11 PESIMIS
"Mami mau yang terbaik buat kamu, Zra, dan lebih baik kamu lupakan Gaby. Trea jelas-jelas lebih baik, Zra, meski pun Mami baru ketemu dia beberapa kali."
Ezra memejamkan mata, memijit kepalanya yang mulai terasa pening. Pagi ini, dia bertengkar hebat dengan Mami, perihal pendamping hidup. Ezra tak mengerti apa yang ada di pikiran Mami, tapi jelas-jelas dia tahu sang putra sudah bertunangan. Mengapa Mami masih bersikeras menjodohkan Ezra dengan Trea?
Ditambah, dari gelagatnya, Ezra paham betul jika Trea memiliki ketertarikan sendiri kepadanya. Terlihat jelas, padahal Ezra sudah menunjukkan sikap sebiasa mungkin. Belajar dari pengalaman, Trea yang baru patah hati, tentu saja tidak dalam kondisi baik untuk memutuskan sesuatu. Sialnya, gadis itu benar-benar memutuskan untuk melupakan patah hatinya dan membuka hati untuk seseorang yang bahkan hanya menganggapnya dari sisi kemanusiaan.
"Dokter Ezra,"
Panggilan itu membuat Ezra yang semula melamun mendadak menoleh, mendapati salah satu perawat mengintip di balik pintu masuk ruangannya. Perawat wanita itu tersenyum malu-malu. "Ada pasien dokter, katanya sudah ada janji pukul sebelas."
Ezra menarik napas, menghelanya perlahan. "Ibu Yessy?"
Si perawat mengangguk. "Iya, Dok. Bersama putrinya."
Bersama putrinya. Ezra menghela napas lagi, mengingat konseling pertama pasien bernama Ibu Yessy tersebut. Pasien itu bercerita panjang lebar tentang hidupnya, termasuk tentang keinginannya menjadikan Ezra sebagai menantu dan hari ini, Ibu Yessy benar-benar menepati janjinya untuk mempertemukan Ezra dengan sang putri.
Hari ini, sepertinya akan menjadi salah satu hari terberat Ezra.
💠
Makasih banyak, Zra!
Ah, kalimat itu Ariesa Chantrea ucapkan beberapa kali dalam hati begitu dia menginjakkan kaki kembali ke gedung kantor tempatnya bekerja. Trea mencoba melupakan kejadian kemarin dan menjalani hari senormal mungkin, seperti tidak terjadi apa pun. Beberapa karyawan menatapnya heran, well, siapa yang tidak?
Trea terancam akan dipecat dan pagi ini, dia menyapa siapa pun yang dia temui, termasuk manajer HRD yang menyampaikan pesan kepadanya kemarin. Manajer HRD itu tidak memberi komentar secara lisan, hanya menggeleng-gelengkan kepala saat Trea menyapa dan memujinya cantik dengan dress motif bunga tulip kuning yang dia kenakan pagi ini.
"Trea, lo gak apa-apa?"
Trea yang baru datang ke ruangan dan menyapa satu per satu orang yang ada di ruangan, tersenyum lebar ke sumber suara. Rubi menatapnya heran dengan mata kucingnya, sedikit tercengang.
"Gak apa-apa, dong. Gue ceria gini."
Berlari kecil menuju ke mejanya, Trea meletakkan tas Zara hitamnya di atas meja kerjanya dan duduk di kursi seraya mulai mengaktifkan kembali komputernya. Senyuman masih terpampang jelas di bibir Trea, sangat jelas.
"Trea, beneran lo gak apa-apa?"
Trea menoleh ke sisi kirinya, tempat Rubi duduk dan menatapnya dengan cemas. Trea mengangguk cepat. "Gue gak apa-apa, Bi. Lo gak lihat? Gue sangat bersemangat hari ini!"
"Tapi semangat lo over banget. Jadi serem gue dan yang lain."
Bibir Trea mengerucut, senyumannya luntur. "Ya, terus gue harus gimana? Harus menangis meraung-raung karena gue diancam bakal dipecat karena gosip murahan yang si bajingan itu buat?!" Trea meninggikan suaranya, membuat perhatian seisi ruangan tertuju padanya ingin tahu. Namun, saat mata Trea berkeliling, mereka bergegas mengalihkan pandang.
Trea menghela napas, beralih kepada Rubi yang masih menatapnya cemas. "Gue gak mau mikirin yang kemarin, Bi. Sakit hati gue. Jadi di hari-hari yang mungkin menjadi hari terakhir gue di kantor ini, gue mau ceria dan meninggalkan kesan yang baik."
Rubi tersenyum kecil. "Ah, itu baru sahabat gue. Harus menghadapi semua dengan senyuman dan keceriaan. Semangat! Gue yakin, hal-hal baik bakal segera datang nemuin lo."
Trea mengangguk. "Benar itu."
"Tapi tetap serem, Tre. Please, jangan kasih senyum fake ke semuanya. Sumpah, serem."
Kali ini, Trea tertawa dan Rubi ikut tertawa. Setidaknya, hari ini, Trea melupakan masalah besarnya saat ini dengan fokus bekerja, membuat laporan pemasaran yang biasanya paling malas dia kerjakan dan Trea akan terus bekerja jika saja Rubi dan Sakura tidak datang mengajaknya makan siang bersama.
"Makan di Sabang, ya, Tre? Kangen soto Sabang gak lo?"
Sakura bertanya dari jok penumpang di samping pengemudi. Rubi yang mengendarai mobil, mengajak kedua temannya makan di luar kantor.
"Bener, Tre. Soto kesukaan lo."
Trea mengangguk. "Siap-siap."
Mobil yang Rubi kendarai melaju meninggalkan kantor hingga tiba di tempat yang mereka tuju. Rubi memarkirkan mobilnya sebelum mengajak kedua temannya ke luar dari mobil dan melangkah menuju ke tempat makan dimaksud. Langkah Trea sempat terhenti saat melihat mobil yang familiar terparkir tak jauh dari tempat Rubi memarkirkan mobilnya.
"Lah, mobilnya si Ezra."
"Siapa, Tre?"
"Cowok baru gue, hehe. Ya, udahlah. Yuk."
Sampai di tempat makan langganan mereka, senyuman Trea melebar begitu matanya menangkap sosok pemilik mobil yang tadi dilihatnya. Trea buru-buru melangkah menuju ke meja yang tak jauh dari Ezra supaya bisa melihat penuh pemuda tersebut. Ezra belum menyadari keberadaannya, dia sibuk makan sambil sesekali mengobrol dengan rekan yang duduk berhadapan dengannya. Ah, tampan sekali. Trea baru sadar, seberapa menonjol seorang Ezra. Dari sekian banyak pelanggan di soto ini, dia yang paling mencolok.
Eh, atau perasaan Trea saja?
Trea mendapat meja yang berdekatan dengan Ezra, dia duduk membelakangi Ezra dan ketika kedua temannya sibuk memesan makanan--mereka sudah hafal betul pesanan Trea--Trea mengetikkan pesan untuk Ezra.
Zra, udah makan siang belum? Makan apa?
Trea menunggu dengan sabar, mungkin ada sekitar lima menit selang waktu hingga Rubi dan Sakura duduk di kursi mereka, barulah Ezra membalas pesan dari Trea.
Udah. Makan soto.
Senyuman Trea melebar. Singkat, padat, dan jelas. Paling penting, pemuda itu jujur makan soto, meski pun tidak balik bertanya kepada Trea.
Enaknyaa
Setelah membalas pesan itu, Trea mencoba fokus dengan sotonya yang telah tiba di meja. Saat sedang makan, fokus Trea terpecah kembali ketika Ezra dan temannya bangkit dari meja mereka, melangkah menuju ke penjual untuk membayar. Tak lama kemudian, keduanya melangkah meninggalkan tempat makan tersebut. Trea tersenyum tipis dan menghela napas, sepertinya Ezra tak menyadari keberadaannya. Lagi pula, jika pun sadar, apa yang terjadi? Ezra juga tak akan peduli.
Trea baru saja hendak fokus kembali dengan sotonya ketika ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dan senyuman lebar kembali muncul di bibir Trea.
Gak usah pakai perfume banyak-banyak kalau mau makan soto doang.
Ah, Ezra menyadari keberadaannya?
Selesai makan, Trea kembali ke kantor dan melaksanakan aktivitas seperti biasa. Trea pulang ke kostan pukul lima dan tiba pukul setengah enam sore. Sesampainya di kostan, tak banyak yang gadis itu lakukan. Dia langsung mandi dan memainkan ponsel di atas kasur, hingga satu pesan masuk mengalihkan perhatiannya. Dari nomor asing yang tidak dia ketahui.
Ini baru permulaan, Trea. Lo, sih, macam-macam sama gue.
Trea memejamkan mata dan menahan diri untuk tidak membalas pesan yang dia ketahui dari sang mantan tersebut. Tapi sungguh, Trea tak menyangka dia akan menghadapi masalah seperti ini hanya karena putus dari Calvin. Sungguh, tak pernah terpikirkan jika seorang Calvin bisa membuat masalahnya sebesar ini. Bahkan hingga membuatnya terancam akan kehilangan pekerjaan.
Gadis berambut panjang itu menghela napas dan menarik laptop yang ada di atas nakas, sisi kiri ranjang tidurnya. Begitu laptop terbuka, layarnya menunjukkan website Jobstreet yang kemarin malam sempat dia buka. Trea harus mempersiapkan pekerjaan lain, jikalau dia dipecat dari pekerjaannya saat ini hanya karena Calvin. Ditambah, dia tak bisa terus mengandalkan uang pemberian orangtuanya tiap bulan untuk bertahan hidup. Trea cukup lelah menjadi beban, dia ingin meringankan beban kedua orangtuanya di kampung.
Trea memasukkan banyak lamaran pekerjaan ke website tersebut, berharap dalam waktu dekat dia akan menerima panggilan dari HRD, menawarinya pekerjaan dengan penghasilan yang mungkin lebih dari yang dia dapat saat ini.
Ah, rasanya Trea ingin menangis. Dia bisa mendapatkan pekerjaannya sekarang saja, diyakini sebagai sebuah keberuntungan. Sewaktu melamar pekerjaan, calon pegawai ada dua orang dan sejujurnya, yang terpilih adalah bukan Trea. Orang yang terpilih itu mengundurkan diri karena mendapat pekerjaan yang lebih baik dan Trealah yang akhirnya dihubungi.
Duh, tiba-tiba saja mata Trea terasa perih dan lagi, dia ingin menangis. Trea benci perasaan seperti ini, perasaan tidak berguna dan tidak berarti apa pun. Merasa rendah, pesimistik dan benar-benar tidak diinginkan. Merasa bukan siapa-siapa.
Sial.
Kepala Trea pening dan mata gadis itu mulai berair. Dia menggeleng-gelengkan kepala dan mengerjapkan mata berulang kali.
"Gak boleh, Trea. Gak boleh berpikiran buruk ke diri lo sendiri. Gak boleh pesimis gini. Harus percaya diri."
Dia mencoba memotivasi dirinya sendiri, bangkit dari posisi berbaring dan duduk di atas ranjang, bersandar memeluk lututnya sendiri. Dalam waktu singkat, tangisnya pecah. "Gue capek, ya Tuhan. Kenapa hidup harus sekejam ini? Gue salah apa? Kenapa gue gak mati aja sekalian?"
Trea menangis dan terus menangis, sesekali mencengkram seprai tempat tidurnya atau bahkan memukuli kepala. Sungguh, rasanya Trea ingin melepas otak dari kepalanya. Trea lelah dengan semua pikiran negatif dalam kepalanya, sangat ingin dia hentikan, tapi tidak bisa. Seakan tidak mau menuruti keinginannya. Trea benci dengan pikiran tanpa henti ini.
Mungkin satu jam lebih Trea menangis dengan semua pikiran buruknya, hingga dia lelah dan mencoba untuk beristirahat dengan tenang. Gadis itu kembali pada posisi berbaring, wajahnya sudah benar-benar berantakan dan lembab oleh air mata. Trea meraih ponselnya yang ada di atas nakas, menyadari jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan dia belum juga tertidur. Besok dia harus datang lebih awal ke kantor, mempersiapkan untuk pameran dan dia baru sadar, banyak pesan masuk di grup pameran tersebut yang sudah diabaikan sejak sampai di kostan.
Trea membuka grup tersebut, sesekali sambil menarik napas, membaca satu per satu pesan di sana, hingga sebuah pesan masuk dari kontak lain muncul pada layar pop up.
Dari Ezra.
Belum tidur?
Senyuman Trea muncul, diabaikannya pesan di grup pameran dan beralih ke room chat Ezra.
Gak bisa tidur, Zra. Pusing.
Tak dalam waktu lama, kontak Ezra yang memang dalam status online, mengirimkan balasan untuk Trea.
Kenapa? Lo gak apa-apa?
Pertanyaan sederhana, namun mata Trea yang baru mengering, tiba-tiba terasa perih lagi. Ingin menangis. Trea mencoba menahannya. Ah, dia tidak ingin terus terlihat lemah di hadapan Ezra atau siapa pun itu.
Gak apa-apa, sih. Lagi banyak kerjaan aja.
Dalam waktu singkat, Ezra mengirimkan balasan.
Mau jalan-jalan? Cari udara segar?
Trea mengerjap. Sepertinya, jalan-jalan tengah malam memang obat paling mujarab untuk mengalihkan perhatian buruknya tadi. Tapi Trea sudah terlihat sangat kacau, akan ketahuan oleh Ezra jika gadis itu menangis dalam waktu cukup lama. Ezra akan meledeknya, pasti.
Jari Trea hendak mengetikkan balasan, menolak ajakan Ezra, namun Ezra lebih cepat mengirim pesan lanjutan atas ajakannya tersebut.
Lima belas menit lagi sampai. Tunggu di luar kostan lo, ya? See you.
Trea panik sendiri.
---
Gaes, hope you like this! :)
Ngetiknya lama bett dah, butuh waktu ekstra cari inspirasi gak kayak dulu karena kehidupan dunia nyataku mulai memberikan lebih banyak warna, hehe, jadi imajinasi kadang sulit dikembangkan. Semoga alurnya masih dapet dan nyambung.
Btw, aku post cerita di blog juga, judulnya PRIOR. Bakal aku post juga di wattpad, tapi tunggu beberapa chapter yang aku post blog. Jadi, kalau mau baca lebih cepat di blog aja yaa :) Nih blognya: pouringrain112.blogspot.com
Terima kasih masih berkenan membaca :)
Love, A x
17 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top