kiriku. Lalu, tangan kiriku lagi. Semua seranganku berhasil ia tepis dengan mudah. Berbeda halnya denganku yang langsung rubuh tanpa daya saat ia meluncurkan dengkulnya ke perutku.
Aku sedang berusaha untuk mengatur napasku yang terengah-engah ketika perempuan preman itu berjongkok di tanah agar wajahnya sejajar dengan wajahku. Ia mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik.
"Kalau kemampuanmu hanya sebatas ini, pantas saja ayahmu pergi dari rumah."
Belum pernah seumur hidupku aku merasa begitu terkejut mendengar orang berbisik.
"Ap... apa?" Aku menatap si preman yang sekarang sedang tersenyum puas itu, dengan tidak percaya. Bagaimana mungkin ia tahu tentang ayahku? siapa sebenarnya dia? dan terlebih lagi, berani sekali dia berbicara seperti itu kepadaku!
"You hear me." Jawabnya. Ia sekarang sudah berdiri dan memasang kuda-kudanya di depanku seakan untuk menantangku. Well, kita memang sedang bertarung. Jadi wajar saja jika ia menantangku. Oh sudahlah lupakan apa yang baru saja kukatakan.
Ada sesuatu dalam diriku yang menolak untuk tetap terkapar setelah mendengar apa yang dikatakan si preman. Akhirnya, aku kembali berdiri sambil menyeka darah yang mengalir dari mulutku. Kali ini, tanpa menunggunya, aku langsung menghantamkan tubuhku kepadanya. Perempuan preman yang tidak mengantisipasi gerakan mendadakku, kemudian ikut terjatuh ke tanah bersamaku dengan keras. Sebelum ia sempat berdiri, aku mendudukinya dan menonjok pipi kanannya seperti saat ia menonjok pipiku tadi.
Aku terdiam beberapa saat. Kemudian aku sadar bahwa aku benar-benar muak melihat wajahnya, jadi kuluncurkan lagi tinjuku ke tengah-tengah wajahnya sebagai bonus.
Si preman mengerang setelah meludahkan darahnya. Ia mengernyitkan hidungnya yang mulai mengeluarkan darah pula. Lalu perlahan matanya menatap mataku dengan murka.
Bagus. Sekarang giliranku.
Kutarik kerah bajunya agar ia menatapku. "Siapa kau?" tanyaku tanpa ekspresi. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Bibirnya terbuka untuk menunjukkan gigi-geligi putihnya yang dihiasi oleh darah. Ia sedang mengejekku. Membuktikan walaupun aku yang memegang keadaan sekarang, aku masih belum cukup pantas untuk membuatnya takut.
Dengan geram, kutonjok lagi pipi kanannya. Kali ini lebih keras dari sebelumnya. Terdengar bunyi sesuatu yang retak di suatu tempat di wajahnya. Aku terlalu marah untuk peduli.
"Kutanya kau sekali lagi," kataku pelan-pelan sambil melihatnya berusaha menggeliat dariku. Kugeser posisi tubuhku yang ada diatas badannya ke tengah-tengah perutnya. Ia menjerit kesakitan—suara yang terdengar begitu indah di telingaku saat ini.
"Siapa kau dan bagaimana kau bisa tahu tentang ayahku? Kau sebaiknya menjawab pertanyaanku kalau kau masih sayang pada wajahmu." Ancamku. Kali ini tatapan menantangnya telah berubah menjadi tatapan gelisah.
Ia hampir merasa takut. Namun rupanya belum cukup untuk membuatnya membuka mulut sombongnya. Kujambak rambutnya yang tidak tercukur habis dengan keras—yang menyebabkan muka memar perempuan ini semakin berkerut.
"JAWAB PERTANYAANKU!"
Sebuah tangan menyentuh bahuku. Dean. Ia menggelengkan kepalanya kepadaku. Tatapannya menjadi sangat serius sekarang.
"Kaitley, sudah cukup. Lihat dia, dia sudah tidak bisa melawanmu lagi." Bujuknya dengan suara menenangkan. Aku menatap Dean sejenak lalu menatap wajah lawanku. Wajahnya dihiasi oleh memar-memar biru. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya. Pipi sebelah kanannya, bengkak. Aku tidak percaya. Seingatku, aku hanya mendorongnya ke tanah dan memukul wajahnya beberapa kali...
Atau ada sesuatu yang aku lupakan?
"Kaitley..." Kata Dean lagi, kali ini ia mencengkram bahuku dengan lebih keras. Memaksaku untuk melepaskan cengkramanku ke tubuh si preman. Namun, ucapannya terpotong oleh suara tawa serak.
Tawa si preman yang sedang kujambak. Ia menyipratkan ludah yang bercampur darahnya ke wajahku saat tertawa. Aku mengernyit jijik dan menjambak rambutnya lebih keras lagi. Menghiraukan bujukan mendesak Dean. Mulut si preman menyeringai, lagi, entah untuk yang keberapa kalinya saat ini.
"Dasar bodoh, kau kira orangtuamu sayang padamu? ayahmu pergi karena ia tidak tahan melihatmu. Bagaimana tidak? siapa yang mau punya seorang anak yang membunuh saudaranya sendiri?" ejeknya dengan pedas. Setiap kata yang dikeluarkannya menusuk-nusuk dadaku. Aku merasa begitu pahit dan perih di saat yang sama jika itu memang memungkinkan.
Lagi-lagi proyektor ingatanku memutar kejadian yang tidak ingin kuingat di masa lalu; tatapan ngeri ayahku saat ia menemukanku di reruntuhan Highstoon, perilakunya yang mendadak dingin saat mendengarku menceritakan kejadian sebenarnya, dan aku juga ingat, bagaimana ayahku berusaha membujuk ibuku untuk memasukkanku ke rumah sakit jiwa.
Entah kenapa, orangtuaku tidak pernah percaya pada perkataanku tentang Johnson yang telah berusaha untuk membunuh aku dan James. Ibuku selalu menyuruhku untuk memohon tobat dan mengaku padanya bahwa, akulah yang membunuh James dan meledakkan Highstoon karena kata mereka, itulah informasi yang diberikan oleh pihak sekolah berkaitan kasus ini.
Walaupun entah bagaimana, akhirnya aku diterima sebagai murid di Highstoon, penderitaanku tidak berkurang. Rumor tentangku tersebar di seluruh sekolah. Tidak ada yang mau mendekatiku. Mereka semua menatapku seolah-olah aku adalah seorang monster dengan wajah buruk rupa yang akan membuat mereka binasa dengan sekali hentakan.
Penglihatanku terasa buram saat aku membalas tatapan kurang ajar si preman.
Aku tidak akan menangis. Tidak. Tidak boleh.
"Itu... Itu ti–tidak benar," balasku pada akhirnya. Kuharap suaraku terdengar meyakinkan dan berani. Tidak serak seperti yang terdengar di telingaku sekarang.
Si preman mencibir. "Kau tahu itu benar Kaitley. Kau hanyalah sebuah..."
"Kesalahan."
Ia memuntahkan kata-kata terakhir dengan mendesis. Seperti ular yang memuntahkan bisanya. Bisa beracun yang dapat membunuh mangsanya. Sama seperti perkataannya yang memusnahkan kesabaran terakhir yang tersisa di diriku. Tersulut oleh emosi, aku mengangkat kedua telapak tanganku yang telah dikepalkan dan mengarahkannya ke wajah si preman.
Saat kedua tinjuku mengenai wajahnya mendadak semuanya berubah menjadi hitam. Aku mendengar raungan dan teriakan kesakitan di kejauhan. Aku tidak tahu apakah itu adalah teriakanku atau bukan. Yang kutahu pasti adalah setelah warna hitam berangsur-angsur hilang, keadaan disekitarku berubah menjadi berwarna merah. Merah darah. Aku hanya bisa melihat dunia dalam warna merah. Layaknya seekor reptil.
Si preman sudah tidak terlihat dimana-mana sekarang. Murid-murid berlarian kesana kemari. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Aku berusaha untuk berdiri—mencari Dean dan meminta penjelasan tentang semua ini. Namun ada sesuatu yang menahan kakiku.
Sebuah rantai.
Persis. Kejadiannya benar-benar serupa dengan apa yang terjadi di ruang test Highstoon pada waktu itu. Aku tidak tahu mengapa aku baru melihat bayangan-bayangan hitam (kemungkinan besar berwarna hitam. Mengingat hanya warna merah yang dapat kulihat sekarang) mahkluk-mahkluk yang berkeliaran di sekitar lapangan. Mengejar-ngejar apapun yang bergerak dan hidup di sekitarnya.
Mahkluk yang setelah aku lihat baik-baik adalah demon. Bedanya, sekarang aku yang terantai. Bukan mereka.
Aku menatap telapak tanganku dan melihat batu hitam serupa yang juga kupegang saat di highstoon. Dari batu hitam itu keluar sulur-sulur hitam—yang ternyata membentuk demon setelah sulur itu menyentuh tanah.
Hanya ada satu kemungkinan. Hanya ada satu orang yang dapat memanggil atau membentuk demon-demon itu.
Yaitu orang yang memegang batu hitam ini. Aku. Diriku sendiri.
Aku yang memanggil demon-demon ini.
Seorang lelaki dengan pakaian panjang yang tidak kukenal muncul di hadapanku. Ia membawa sebuah kapak besar—yang diarahkan kepadaku. Sebelum aku sempat bereaksi, lelaki itu mengayunkan kapaknya kepadaku. Kupejamkan kedua mataku rapat-rapat—bersiap-siap untuk menemui ajalku dalam keadaan paling ambigu yang pernah kualami seumur hidupku.
Terdengar suara sesuatu yang putus setelah kapak itu diayunkan. Anehnya, aku tidak merasakan sakit dimanapun. Aku membuka mataku dan melihat kemana kapak itu diayunkan.
Kapak itu diayunkan ke rantai yang dari tadi menahanku di tempat. Aku mengeluarkan tawa percaya-tidak-percaya dan segera berdiri untuk berterimakasih kepada lelaki itu. Tetapi, sebelum aku sempat untuk melakukan apapun, lelaki itu langsung mencengkram pergelangan tanganku dengan keras dan mengajakku lari dari tengah halaman.
Aku berusaha berbicara di tengah-tengah pelarian kami.
"Kita mau kemana??" teriakku dengan susah payah. Tapi sepertinya lelaki itu tidak mendengar pertanyaanku di balik angin kencang di sekitar kami.
Kami berlari selama beberapa saat, kemudian, si lelaki menoleh ke belakang untuk menatapku sambil terus berlari.
"Selamat datang di kelompok must, Kaitley." Seringainya.
****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top