25 ACCEPTANCE
Jalan Sabang, Jakarta Pusat, terlihat sangat ramai, seperti biasa. Para pegawai perkantoran sekitarnya mulai berhamburan melangkah di tepi jalan. Lot parkir bahkan sudah terlampau penuh sehingga, beberapa kendaraan di parkir sembarang. Mengganggu banyaknya pejalan kaki yang sekedar ingin mencari jajanan ringan.
Hari ini Jumat. Ah, Ariesa Chantrea suka hari Jumat. Jam istirahat dimajukan tiga puluh menit lebih awal dan ada tambahan tiga puluh menit lagi setelah jam istirahat. Total, waktu istirahat di Jumat adalah dua jam dan Trea biasa menggunakan waktu sebaik mungkin. Seperti hari ini, akhirnya, setelah tiga minggu sebelumnya dilewatkan dengan makan siang di kantin kantor, hari ini Trea kembali menikmati suasana Jalan Sabang bersama Rubi, Sakura dan Rosie. Sungguh, Trea rindu Soto Bogor yang ada di Jalan Sabang. Kesukaannya.
"Gila, Tre. Lo udah habis dua porsi, loh."
Rosie menggeleng-gelengkan kepala. Gadis berkaki jenjang dengan rambut lurus panjang yang dia warnai pirang, menatap Trea tak percaya. Rosie baru kembali dari penugasan di luar kota seminggu lalu dan langsung menemui Trea, meminta penjelasan atas banyak yang dia lewatkan.
"Kan, gue gak pake nasi." Trea menjawab santai, menghabiskan sendok Soto terakhirnya sebelum menghela napas, "Kenyang banget gue, ya ampun. Berasa hidup kembali."
"Lo makan kayak gak napas tahu, Tre." Sakura menatap Trea dengan wajah heran.
Trea mendengus. "Lo, kan, tahu ini Soto Bogor terbaik yang pernah ada. Gue gak mau melewatkan rasanya, sedetik pun."
"Emang lo kelaperan aja." Rubi menimpali dan membuat yang lain tertawa.
"Gue udah berapa bulan gak ke sini tahu!"
Keempat sahabat dekat itu melanjutkan makan siang mereka sambil sesekali berbincang. Ah, rasanya sudah sangat lama sekali mereka tidak berkumpul bersama dengan formasi lengkap.
"Girls, buat pakaian bridesmaid, gue kasih kain polosan, ya. Terserah kalian mau desain kayak gimana. Besok, paket bridesmaid kalian sampai di meja kerja masing-masing." Sakura tiba-tiba berujar dengan ceria.
Ketiga sahabatnya nyengir mendengar hal tersebut. Sebenernya, tidak asing juga. Sakura akan melangsungkan pernikahan dalam waktu satu bulan dari hari ini. Gadis itu benar-benar menjadi yang pertama menikah, setelah mengalami patah hati teramat dari seseorang yang dia kencani selama beberapa tahun belakangan. Ujung-ujungnya, Sakura menikah dengan teman sepermainannya dulu, seorang pemuda keturunan Manado-Jawa Tengah, yang datang di waktu yang sangat tepat ketika Sakura merasa kosong setelah kehilangan cinta lamanya.
Prosesnya juga teramat cepat. Baru kurang dari tiga bulan lalu Sakura putus dari Juna, dua minggu setelahnya Sakura bertemu dengan Mike dan hanya butuh waktu sebulan perkenalan kembali, mereka mantap memutuskan untuk menikah. Proses yang sangat cepat.
"Lo udah yakin banget mau nikah sama Mike? Iya, sih, kalian udah lama kenal. Keluarga juga udah kenal dekat. Tapi kayak gimana, ya? Lo benar-benar udah lupain Juna? Maksud gue, lo bareng Juna dalam jangka waktu yang cukup lama tahu, Ra." Trea tiba-tiba berujar, mendapat anggukan persetujuan dari Rosie yang duduk di sampingnya.
Sakura terkekeh dan menggeleng. "Gue gak pernah lupa, lah, sama Juna. Biar bagaimana pun, dia pernah hadir di empat tahun hidup gue, kasih kenangan yang gak terlupakan. Gue gak akan pernah lupain dia." Sakura bertopang dagu, tersenyum tipis, "Gue berharap dia dapat yang terbaik. Gue mau dia bahagia."
Sebenarnya, Sakura dan Juna adalah pasangan paling serasi dan mengerti satu sama lain. Namun, beberapa bulan belakangan, mereka mulai memikirkan masa depan untuk keduanya. Perbedaan keyakinan, tidak bisa lagi diperdebatkan, meski mereka bertahan selama empat tahun lamanya.
"Cepat juga lo move on, ya, Ra." Rosie menimpali.
Sakura terkekeh lagi, "Ya, life must go on, loh, dan dari awal mencintai, gue kayak udah mempersiapkan hal semacam ini bakal terjadi. Dari awal gue sama dia, gue udah berdoa sama Tuhan supaya diberi keikhlasan jika akhirnya, gue sama dia gak bakal bersama."
"Jadi, lo udah ikhlas?" Tanya Rubi.
Sakura mengangguk mantap. "Iya, lah. Itu kunci utama move on. Ikhlas. Terima fakta kalau dia bukan pelabuhan akhir kita. Terima fakta kalau hadirnya hanya sementara. Terima fakta kalau dia berhak dibahagiakan oleh orang lain. Terima fakta kalau kita pun berhak dibahagiakan oleh orang lain. Terima takdir Tuhan." Sakura memejamkan mata sekilas, "Lo udah berusaha keras, lo tinggal terima hasil dari usaha keras lo. Gak ada kegagalan, itu antara usaha lo kurang atau rencana Tuhan yang lain jauh lebih baik."
"Gila, lo kayak Mario Teguh gitu ngomongnya semenjak sama Mike."
Rosie bertepuk tangan, disambut tawa oleh Rubi. Bibir Sakura mengerucut kesal, sementara Trea sibuk dengan pikirannya yang entah bagaimana bisa melayang jauh setelah mendengar ucapan Sakura.
***
Terhitung sudah sebulan lamanya Trea meninggalkan apartemen mewah milik Kaspian Ezra Danuarta, ketika sang pemilik sedang berada di Surabaya. Trea juga mengirimkan pesan perpisahan kepada Ezra yang hingga sekarang, hanya dibaca tanpa dibalas.
Trea tak menyangka, percintaannya akan semenyedihkan ini. Padahal sebelumnya, jika menginginkan seseorang, Trea bisa mendapatkannya dengan mudah. Toh, Trea cantik dan memiliki postur tubuh bak model, ditambah gaya bicara yang lugas dan otak yang tak kosong. Semua pria pasti dengan mudah jatuh hati pada Trea. Tapi tidak dengan Ezra.
Sungguh, sangat menyedihkan. Trea tak pernah merasa semenyedihkan ini sebelumnya. Pesannya satu bulan lalu tidak dibalas oleh Ezra, tiap malam sebelum tidur Trea memandangi room chatnya dengan Ezra, beberapa kali didapatinya Ezra yang sedang online, tapi tak juga membalas pesannya.
Memang, sih, Trea ingin melupakan Ezra secepat mungkin, itu juga alasannya mencari pekerjaan dan tempat tinggal baru. Tapi fakta bahwa Ezra sama sekali tidak peduli dan malah memperlakukan Trea selayaknya tak banyak peristiwa yang mereka hadapi, itu sangat menyiksa. Seperti semuanya tak lagi berarti.
Sialnya, Trea sangat bodoh untuk terus memikirkan pemuda yang tak lagi memikirkannya itu.
"Tre, jangan kebiasaan bengong gitu. Takut kesambet."
Trea mengerjap di kursi kerjanya, dia menoleh dan nyengir kepada rekan kerja terdekatnya selama sebulan belakangan, Agnes namanya. Gadis keturunan Tionghoa dengan rambut pendek sebahu yang benar-benar manis.
"Kepikiran doi lagi?" tanya Agnes dan Trea tak bisa untuk tidak jujur menjawab pertanyaan itu. Trea menganggukkan kepala.
"Udah sore, loh, Tre. Lo pulang, deh, mending dari pada kerja di kantor, terus tiba-tiba ngelamunin doi. Mending lo pulang, mandi dan tidur cepat biar besok fresh lagi."
Trea menganggukkan kepala dan mulai merapihkan meja kerja beserta tasnya. Setelah rapih, gadis itu beranjak dari kursinya dan melanbaikan tangan kepada Agnes, berpamitan.
"Lo jangan lembur lama-lama, ya, Nes. Betah banget di kantor. Besok weekend."
Agnes terkekeh. "Bentar lagi balik, kok."
"Gue duluan, ya? Sampai ketemu Senin."
"Hati-hati, Tre."
Trea melangkah gontai meninggalkan ruangan kerjanya. Sepanjang perjalanan, gadis itu menyapa beberapa karyawan yang berpapasan dengannya sebelum menunggu di lobi sambil memesan ojek daring ke kostannya.
Tak lama, ojek datang dan butuh waktu lima belas menit sampai akhirnya, ojek berhenti di area dekat kostan Trea. Trea turun dari ojek dan gadis itu melangkah gontai hendak memasuki kost dan langkahnya terhenti saat melihat seseorang duduk di
kursi besi dekat tangga menuju kamar kost Trea, kursi besi yang biasa menjadi kursi tamu kostan. Seseorang yang...sudah sebulan belakangan membuat Trea kecewa dengan ekspektasinya sendiri.
"Trea."
"Ezra?"
***
Sudah lima belas menit sejak mereka tiba di restoran, tak ada percakapan yang terjadi. Seakan keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing dan tak tahu apa yang akan dibicarakan. Sesekali, Trea mencuri pandang pada Ezra yang masih mempertahankan wajah tanpa ekspresinya, kepalanya sedikit tertunduk.
"Kok lo tahu kostan gue?" Trea memberanikan diri membuka bicara.
Ezra mengangkat wajahnya. "Gue ngikutin lo, dari lo pulang kerja tadi."
"Ada urusan apa, Zra?"
Satu alis Ezra terangkat mendengar ucapan Trea. "Ada urusan apa, Tre? Itu pertanyaan lo setelah sebulan lamanya kita gak ketemu dan lo pergi begitu aja tanpa nunggu gue kembali?"
Trea mengerjap. "Lo bahkan gak ngerespon pesan perpisahan gue dan tiba-tiba lo muncul di kostan gue."
"Karena gue gak tahu harus balas apa." Ezra menjawab santai, kembali menundukkan kepala. "Lo pergi begitu aja dan lagi, gue belum bisa nerima alasan lo pergi."
"Lo juga gak bakal ngerti, Zra. Ngapain juga gue bertahan lama-lama dekat-dekat sama lo? Gue mau hidup normal, tanpa bayang-bayang lo."
Ezra memicingkan mata. "Kalau ada gue, hidup lo gak normal?"
Trea menghela napas. "Gue gak tahu harus gimana jelasinnya, Zra. Gue cuma gak mau lo berpengaruh sedemikian besar di hidup gue."
"Kenapa lo gak mau gue berpengaruh besar di hidup lo?"
Mata mereka terkunci satu sama lain, Trea kembali menghela napas. "Karena gue gak mau kasih diri gue sendiri harapan berlebih tentang lo, Zra. Karena sampai kapan pun, gue bakal tetap kalah dari masa lalu lo dan kalau gue bertahan terlalu lama dekat lo, itu nyakitin perasaan gue, Zra."
Ezra menghela napas, mengangguk sebelum tersenyum tipis kepada gadis di hadapannya. "Gue pergi ke Surabaya sewaktu lo pergi."
Trea mengangguk. "Iya, tahu. Lo udah WA gue kan."
"Gue bohong soal pekerjaan."
"Hah?"
Ezra mengangguk. "Gue pergi terapi di sana, ditemani dokter Yoseph. Surabaya itu...tempat tinggal Gaby dan makamnya ada di sana." Ezra memejamkan mata sekilas, "Untuk pertama kalinya sejak dia pergi, gue ngunjungin makamnya. Tempat peristirahatan terakhirnya."
Trea mengerjap. "Zra, maksudnya lo...,"
Senyuman tipis merekah di bibir Ezra. "Gue juga berjuang, Tre. Gue berusaha keras menerima fakta kalau tunangan gue udah gak ada, dia udah bahagia di surga sana." Ezra menghepa napas, "Gue gak akan pernah lupain dia, tapi gue udah sangat ikhlas nerima fakta kalau gue dan dia gak berjodoh di dunia ini."
Mata mereka kembali bertemu, "Sejak kecelakaan itu, gue emang gak bisa nerima fakta Gaby udah gak ada. Gue mulai berhalusinasi, menganggap Gaby masih ada dan lagi ada tugas di luar negeri sana. Setiap malam, dia hadir di mimpi gue dan...gue selalu ngerasa dia ada di dekat gue dan orang-orang berbohong tentang kematian Gaby."
"Lo kemudian dateng ke hidup gue. Gue juga gak paham, kenapa harus lo yang bikin gue sadar sebelum akhirnya ikhlas nerima kenyataan ini." Lagi, dia menghela napas, "Semua orang terdekat gue mengasihani gue karena masih menganggap Gaby ada. Bahkan kakak Gaby berkirim pesan sama gue, menyamar sebagai Gaby, hanya karena gue bakal teramat keras menolak kematian Gaby. Ayah Gaby sendiri kirim Yoseph buat jadi dokter gue. Mami udah coba segala hal buat bikin gue lupain Gaby, salah satunya ngedeketin gue ke lo."
Senyuman muncul di bibir Ezra, "and it worked. Lo dan keanehan tingkah lo yang bikin semuanya berhasil."
Bibir Trea mengerucut. "Tingkah aneh gue?"
Ezra mengangguk. "Seumur hidup, gue gak pernah dituduh copet sama seseorang yang baru gue temuin di kantor polisi. Gue gak pernah didatengin seseorang, dipeluk sembarangan hanya karena orang itu mau putus dari pasangannya. Gue gak pernah nemuin orang pura-pura hamil buat dikasihani. Gue gak pernah ketemu seseorang yang ketiduran di bangku taman dan marah besar ketika gue mau bangunin dia, tapi dia melongo ngeliat gue bertelanjang dada ketika selesai mandi." Ezra terkekeh, "Terlalu banyak keanehan dalam diri lo, Tre, tapi gue juga gak tahu kenapa, gue bisa nerima semua keanehan lo itu."
"Saat lo cium gue malam itu, harusnya gue bisa menahan diri kayak biasanya, tapi gue gak bisa. Dari awal gue cium lo, tiap lihat lo, gue pengen cium lo lagi dan lagi. It's addictive." Ezra memejamkan mata sekilas, "Saat gue bangun dan ngelihat lo ada di samping gue, gue seakan dapat semangat buat memulai hari. Gue sadar, gue udah terlanjur mengizinkan lo hadir di hidup gue dan gue mau lo menetap untuk waktu yang lebih lama."
Baiklah, ini sangat aneh. Trea dibuat kehabisan kata-kata mendengar ucapan Ezra, rasanya ingin pingsan. Tak pernah Ezra berkata sebanyak ini padanya dan Ezra terlihat sangat tulus. Tidak seperti biasanya.
"Kenapa lo baru datang sekarang? Gue udah kirim pesan perpisahan ke lo sejak satu bulan lamanya."
"Karena gue butuh waktu buat ngeyakinin perasaan gue sendiri, Tre. Gue harus nahan diri buat gak WA lo. Gue nahan diri buat gak ngehubungin lo. Gue nahan diri buat gak nemuin lo. Gue nahan diri buat gak meluk lo. Gue nahan diri buat gak cium lo." Napas Ezra tertahan sesaat, "Hari ini, gue udah gak kuat nahan semuanya lagi, Tre. Hari ini, dengan penuh kesadaran gue ngedatengin lo dan gue mau lo tahu, gue mau lo terus ada di hidup gue."
Trea benar-benar kehilangan kata mendengar ucapan Ezra dan gadis itu setidaknya bersyukur dia bisa sedikit menunda ucapannya saat pesanan mereka datang, dihidangkan di hadapan mereka.
***
Mobil Ezra terparkir di depan area kostan Trea. Keduanya masih diam, tak ada perkataan sedikit pun yang ke luar dari keduanya selama perjalanan. Ezra tak lagi berkata panjang lebar tentang kondisinya dan Trea tak tahu harus berkata apa. Biasanya, Trea banyak bicara, tapi hari ini Ezra sukses membuatnya membeku.
Trea berusaha mengendalikan diri, gadis itu melepas sabuk pengamannya sambil berkata, "Makasih traktirannya, ya, Zra. Gue duluan, ya," Trea hendak membuka pintu mobil, namun Ezra menahan lengan gadis itu dan membuat Trea kembali duduk.
"Udah gitu doang? Lo gak ada tanggapan apa-apa tentang pengakuan gue tadi?" Ezra memasang wajah bingung, memicing kepada Trea.
Satu alis Trea terangkat. "Gue harus jawab apa, Zra? Gue harus nanggapin apa?"
"Ya, lo apa, kek, gitu, Tre. Buat pengakuan yang sama kayak gue atau apa gitu?"
Trea menggelengkan kepala. "Tanpa buat pengakuan sekarang, lo kan, udah sering dengar pengakuan suka gue ke lo. Ya, lo pikir, semuanya bisa berubah dalam waktu singkat? Masih sama, kok."
Ezra terkekeh, tangannya mengelus kepala Trea. "Ya, udah. Jangan diubah rasa sukanya. Suka sama gue aja."
"Ya, kalau Oh Sehun balas perasaan gue, udah pasti berubah rasa gue ke lo."
"Siapa bihun?"
Trea menonjok lengan Ezra. "Enak aja bihun! Sehun. S-E-H-U-N."
"Ya, siapa?"
"Pacar gue."
"Lah, gue?
"Lah, emang lo pacar gue?" tanya Trea, memasang wajah menggoda.
Ezra menggeleng. "Bukan, sih. Gak mau juga jadi pacar lo."
"Idih."
"Jadi suami aja."
Trea tertawa keras mendengar ucapan Ezra. "Zra, lo kerasukan apa, sih? Kenapa ngomong lo jadi receh gini, aduh?!"
"Kerasukan lo, sih."
Trea mencoba menghentikan tawanya, kali ini dia membuka pintu mobil Ezra. "Udah, ah. Gak kuat gue. Gue masuk duluan, ya."
"Udah begitu doang?"
Senyuman Trea merekah dan Ezra menahan napas saat tiba-tiba Trea mengecup lembut pipinya sebelum berkata, "Hati-hati di jalan. Love you."
Belum sempat Ezra menjawab, Trea sudah beranjak ke luar dari mobil, membanting pintu mobil dengan keras dan berjalan cepat seperti anak kecil memasuki area kostannya. Ezra terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Trea sebelum meraih ponselnya, mengetik nama Trea dan membuka room chat yang tiap malam dia pandangi.
Menjijikan sebenarnya, tapi Ezra merekam voice note untuk Trea sebelum melajukan mobilnya meninggalkan area kostan Trea.
"I love you, too, Trea. Have a nice dream."
TAMAT
---
Huhu, finally we say goodbye to Ezra-Trea🥲
Ngetik ini penuh perjuangan, mood nulis angot-angotan akhirnya, selesai di tahun 2021, pas lagi isolasi mandiri banget, haha😂
Terima kasih udah berkenan baca Acceptance dari awal sampai tamat.
Mohon maaf kalo banyak kurangnya, kesan-kesan selama baca cerita ini boleh banget kalian ceritain kalo berkenan, hehe😅🙏🏻
Oh, ya, aku udah repost Arasa di akun ini. Doain semoga kali ini lancar sampai akhir ngetik yang satu itu. Jadi, selamat bertemu kembali dengan Aksa-Rissa😉
Selamat malam Minggu, all.
Stay safe & always be happy🥰
17 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top