16 COKELAT
Akhirnya, Ariesa Chantrea menerima penawaran Kaspian Ezra Danuarta dan di sinilah dia berada sekarang. Dengan dua koper dan dua tas dberisikan barang-barang yang dimilikinya selama tinggal di Jakarta, Trea memasuki kamar berukuran lima kali delapan meter yang jelas-jelas terlihat seperti sebuah rumah minimalis untuknya, lengkap dengan toilet di dalam kamar. Bukan hanya itu, Ezra juga membantu Trea mengangkut barang-barangnya ke apartemen ini.
"Kasih tahu gue kalau lo butuh sesuatu. Silahkan rapih-rapih dulu. Gue ke balkon sebentar."
Trea menoleh, nyengir dan menganggukkan kepala kepada Ezra yang berdiri di depan pintu kamar yang akan di tempati Trea, entah sampai kapan. Hari ini hari Jumat dan Ezra pulang lebih cepat dari biasanya hanya untuk menjemput Trea. Malam sebelumnya, pemuda itu memang menghubungi Trea juga, meminta Trea agar mempersiapkan barang-barangnya, meski Trea bersikekeuh dia masih memiliki waktu sewa hingga seminggu ke depan.
Gadis itu duduk di tepi ranjang yang akan segera menjadi tempatnya membaringkan tubuh, bersantai setelah lelah bekerja. Sial. Bahkan, ranjangnya saja terasa berbeda, tidak seperti ranjang di kostan. Semua yang ada di apartemen ini, jelas-jelas barang bermerk dan berkelas premium yang mungkin akan butuh waktu panjang untuk Trea mengumpulkan uang demi memiliki barang-barang di sini.
Trea beranjak dari posisi duduknya dan melangkah menuju ke dua koper besar miliknya. Trea membuka isi koper tersebut. Ada pakaian, sepatu, make up dan barang-barang lain yang menurut Trea penting untuk dibawa. Sisanya, Trea tinggal di kostan, apalagi barang-barang pemberian Calvin selagi mereka menjalin hubungan dekat. Duh, padahal, niatnya ingin Trea jual dan lelang semua barang itu. Tapi melihat barang-barang dari Calvin itu membuat Trea naik pitam sendiri. Menyebalkan.
Koper pertama berwarna merah muda Trea buka. Isinya adalah pakaian. Trea sudah melipat semua pakaian itu dan tinggal dipindahkan ke lemari empat pintu yang ada di kamar ini. Duh, empat pintu dengan delapan laci di bawahnya. Dulu di kostan, Trea memaksa masuk semua pakaiannya di lemari dua pintu dengan satu laci di dalamnya. Sekarang, mungkin Trea bisa menata dan memisahkan pakaiannya sesuai dengan kegunaan. Seperti celana di lemari ke satu, kemeja di lemari ke dua, dan seterusnya.
Ah, sangat menyenangkan. Rasanya seperti jiwa inspiratif Trea muncul secara menggebu saat diberi kesempatan tinggal di tempat sebaik ini. Trea harus banyak-banyak berterima kasih pada Ezra.
Omong-omong tentang Ezra, ah, bagaimana Trea bisa melupakan si pemilik apartemen hanya karena sibuk merapihkan kamar? Lagi pula, merapihkan kamar bisa besok. Trea harus melakukan sesuatu untuk berterima kasih pada Ezra.
Dengan penuh inisiatif, Trea melangkah menuju ke dapur yang lagi-lagi membuatnya tercengang dengan semua barang-barang premiumnya. Trea membuka lemari es dan beruntung, ada beberapa jenis minuman instan di sana. Trea mengambil dua cangkir, membuatkan cokelat panas instan untuknya di minum bersama Ezra.
Trea membawa dua cangkir gelas itu menuju ke balkon yang berada di sisi kanan ruang tengah. Pintu dua sisi balkon terbuka dan memperlihatkan Ezra yang duduk memunggungi Trea, entah apa yang dilakukan. Trea melangkah mendekat dan langkahnya terhenti saat melihat asap ke luar dari puntung rokok yang terselip di sela-sela jari Ezra.
Ezra merokok? Seorang dokter merokok?
Baiklah, Trea cukup terkejut dengan pemandangan di hadapannnya. Trea menarik napas, menghelanya perlahan dan lebih melangkah mendekat. Saat tiba tepat dua langkah di belakang Ezra, langkah Trea kembali terhenti menyadari satu tangan Ezra memegang sebuah tablet yang menampilkan foto seorang gadis cantik berambut panjang yang tengah tersenyum.
Gaby.
Entah kenapa, Trea bisa menyimpulkan jika gadis itu adalah Gaby. Gadis yang menjadi alasan mengapa Ezra menjadi seperti ini sekarang.
"Lo ngapain?"
Trea terkejut, tersadar dari lamunan sesaatnya begitu melihat Ezra menoleh padanya. Pemuda itu mematikan layar tabletnya dan menatapnya dengan datar. Trea refleks menggelengkan kepala, gadis itu nyengir sebelum melangkah lebih mendekat, meletakkan dua cangkir cokelat panas yang dia bawa di atas meja rotan, lalu menarik kursi yang berada di samping Ezra untuk dia duduki.
"Gue bikini lo cokelat. Mumpung lagi dingin dan mendukung." Trea berujar ceria menatap Ezra, sebelum beralih menunjuk rokok di sela-sela jari Ezra yang tertinggal setengah, "Gue baru tahu lo ngerokok, Zra."
Ezra diam sejenak, kemudian mematikan bara rokok tersebut, meletakkanya di asbak. Trea buru-buru menggeleng. "Eh, gak usah dimatiin. Lo ngerokok aja, gak apa-apa. Gue gak ngerasa terganggu sama sekali. Teman-teman gue juga banyak yang ngerokok, kok."
Pemuda yang terlihat sangat tampan bahkan hanya dengan mengenakan kaus polos berwarna abu-abu itu tersenyum simpul. "Gue gak ngerokok saat ada orang di dekat gue. Sori, ya." Tangan kekarnya meraih pegangan cangkir cokelat yang Trea buat, menyeruput cokelat itu perlahan sebelum berkata, "Makasih, ya, buat cokelatnya."
Trea menghela napas. "Eh, tapi seriusan, Zra. Lo kalau mau ngerokok, silahkan. Gue gak bakal ganggu. Kalau lo butuh waktu sendiri, ya, udah gue bisa minum cokelatnya di dalam. Sori gue ganggu."
Kelagapan, Trea berdiri dari kursinya dengan satu tangan memegang cangkir kopinya, berniat untuk pergi namun, Ezra menahan lengan gadisi itu sambil berkata, "Duduk, Tre. Duduk aja. Gak apa-apa. Gue gak sedikit pun merasa terganggu."
Napas Trea tertahan, dia kembali duduk di kursinya semula, meletakkan kembali cangkir cokelatnya di atas meja. Hening. Ezra menatap langit malam dan tatapannya teramat datar.
"Zra, makasih, ya. Gue gak tahu gimana hidup gue kalau lo gak kasih bantuan kayak gini. Gue bingung gimana ngomong dan ngebalasnya." Trea membuka percakapan, perlahan.
Ezra menoleh padanya dan mengangguk. "Gue ikhlas mau bantu. Lagian, gue juga butuh teman buat bantu pekerjaan-pekerjaan gue. Gue tahu, kerja lo cukup bagus. Lo dipecat bukan karena sebuah kesalahan."
Trea menggigit bibir bawahnya, melirik sebungkus rokok yang terletak di atas meja. "Zra, seriusan. Lo kalau mau ngerokok, silahkan."
Ezra tertawa kecil, menggelengkan kepala. Pemuda itu meraih sebungkus rokok yang dia letakkan di atas meja, memasukkan ke dalam saku celana cargo hitam yang dia kenakan. "Enggak, Tre. Kan, gue udah bilang, tadi. Gue gak ngerokok saat ada orang di sekitar gue. Gue dokter, Trea. Lo tahu itu dengan jelas."
"Gue kira dokter cukup peduli sama kesehatannya. Tapi lo malah ngerokok. Kaget, gue."
Lagi, Ezra tertawa kecil. "Gak semua dokter sempurna, Trea. Dokter juga manusia. Kadang, pola hidup sehat emang baik untuk kesehatan fisik, tapi semua gak berlaku untuk kesehatan batin."
Kini, giliran Trea yang terkekeh. "Oke, sekarang lo terdengar jelas seperti psikiater."
"That's my job."
Hening kembali. Ezra sibuk dengan pikirannya sendiri dengan tatapan menatap ke langit dan Trea dengan banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, dengan mata yang tertuju hanya pada pemuda tampan di sampingnya.
"Lo lihat foto siapa tadi?"
Pertanyaan itu membuat suasana mencekam seketika, Trea mengumpat dalam hati, takut-takut melakukan kesalahan lagi. Ezra menoleh kepadanya dan tersenyum tipis. Kini, Ezra meraih tabletnya dan menyalakan layar tablet tersebut, menunjukkan foto seorang gadis cantik yang menjadi wallpaper tabletnya tersebut. Gadis cantik yang sedang tersenyum menatap kamera dengan tangan yang menuangkan sesuatu dari teko. Sungguh, bahkan terlihat lebih cantik saat jelas seperti ini.
"Cantik, ya?"
Trea mengerjap mendengar pertanyaan itu sebelum mengangguk. Ezra tersenyum tipis, meletakkan kembali tablet tersebut di atas meja. "Namanya Gaby. Gaby Aurellia. Tunangan gue. Pramugari. Lagi di Turki sekarang."
"Turki?" Trea bertanya refleks, bingung sungguh.
Ezra mengangguk. "Iya. Itu dari pesan yang terakhir dikirim ke gue. Tapi gak tahu, akhir-akhir ini, kayaknya lagi sibuk banget. Gak bisa gue hubungin. Terpaksa gue tunda pernikahan ke tahun depan sampai dia bisa dihubungin."
"Kenapa dia gak bisa dihubungin? Lo...yakin dia ada di Turki?"
Ezra mengangguk kembali. "Sebelum penerbangan ke Turki, dia kirim pesan ke gue. Minta gue buat mundurin pernikahan ke tahun depan karena dia ada kesibukan yang gak bisa dihindarin. Dia minta maaf kalau jarang ngehubungin, kalau hilang-hilangan. Gue memaklumi, sih." Ezra menarik napas, menghelanya perlahan, "Gue juga gak tahu, akhir-akhir ini banyak orang jodohin gue ke cewek lain saat mereka tahu gue masih berstatus tunangan Gaby. Gak sopan banget, ya? Termasuk Mami yang jodohin lo ke gue, Tre."
"Zra, kata Mami...kata Mami....,"
"Just don't listen to her. Gue percaya dan pegang baik-baik janji Gaby. Dia baik-baik aja di sana, lagi kerja dan sibuk. Gue yakin, secepatnya dia bakal ngabarin gue kalau dia balik ke Jakarta. Gue dan dia bakal persiapin pernikahan kami."
Trea diam mendengar ucapan penuh penekanan Ezra tersebut. Trea menunduk, pikirannya beralih pada saat Cindy berbicara dengan Trea mengenai apa yang terjadi pada Ezra dan Gaby. Singkat cerita, Gaby mengalami sebuah kecelakaan pesawat dan tewas dengan jasad yang tak lagi utuh. Ezra bahkan menunggu di bandara seminggu penuh hingga kepastian ditemukannya jasad Gaby. Tapi sesuatu terjadi tak lama setelahnya. Ezra pingsan kelelahan dan begitu terbangun, pikirannya seakan kembali ke masa sebelum kecelakaan itu. Meski sudah diberitahu berkali-kali, Ezra tidak mau menerima kenyataan dan hingga sekarang, hidup dalam khayalannya, di mana Gaby masih di Turki menjalankan tugasnya sebagai pramugari.
"Lo sayang banget sama Gaby, ya, Zra?"
Ezra tersenyum tipis. "Lebih dari apa pun. Bahkan jika harus ngorbanin nyawa gue sekali pun."
Trea menghela napas. Rasanya bingung harus bagaimana menghadapi semua ini. Ezra hanya akan terbebani oleh pikirannya yang menganggap Gaby masih hidup, jika dalam dirinya sendiri tidak bisa menerima semua. Dia belum mengikhlaskan kepergian Gaby.
"Zra, gimana kalau...gimana kalau Gaby nemuin kebahagiaan lain di sana? Dia ketemu cowok lain di Turki dan udah hidup bahagia di sana."
Ezra memicingkan mata. "Gak akan terjadi. She loves me, too much and we are about to get married."
Trea mengulas senyum tipis. "Kalau lo cinta sama dia, harusnya lo bisa ikhlas lihat dia bahagia. Meski kebahagiaannya bukan lo lagi." Trea menyeruput cokelat hangatnya perlahan, "Kalau lo tahu lo bukan lagi kebahagiaannya, tapi lo maksa dia bertahan di sisi lo, itu bukan cinta, tapi obsesi."
Pemuda bertubuh tegap itu tak lagi merespon ucapan Trea dan Trea tak melanjutkan obrolan. Membiarkan pikiran mereka berkelana, mengikuti ke mana arah angin malam berkelana.
---
Fast updated and fresh from the oven!
Semoga masih menyenangkan buat dibaca, yaa...
Thank you :)
21 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top