24 TERAKHIR

"Jadi, lo udah ambil keputusan?"

Trea mengangguk mantap mendengar pertanyaan dari Rubi. Rubi tersenyum, tangannya mengambil kentang goreng di hadapannya dan memasukkan ke dalam mulut, mengunyahnya cepat. Siang ini, Trea meminta Rubi untuk menemaninya mencari kostan baru yang dekat dengan kantornya kelak. Ah, Trea senang. Kemarin, dia mendapat panggilan dari BUMN tempatnya melamar pekerjaan dan mereka bilang, Trea sudah bisa mulai bekerja Senin minggu depan. Trea akan menandatangani kontrak kerja selama enam bulan terlebih dahulu.

"Kontrak enam bulan, kalau kinerja gue dinilai bagus gue ikut tes ulang dan bisa naik jadi calon pegawai selama tiga bulan sebelum akhirnya pegawai tetap. BUMN, loh, Bi, jadi kayaknya sangat meyakinkan kalau gue kerja di sana." Trea menyeruput cangkir berisikan teh hijau pesanannya.

Rubi mangut-mangut. "Gue dukung banget, sih, Tre. Emang lo layak dapat kerja yang lebih baik daripada perusahaan swasta kita. Duh, gue juga gak tahan lama-lama. Gue lagi coba-coba lamar kerja di tempat lain."

"Kenapa?"

Rubi menghela napas. "Makin gak karuan, Tre. Banyak banget orang titipan yang gak bisa kerja. Gue jadi bingung, kan, harus kerjasama sama siapa? Gak ada satu pun yang bisa diandelin."

Trea terkekeh. "Ya, udah, sih, Bi. Tanpa lo kerja juga keluarga lo pasti masih mau nampung lo sampai akhirnya, pangeran berkuda putih lo ngelamar lo."

"Andre ngelamar gue? Mustahil."

"Kok, mustahil, sih?"

Rubi memutar bola matanya. Gadis dengan pipi tembam itu mengerucutkan bibir begitu mengingat bagaimana kelakuan seseorang yang sudah dikencaninya selama tiga tahun belakangan. "Andre, mah, kelakuan aja masih kayak bocah. Gue aja bingung hubungan gue dibawa ke mana. Ya, udahlah, ya. Gue gak nuntut buru-buru juga."

"Gak apa-apa juga, sih. Nanti ada waktunya Andre berubah, gue yakin. Sekarang, biarin aja dia senang-senang sama dunianya."

Rubi mengangguk setuju dan keduanya kembali hening. Hari ini, Rubi memilih untuk bolos kerja agar dapat menemani Trea dan Trea tak tahu bagaimana bisa dia mendapat sahabat seloyal Rubi.

"Lo gimana sama cowok itu? Udah memperjelas hubungan?"

Cowok itu yang Rubi maksud tentu saja Kaspian Ezra Danuarta. Trea tak dekat dengan siapa pun lagi selain Ezra.

"Ini salah satu jalan gue ikhlasin dia juga, Bi. Gue udah bingung harus gimana. Saingan gue berat banget, tapi gak ada di dunia sekarang."

Rubi terkekeh, tangannya terulur mengelus lengan Trea. "Sabar, ya. Gue yakin, lo bakal nemuin seseorang yang jauh lebih baik dari dia. Yang bakal lihat lo terus-menerus, tanpa bayang-bayang masa lalu."

"Amin."

"Lo udah bilang dia tapi?"

Trea mengangguk. "Udah."

"Responnya?"

"Dia terus-terusan nanya, kurang apa kerja di dia sampe gue mutusin buat kerja di tempat lain?" Trea memutar bola matanya, "Padahal masalah utama gue, ya, dia. Apa lagi dah?"

Rubi mangut-mangut. "Baiklah. Berarti, hari ini gue bakal jadi saksi lahirnya new Trea. Tempat kerja baru, tempat tinggal baru dan gebetan baru!" Rubi mengepalkan tangan penuh semangat.

"Gebetan baru apaan, deh."

"Ya, pokoknya gak lagi-lagi, deh, si Ezra itu. Cowok baru. Oke, lo berhak dapet cowok baru yang sangat jauh lebih baik dari Ezra. Semangat!"

Trea hanya terkekeh dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Setelah mencari selama seharian penuh, Trea akhirnya mendapatkan kostan yang cukup dekat dengan tempatnya bekerja nanti. Mengingat uangnya yang belum terkumpul banyak, Trea membayar sewa untuk tiga bulan terlebih dahulu dan menandatangani kontrak sewa. Mulai besok, Trea sudah dapat pindah ke kostannya yang baru dan hanya perlu berjalan kaki ke kantor barunya.

Rubi mengantar Trea kembali ke apartemen tempatnya tinggal selama sebulan belakangan. Rubi tak pernah mengantar Trea sampai ke apartemen ini sebelumnya dan mata sipitnya membulat.

"Gila. Selama ini lo tinggal di apartemen semewah ini?"

Trea mengangguk. "Apartemennya Ezra. Kosong. Bagus banget dalemnya, Bi. Gue berasa orang kaya tiap masuk ke sini."

"Ini mah mewah banget, Tre! Kaya banget, si Ezra. Rumah tinggalnya aja di kompleks mahal yang dekat kostan lo, kan?"

Lagi, Trea mengangguk. "Rumahnya yang paling besar dan megah. Gila banget, sih."

"Ya, iya, sih. Tapi percuma kaya kalo gak punya perasaan, Tre."

"Punya, Bi. Cuma buat orang lain." Rubi terkekeh mendengar ucapan Trea, Trea membuka pintu mobil Rubi, "Makasih banyak buat hari ini, ya, Bi. Gue masuk duluan. Lo hati-hati di jalan. Kalau udah sampai, jangan lupa WA."

Rubi mengangguk. "Kalau lo butuh tumpangan buat pindahan, lo tahu, lah, harus hubungin siapa?" Rubi mengedipkan satu matanya.

"Baik banget, sih, sahabatku yang satu ini. Lo mau bantuin gue pindahan?"

"Hubungin abang-abang GoBox, lah, Tre. Ya, kali, dah, gue ngangkut barang-barang pindahan lo." Rubi tertawa kecil dan bibir Trea mengerucut.

Trea keluar dari mobil Rubi dan tak lama kemudian, Rubi melajukan mobilnya menjauh setelah melambaikan tangan perpisahan kepada Trea. Memastikan Rubi tak terlihat lagi, Trea berbalik dan menatap apartemen besar di hadapannya. Trea memejamkan mata dan menghelanya perlahan.

Duh, rasanya sangat berat. Hari ini mungkin akan menjadi hari terakhirnya tinggal di hunian mewah ini dan mungkin akan menjadi hari terakhirnya bertemu dengan...Ezra.

Sesampainya di apartemen, Trea duduk di sofa ruang tamu, mengeluarkan ponsel dari tasnya dan menghela napas mendapati pesannya belum juga dibaca dan dibalas oleh Ezra.

Zra, lo balik jam berapa? Gue mau ngomong. Penting. Bisa ke apartemen?

Jam di ponsel menunjukkan pukul delapan malam dan belum ada tanda-tanda kedatangan Ezra. Trea melempar asal ponsel dan tasnya di atas sofa sebelum melangkah ke dapur, memutuskan memasak hidangan makan malam terakhirnya untuk seorang Kaspian Ezra Danuarta.

Dengan bahan masakan seadanya yang kemarin dia beli dari minimarket, Trea berhasil menghidangkan Spaghetti Aglio Olio dan telur dadar di atas meja makan. Gadis itu duduk, melirik jam yang tergantung di dinding ruang makan. Sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan Ezra belum juga datang.

Ah, Trea benar-benar gelisah menunggu kedatangan Ezra.

Bagaimana tidak? Setelah perdebatan panjang di dalam pikirannya dan banyaknya pertimbangan yang benar-benar menguras batinnya, Trea sudah memutuskan. Besok, dia akan melangkahkan kaki ke luar dari apartemen Ezra. Mungkin sore hari, setelah dia merapihkan apartemen ini meskipun, tanpa dirapihkan juga sudah rapih.

Beberapa hari lalu, Trea tidur bersama Ezra. Ya, Trea mengizinkan Ezra tidur di kamar bersamanya, tidak melakukan apa pun hanya tertidur di ranjang yang sama, berselimutkan selimut yang sama. Lagi pula, sebelumnya mereka pernah melakukan hal yang sama dan...rasanya menyiksa.

Trea selalu terbangun di tengah malam karena suara isak tangis Ezra. Ezra menangis, benar-benar menangis di dalam mimpinya dan beberapa kali dia menyebut nama Gaby. Sepertinya pemuda itu memimpikan Gaby dan Trea tak bisa berbuat banyak tentang itu. Trea hanya dapat mengelus lembut belakang kepala pemuda itu dan tak lama, tangisnya menghilang dan dia tertidur normal.

Tak pernah terbayangkan di pikiran Trea, seberapa besar perasaan yang Ezra miliki untuk Gaby. Ezra seperti sangat mencintainya dan akan melakukan apa pun untuk gadis itu. Trea iri. Sangat iri. Bagaimana bisa seseorang yang sudah tak ada lagi di muka bumi ini, mendapatkan sebegitu besar cinta dari seseorang sesempurna Ezra?

Segala usaha telah Trea lakukan, masa bodoh terlihat buruk atau murahan, tapi dia belum mampu menghapus bayang-bayang Gaby itu dari hati dan pikiran Ezra. Kesal, sungguh. Bagaimana bisa Trea kalah oleh orang yang sudah meninggal? Bahkan orang itu tidak berusaha penuh ketika Trea sudah berusaha penuh?

Pikiran Trea sangat berkecamuk, apalagi saat Ezra menciumnya. Trea masih dapat mengingat dengan jelas. Seperti ada sangat banyak kupu-kupu beterbangan dan menabrak tiap sudut dinding perut Trea. Ada perasaan menyenangkan, namun gelisah di saat bersamaan. Trea penasaran, saat Ezra menciumnya, apa yang ada di pikiran Ezra? Apa Ezra tahu dia mencium Trea? Atau dia hanya melampiskan rasa rindu akan ciuman Gaby? Semua pertanyaan itu sangat menyiksa batin Trea.

Trea menundukkan kepala dan tanpa sadar air mata menetes dari pelupuk matanya. Perasaannya sudah menyeruak ke luar untuk Ezra, tapi Ezra seakan menolak untuk menampung perasaannya. Sangat menyakitkan.

Di saat bersamaan, ponsel yang Trea letakkan di sofa berdering beberapa kali. Panggilan masuk dari kontak yang dia namai Ezra. Hingga akhirnya muncul pesan masuk baru dari Ezra.

Sori, Tre. Gue ada pekerjaan dadakan ke Surabaya. Kita ngobrol nanti, ya?

---

Fast updated😁
Part 25 = Last
Terima kasih yang udah baca dari part awal yang pertama kali sejujurnya aku post di tahun 2018 apa yaa wkwkwk
Semoga cerita ini berkenan dan berkesan buat kalian😊

Thank you juga atas doa-doa kalian, ahh, I feel so much better now. Buat yang lagi sakit, semoga lekas membaik. Buat yang sehat, Stay safe ya dan ketatin prokes! 💪

See you on the next chapter!

09 Juli 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top