12 GABY

Gadis mana yang tidak klepek-klepek dengan cowok model Ezra? Cowok yang selalu konsisten dengan kata-katanya, seperti saat ini. Sungguh, Trea tak menyangka Ezra benar-benar mendatangi kostan Trea dan mengajak Trea mencari udara segar berkeliling kota Jakarta. Berdiam di mobil, dengan kaca yang sedikit terbuka. Rasanya sangat menyenangkan.

"Gue laper."

Trea menoleh mendengar suara tersebut. Sedari tadi dia sibuk mengagumi kerlap-kerlip lampu gedung-gedung pencakar langit Jakarta, memejamkan mata merasakan hembusan angin yang menggelitik kulit. Seperti sedikit terangkat semua beban pikirannya.

"Ya, udah. Berhenti aja nanti kalau ada tempat makan yang mau lo kunjungin. Udah jam segini, sih." Trea melihat layar ponsel yang dia letakkan di pangkuannya.

Ezra menghela napas. "Gue udah nemenin lo jalan-jalan. Lo rekomendasiin, dong, tempat yang enak dan buka jam segini." Mata sipit pemuda itu masih fokus pada jalan.

Trea berpikir sejenak, sebelum akhirnya gadis itu nyengir kuda dan memberi rekomendasi, "Sate taichan, yuk? Di Senayan."

"Enak?"

"Ezra, ini udah tahun 2019 dan lo masih mempertanyakan keenakan sate taichan?! Ke mana aja, sih, lo? Enak banget, Bro! Rasa micinnya berasa banget! Makanya enak!" Trea menjelaskan dengan penuh semangat, well, gadis itu memang pecinta junkfood.

Ezra menoleh sekilas. "Junkfood?"

Trea menggeleng. "Gak juga, sih. Elah, Zra, kalau pun junkfood, emang kenapa? Lo pasti jarang-jarang makan junkfood, ya? Damn, kok, ada orang yang gak suka junkfood."

"Bukan gak suka, Trea. Hanya membatasi. Gue dokter. Gue tahu mana yang tepat untuk gue makan dan mana yang enggak."

Bibir Trea mengerucut. "Ayolah, Zra. Membatasi bukan berarti gak makan sama sekali, kan? Enak, kok, sumpah. Gue kalau abis makan junkfood, berasa hidup kembali. Jadi, lo juga harus coba!"

"Lebay."

"Seriusan, ih! Lo gak percayaan banget! Udahlah, fix. Kita makan sate taichan!"

Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Ezra memutuskan untuk mengalah dan mengikuti arahan langsung Trea yang mengantarkan mereka pada kios sate taichan di pinggir jalan. Hanya beratapkan terpal dan meja kayu yang juga ditutupi bekas spanduk. Ah, sangat sederhana.

"Dua puluh tusuk, ya, Kang! Yang satu daging doang, yang satu campur kulit. Minumnya jeruk hangat aja dua gelas."

Trea yang memesan tanpa bertanya terlebih dahulu pada Ezra dan Ezra hanya diam, mengikuti keinginan gadis itu. Duduk tenang dengan tangan terlipat di atas meja, masa bodoh beberapa pelanggan menoleh menatapnya sambil berbisik. Ezra terbiasa dengan bisikan-bisikan para gadis, hingga pemuda itu menoleh dan menyadari jika tak hanya para gadis, tapi beberapa pria mata keranjang menoleh ke meja mereka. Menatap Trea lebih tepatnya, mengingat gadis itu hanya mengenakan celana pendek selutut dan kaus putih teramat tipis bahkan condong terlihat...transparan.

Transparan.

Sial. Ezra baru menyadari hal itu.

Pemuda itu melepaskan jaket yang dia kenakan dan di saat bersamaan Trea duduk kembali setelah memesan, Ezra menyodorkan jaketnya. "Gue, kan, kasih lo waktu buat bersiap. Kenapa lo pakai baju gembel kayak gitu, sih? Pakai jaket gue!"

"Kenapa, sih, Zra? Gue, kan, pakai apa pun tetap cantik."

Ezra memutar bola matanya. "Bukan soal lo cantik atau enggak, tapi kaos lo itu...," Ezra memejamkan mata, tak sanggup melanjutkan dan memilih untuk menghela napas, meredakan suaranya. "Udah, dipakai aja jaket gue. Gak usah dibalikin juga gak apa-apa."

Trea menunduk melihat kaus yang dia kenakan, kemudian nyengir kepada Ezra. "Lupa, Zra. Lo cepet banget, sih, datengnya. Gue gak sempat pilih baju tadi."

"Terserah, Trea."

Trea tersenyum, mengenakan jaket yang semula dikenakan Ezra, sesekali sambil menghirup wangi jaket tersebut. "Berasa dipeluk lo, Zra."

"Tre, lo cewek. Jangan terlalu frontal gitu."

Bibir Trea mengerucut. "Ya, gak apa-apa, sih. Emang gue suka wangi lo jaket. Nenangin gitu. Apalagi kalau dipeluk langsung sama yang pakai, ya?"

"Trea!"

Trea tertawa, lalu mengelus lengan Ezra. "Bercanda, Zra. Elah." Trea tersenyum senang melihat wajah jengkel Ezra, kemudian memasukkan tangannya di saku jaket Ezra, "Tapi kalau lo mau meluk beneran juga gak apa-apa. Kan, gue lagi sedih, nih, Zra. Bukannya pelukan itu cukup berguna buat meredakan kesedihan gue? Lo gimana, sih? Kan, dokter."

Ezra menghela napas, mengangguk kecil. "Benar, Trea. Tapi lo tetap gak boleh minta peluk sama orang yang belum lama lo kenal. Lo gak boleh gampang percaya sama orang yang baru lo kenal."

"Iya, sih." Trea mangut-mangut, memandang ke sembarang arah sebelum tersenyum tipis dan menunduk, "Gak tahu kenapa, ya, Zra. Gue kayaknya udah naruh kepercayaan gue penuh ke lo. Gue juga gak tahu. Gue kayak ngerasa aman dan nyaman aja tiap dekat lo. Apa karena lo psikiater dan emang tahu jelas bagaimana cara memperlakukan orang lain, ya?"

Mata Ezra menatap Trea lekat. Dari caranya bicara saat ditelepon tadi, Ezra sudah yakin, gadis ini melalui hari yang buruk. Dari tatapan kosongnya saat ini juga dan entah kenapa, Ezra tergerak untuk mencoba menghibur Trea. Gadis itu tak punya siapa pun, setahu Ezra dan dia terlihat sangat kesepian di mata Ezra meskipun, dia pandai bermain peran menutupi kesepian itu.

"Zra!"

Pemuda bertubuh tegap itu mengerjap mendengar panggilan tersebut. Trea menatapnya dengan mata memicing. Ezra mengangkat satu alis tebalnya. "Kenapa?"

"Jangan sok perhatian gini ke semua pasien lo! Cukup ke gue aja, oke? Ini perintah, bukan pertanyaan!"

Ezra memutar bola matanya. "Stop talking nonsense, Trea."

"Seriusan, Zra. Jangan kasih perhatian kayak gini ke pasien lo yang lain, apalagi cewek! Lo gak ngapa-ngapain aja, para cewek ngerubungin lo. Apalagi lo kasih perhatian lebih? Banyak banget, sih, pesaing gue."

"Trea, gue udah punya tunangan."

Trea mengangguk. "Iya, tahu. Masa bodoh sama tunangan lo itu. Pokoknya, jangan kasih perhatian lebih ke pasien lo yang lain selain gue, oke?!"

Malam tak terasa berganti teramat cepat, saat kedua insan itu menghabiskan waktu bersama.

💠

"Trea, dengan sangat berat hati saya harus menginfokan hal ini ke kamu. Setelah diadakan rapat kepegawaian atas masalah kamu dan Calvin yang berimbas pada pemasaran produk perusahaan, dengan ini kami memutuskan untuk merumahkan kamu. Kamu masih akan mendapat gaji penuh bulan ini dan diminta untuk mempersiapkan berita acara serah terima tugas selama seminggu ke depan."

Baru semalam perasaan Trea terasa membaik saat Ezra mengajaknya berkeliling kota Jakarta, sama sekali tak terpikirkan Trea akan mendapatkan informasi buruk dalam waktu dekat. Trea sudah mempunyai firasat dia akan dipecat, tapi Trea tak tahu jika secepat ini. Trea belum mendapat panggilan kerja dari perusahaan-perusahaan tempatnya memasukkan lamaran pekerjaan dan sekarang dia sudah kehilangan pekerjaan. Dia akan menjadi pengangguran, entah sampai kapan.

"Tre, gue mohon banget sama lo. Masih belum terlambat, please, turunin ego lo dan minta maaf ke Calvin. Gue gak mau lo pergi dari kantor, Tre. Please."

Rubi menatapnya memelas, Trea menggeleng tegas. "Mana bisa, Bi. Lo sendiri, loh, dulu yang mendukung gue buat gak sama Calvin. Gue udah lepas dari dia dan mungkin, ini konsekuensi yang harus gue hadapin."

"Tre, lo tim marketing terbaik yang pernah gue punya. Please, pertimbangin lagi saran Rubi." Kali ini, Sakura yang berbicara.

Trea tersenyum tipis dan menggeleng. "Enggak, Ra. Gak bisa. Udah final."

"Tre,"

Gadis berponi rata yang jatuh di dahinya tersebut tersenyum lebar, melangkah ke meja kerjanya. "Oke. Gue masih punya waktu seminggu buat kasih kinerja terbaik gue. Semangat, Trea!" Tangan gadis itu mulai kembali bergerak di atas keyboard, mengetik rekapitulasi pendapatan dari penjualan yang berhasil dia handle.

Rubi dan Sakura menatap sahabat dekat mereka dengan pilu.

💠

Pemuda bertubuh tegap itu menatap pintu ruangan besar di hadapannya. Dia menarik napas, menghembuskannya perlahan sebelum tangan besarnya meraih gagang pintu dan mendorong pintu tersebut agar terbuka. Sosok pria paruh baya dengan jas berwarna putih yang semula duduk tenang menoleh ke arahnya dan tersenyum ramah.

"Dokter Ezra. Silahkan duduk."

Ezra mengangguk, melangkah mendekat dan duduk di kursi tamu yang berhadapan langsung dengan sang pria paruh baya. Nametag di atas meja bertuliskan Direktur Utama dan Ezra tak bisa untuk tidak menundukkan kepala.

"Sudah lama, ya, Zra?"

Mata sipit Ezra mengerjap, pemuda itu mengangguk masih dengan kepala tertunduk.

"Apa kabar, Zra? Saya dengar, pasien kamu cukup banyak dan pelayanan kamu sangat baik dengan tingkat kepuasan sangat maksimal."

Ezra memaksakan diri tersenyum. "Baik, Prof."

"Kamu terlihat...lebih baik dan saya senang melihatnya." Pria paruh baya itu tersenyum tipis, benar-benar menatap Ezra dengan tatapan kebapakan. "Cukup lama waktu yang saya butuhkan buat lihat kamu dan kamu terlihat lebih baik sekarang, Zra."

Pria paruh baya itu membuka map yang ada di hadapannya, membaca isi map tersebut sebelum berkata pelan, "Udah berapa lama kamu gak nemuin Dokter Yoseph?"

Ezra memejamkan mata. "Prof--,"

"Zra, mau sampai kapan?"

Ezra menggigit bibir bawahnya, tak sanggup menjawab.

"Dia sudah bahagia di sana dan kamu masih di sini, terjebak dalam masa lalu, menjalani hidup tanpa tuju." Pria paruh baya itu menutup map tersebut, menghela napas, "Temui Dokter Yoseph lagi sampai kamu benar-benar bisa belajar mengikhlaskan. Kamu masih sakit, Zra."

"She is here, she is not dead. Just stop talking." Ezra berujar pelan, memegangi kepala. Wajah pemuda itu mulai memerah, tatapannya kosong. "Prof, dia putri Profesor. Gak selayaknya Profesor berkata demikian. Dia masih ada, Gaby masih hidup, Prof. Dia...dia hanya mendapat penugasan di luar negeri." Ezra mengangkat wajah, untuk pertama kalinya bertatap mata dengan sang Direktur Utama di rumah sakit tempatnya bekerja, Profesor Gilbert.

Profesor Gilbert memejamkan mata sekilas, dia tersenyum. "Saya sangat berterima kasih karena Gaby dicintai oleh pria seperti kamu, tapi untuk sekarang, saya berharap kamu bisa segera mencari gadis lain yang lebih baik dari Gaby, Zra. Kamu berhak jatuh cinta lagi, jangan mengikat diri dengan seseorang yang sudah berada di tempat yang lebih baik."

"Prof,"

"Temui dokter Yoseph, Zra. Jalani terapi kamu dan sampai kamu bisa menerima kenyataan, jangan menghadap saya tanpa perintah."

Ezra mengatupkan bibir, mulai beranjak dari kursinya. Pemuda itu masih menunduk, tatapannya benar-benar hampa. "Prof, saya percaya dan yakin, Gaby akan kembali. Ketika waktu itu tiba, saya akan buktikan ke kalian semua. Saya gak gila, saya gak berdelusi, semuanya nyata. Gaby masih hidup. Permisi." Ezra melangkah meninggalkan ruangan Direktur Utama dengan cepat, meninggalkan sang Profesor yang menatap kepergiannya dengan senyum pedih.

Profesor Gilbert meraih pigura yang ada di atas meja sebelah kirinya. Fotonya bersama seorang gadis berambut panjang dengan senyum indah yang sudah beberapa bulan belakangan tak lagi dapat dilihat senyum indahnya. Profesor menatap pigura itu cukup lama sebelum menghela napas dan berkata pelan, terdengar seperti rintihan.

"We missed you, Darling."

----

Semoga suka dan maap lama lanjutnya. Aku suka kehabisan ide dan waktu buat ngetik :(
Terima kasih yang masih berkenan buat membaca. Ini pendek, maafin.

Love, A x

16 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top