14 HOTEL

Awalnya, Trea mengira Ezra akan meninggalkannya dan membiarkan Trea pulang sendiri atau minimal membentak Trea karena telah lancang berbicara seperti itu tentang seseorang yang sangat dicintainya, namun Ezra hanya diam dan melanjutkan langkah kakinya menuju ke kostan Trea. Dia hanya diam tanpa kata, bahkan hingga tiba di depan kostan Trea.

"Udah sampai. Tidur yang nyenyak."

Kalimat itu akhirnya menjadi kalimat pembuka percakapan mereka, diucapkan oleh Ezra sebelum pemuda itu berbalik dan hendak melangkah meninggalkan Trea. Trea menahan napas dan menahan lengan Ezra, membuat Ezra menoleh dengan raut wajah yang masih datar.

"Zra, sori. Gue gak maksud ngomong begitu."

Ezra mengangguk, tangannya perlahan menyingkirkan tangan Trea yang memegang lengannya. "Gak apa-apa. Sana masuk. Gue duluan, ya."

"Zra, sori banget."

Trea berujar keras dan Ezra hanya diam, berbalik melangkah meninggalkan area kostan Trea. Trea berdiam di tempat, sungguh, tak menyangka mulut lancangnya berhasil membuat Ezra bertingkah seperti itu. Diam tanpa kata. Tidak, lebih baik Ezra marah-marah kepada Trea daripada diam seperti itu.

Napas Trea tertahan. Gadis itu menatap punggung Ezra yang kian menjauh sebelum memantapkan diri untuk berlari menabrak punggung tersebut, melingkarkan tangannya pada perut datar Ezra yang menghentikan langkahnya, terdiam.

"Zra, plis. Gue tahu ini berlebihan, tapi gue mohon banget sama lo. Mami juga pasti mengharapkan hal ini. She is gone, Zra. She is at her happiest place. Jangan kayak gini. Gue sedih tahu kalau dibalik semuanya, lo lebih menderita."

Ezra tak berkata apa pun. Dia hanya diam selama beberapa saat sebelum melepaskan tangan Trea dari tubuhnya dan berbalik. Matanya menatap lekat Trea.

"Trea, you talked too much tonight. Lebih baik lo masuk ke kostan dan tidur. Jangan pernah sekali pun ikut campur urusan gue. Good night."

Trea mengumpati diri, lagi, dalam hati melihat Ezra melangkah pergi.

***

Hari ini tepat dua minggu sejak Trea tidak bekerja. Semua lowongan pekerjaan dia coba untuk mengajukan lamaran, tapi belum juga ada panggilan. Trea mulai stress dengan kondisi ini. Sesekali, Sakura dan Ruby mengunjunginya, membawakan sangat banyak makanan sehingga, sedikit membantu Trea dalam melakukan penghematan. Tapi tetap saja. Trea tak bisa terus beketergantungan dengan para sahabatnya.

"Gue nikah aja kali, ya? Seenggaknya, hidup gue jadi ditanggung suami."

Sakura dan Ruby yang baru hendak memakan pisang goreng di hadapan mereka menoleh menatap Trea yang menatap hampa ke televisi tiga puluh dua inci yang ditontonnya. Malam ini, Sakura dan Ruby menginap di kostan Trea yang akan habis kontrak dalam waktu dekat.

"Udah punya calon lo? Gak pernah cerita, anjir." Ruby berujar, sebelum memakan pisang goreng miliknya.

Trea dengan santai menggeleng. "Belum punya, sih. Tapi kalau hidup gue begini terus, tanpa ada pekerjaan, ya, gimana? Gak bakal bisa lanjut. Kasian orangtua gue di kampung berharap banyak sama gue, tapi guenya begini. Gak nyangka cari kerja sesusah ini."

Sakura mangut-mangut. "Ya, udah, Tre. Sabar. Tetap semangat cari kerja. Gue bantu, deh, cari kenalan buat jadi suami lo. Buat opsi pengganti semisal lo gak dapat kerjaan juga."

Bibir Trea mengerucut. "Duh, tapi gak bisa asal cari suami, loh. Kan, harus lihat bibit-bebet-bobotnya."

"Gak apa-apa, Tre. Yang penting banyak uang dan bisa nanggung hidup lo. Gak apa-apa, lah, jadi beban orang."

Ruby melempar bantal ke arah Sakura, membuat Sakura melotot ke arahnya sebelum Ruby beralih kembali menatap Trea. "Usaha dulu, Tre. Masalah cari suami biar hidup lo terjamin, itu jelas bukan ide bagus. Nikah itu ya, kalau lo udah siap. Kalau belum, mending tunda dulu sampai siap. Nikah itu sakral, jangan sampai lo permainin arti sakral itu."

Trea menghela napas mendengar ujaran penuh keseriusan Ruby. "Terus gue harus gimana? Gue mulai frustasi. Nyokap nanyain kabar gue mulu, gue gak berani jawab. Uang gue semakin menipis, gak cukup buat bertahan hidup sebulan ke depan." Trea menundukkan kepala, "Mana Ezra marah sama gue dan gak ngehubungin sampai sekarang."

"Ezra siapa lagi, anjir? Lo banyak banget rahasia, deh!"

Trea memutar bola mata mendengar kekesalan Ruby. "Itu, loh. Orang yang gak sengaja gue tuduh copet di Sabang."

Ruby dan Sakura saling tatap sebelum melotot. "Yang cakep itu? Tinggi? Wangi?"

Trea nyengir dan mengangguk. "Iya. Gue deket sama dia beberapa minggu belakangan. Tapi dia lagi marah sama gue karena gue bahas masa lalunya."

Sakura mendengus. "Ya, siapa juga cowok yang mau bahas masa lalunya? Pasti dia mengarah ke depan. Gak mau bahas yang udah-udah."

"Masalahnya beda, Ra. Duh, susah dijelasin."

"Lo udah minta maaf sama dia karena bahas masa lalunya?" Ruby yang kini bertanya.

Trea mengangguk. "Udah. Gak ada respon."

"Telepon? Kirim pesan? Ketemu langsung?"

Trea mengangguk. "Udah minta maaf langsung. Udah kirim pesan, gak dibales. Udah telepon, gak diangkat."

"Tunggu kalau begitu. Dia masih butuh waktu buat maafin lo. Lagian, dah. Aneh banget. Lo kan baru kenal beberapa minggu belakangan, udah berani ngehakimin masa lalunya. Jelas dia marah besar."

Entah, sudah berapa nasihat ke luar dari mulut Ruby malam ini, hanya untuk Trea seorang.

***

Zra, maafin gue, sih. Capek, nih, minta maaf dikacangin mulu sama lo. Kangen gue.

Kaspian Ezra Danuarta membaca pesan yang dikirimkan oleh seseorang dengan kontak yang dia namai T. Hanya huruf T, sungguh.

Ariesa Chantrea mengiriminya pesan sejak seminggu belakangan dan hampir semuanya berisikan permohonan maaf, atau kegiatan yang dia lakukan selama di rumah. Ezra membaca semua pesan Trea, tapi untuk membalasnya, Ezra harus menahan diri. Ezra masih kesal karena Trea berani berbicara seperti itu padanya, seminggu lalu.

"Dokter Ezra, ditunggu Profesor di ruangannya."

Ezra yang baru selesai membaca pesan terbaru Trea menoleh untuk mendapati seorang perawat yang menyembulkan kepala dari balik pintu ruangan Ezra untuk menyampaikan perintah tersebut. Ezra mengangguk dan bangkit berdiri mengenakan snelinya.

"Saya segera ke sana." Ujarnya, tegas.

"Baik, Dok. Permisi." Perawat itu menutup kembali pintu ruangan Ezra.

Ezra merapihkan sneli yang dia kenakan dan baru hendak melangkah meninggalkan meja saat ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk baru, dari Trea.

Trea mengirimkan sebuah lokasi kepada Ezra, dengan pesan di bawah lokasi tersebut.

Ini dekat sama rumah sakit lo, kan? Gue interview jam 3 dan setelahnya gue main ke sana yaa, plissss?

***

Chantrea Ariesa menarik napas, menghelanya perlahan. Gadis itu duduk di sofa yang terletak di lobi sebuah hotel yang berada tak jauh dari rumah sakit tempat Ezra bekerja. Tidak hanya Trea, duduk di sofa itu, ada beberapa gadis sepertinya yang juga menunggu kapan giliran mereka tiba.

Sejujurnya, Trea lupa lamaran apa yang dia masukkan ke perusahaan yang bergerak di bidang jasa perhotelan ini. Kalau tidak salah administrator, atau resepsionis. Apa pun itu, Trea benar-benar membutuhkan pekerjaan untuk menyambung hidup.

Gadis-gadis yang semula duduk di samping Trea, lama-lama pergi dan menghilang setelah seseorang menghampiri mereka dan mengatakan mereka ditunggu oleh manajer SDM. Hingga menyisakan Trea. Jantung Trea berdegup cepat, sangat gugup menunggu gilirannya. Pada gadis yang dijemput staf tadi juga tak kunjung ke luar dari elevator yang membawa mereka entah ke lantai berapa.

"Chantrea Ariesa?"

Trea mendongakkan kepala begitu namanya dipanggil. Seorang staf hotel menghampirinya dengan senyuman manis, sedikit membungkukkan tubuh.

"Iya, saya?"

"Salam kenal. Saya Putri. Ikuti saya, ya, ke ruang interview."

Trea mengangguk dan bangkit berdiri dari sofa, gadis itu melangkah mengikuti sang staf melangkah menuju ke elevator. Si staf menekan tombol naik dan keduanya berdiri berdampingan menunggu elevator terbuka.

Pintu elevator terbuka dan si staf sudah memimpin masuk ke dalam elevator kosong, saat sebuah suara membuat Trea menghentikan langkahnya dan menoleh.

"Trea!"

Trea menahan napas, mendapati sosok tegap Ezra yang terengah-engah, melangkah menghampirinya. Ezra menarik tangan Trea, membuat tubuh Trea linglung menabrak tubuh kekarnya. Si staf ke luar dari dalam elevator, menatap gugup Ezra yang kini menatapnya tajam.

Tanpa basa-basi, Ezra bertanya penuh intimidasi kepada staf tersebut. "Interview pekerjaan di kamar hotel? Siapa interviewernya?"

Si staf menggigit bibir bawahnya gugup mendengar pertanyaan tegas Ezra. "Maaf, tapi--,"

"Hotel ini milik teman saya dan saya tahu jelas di mana ruang manajemennya. Lantai dua ke atas jelas-jelas bukan di mana manajemen itu berada. Siapa interviewernya? Biar saya cek langsung ke teman saya." Ezra berujar galak, penuh penekanan.

"Maaf, tap--,"

"Ezra!"

Perhatian mereka teralihkan oleh seorang pria yang melangkah cepat menghampiri mereka, mengenakan pakaian formal lengkap dengan dasi. Pria itu berhenti di depan Ezra, Trea dan staf yang mengaku bernama Putri tersebur. Si pria menatap tajam kepada stafnya.

"Ini yang kalian lakukan untuk menambah penghasilan?" tanyanya, si staf menundukkan kepala.

Tak lama, muncul lagi staf-staf lain bersama dengan pria itu. Menundukkan kepala penuh sesal. "Sudah kami cek, Pak. Mohon maaf, sebelumnya. Akan kami bereskan segera masalah ini."

Trea mendongak, menatap bingung Ezra yang berdiri di sampingnya, menggenggam erat tangannya. Ezra sedikit menunduk untuk menatap Trea sebelum menepuk pundak pria berpakaian formal yang berbicara dengan nada penuh penekanan pada para staf tersebut.

"Talk to you later. I need to go."

Si pria mengangguk. "Oke, Bro. Mohon maaf sekali lagi."

Ezra mengangguk. "Gak apa-apa. Tapi mohon diperbaiki lagi sistem manajemen hotel ini."

"Oke, Bro. Gue hubungi lo secepatnya."

"Gue duluan, ya."

Setelahnya, Ezra masih menggenggam tangan Trea, mengajak gadis itu pergi meninggalkan hotel dengan kepala penuh pertanyaan.

---

Happy Satnight!
Gaes, aku juga udah repost PRIOR di wattpad, bisa dicek di akun ini yaa.
Terima kasih sudah membaca. Maap makin ngaco :)

06 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top