06 SAFETY BELT
Hari ini, Trea sudah kembali masuk kantor. Hanya kemarin dia mengambil cuti dengan alasan haid, meskipun alasan sebenarnya adalah patah hati. Semalam, ketiga sahabat Trea kembali ke rumah masing-masing di pukul dua belas malam setelah mendengar keluh-kesah Trea, lalu memasak nasi goreng dan berakhir dengan karaoke bersama. Kamar Trea tidak begitu luas, itulah alasan mereka tidak bisa menginap. Hanya bisa satu orang lain yang tidur di ranjang Trea.
Setelah teman-temanya pulang, lantas tak menyebabkan Trea bisa tidur dengan tenang. Gadis itu hanya duduk di tepi ranjang, memikirkan sesuatu yang dia tak ketahui apa. Terus seperti itu hingga suara adzan Subuh berkumandang. Sungguh, saat itu Trea menghela napas dan beranjak meraih jaket, mengenakannya. Kemudian, dia melangkah ke luar kamar, membasuh wajah di washtafel dan berjalan santai begitu saja. Seperti seseorang yang tak punya arah dan berhenti di bangku taman kompleks. Trea tak ingat apalagi yang terjadi selain dia terbangun dan mendapati seorang pemuda tampan berdiri di hadapannya, dan berjanji akan menghubungi Trea.
Sayangnya, sampai sekarang, pemuda itu tidak menghubunginya.
"Tre, mau balik kapan? Udah jam setengah enam."
Suara itu membuat Trea memutar kursinya, menatap Rubi yang kini bersiap-siap untuk pulang. Di ruangan, hanya tinggal Trea dan Rubi. Rosie dan Sakura sudah pulang sejak pukul setengah lima lalu. Di kantor mereka, jam pulang kantor adalah pukul setengah lima sore.
Trea tersenyum tipis. "Lo dijemput?"
Rubi mengangguk kecil. "Iya. Mau bareng gak?"
Buru-buru Trea menggeleng. "Enggak, ah. Gue balik entar aja. Lo duluan aja, Bi. Gak apa-apa."
Mata kucing Rubi menatapnya iba. "Seriusan gak apa-apa?"
Trea mengangguk. "Gak apa-apa. Lagian, gue mau nyelesain kerjaan yang gue lewatin kemarin. Biar gak numpuk besok." Satu tangan Trea meraih mouse komputernya, menggerakkan kursor dari posisi semula.
Gadis pecinta Chanel itu menghampiri Trea, menepuk pundaknya beberapa kali. "Jangan terlalu lama nyiksa diri. Inget, ya, Tre! Lo itu terlalu baik buat bajingan itu! Kalau ada yang harus menyesal, itu dia. Cuma dia, bukan lo."
Cengiran khas muncul di wajah Trea. Trea mangut-mangut. "Tenang, Bi. Gue udah move on, kok. Lo benar. Gue itu terlalu sempurna buat cowok sebrengsek Calvin." Trea membusungkan dada, bangga.
Rubi mengepalkan tangan penuh semangat empat puluh lima. "Bagus! Itu baru sahabat gue! Akhirnya, lo bisa melepaskan diri dan melepaskan status bucin dari cowok brengsek itu. Gue bangga, Trea."
"I know, I know."
Rubi terkekeh, dia memperbaiki posisi tas di tangan kanannya. "Eh, serius, nih, lo gak mau bareng?"
Trea mengangguk. "Serius. Duluan aja. Bentar lagi gue balik, kok."
Rubi menghela napas dan mengangguk. "Oke, deh. Tre, gue balik duluan, ya. Sampai ketemu besok. Rubi sayang Trea." Bukan hal yang aneh ketika Rubi mengecup singkat pipi Trea sebelum beranjak pergi dari ruangan Divisi Pemasaran. Memang begitu cara Rubi mengungkapkan rasa sayang. Lewat kecupan.
Selepas Rubi pergi, Trea tinggalah sendiri di ruangan. Layar monitornya masih menyala, tapi bohong saat Trea bilang dia ingin menyelesaikan pekerjaan. Pekerjaan Trea belum banyak dan bukan pekerjaan rutin yang harus dikerjakan tiap hari.
Hanya saja...Calvin yang nomor ponsel serta beberapa akun sosial medianya telah diblokir oleh Trea, menghubungi Trea dengan nomor lain dan mengatakan akan menunggu di kostan Trea untuk bicara. Untuk kesekian kalinya dan Trea tak mau bertemu Calvin.
Trea bukan tipikal teman yang ingin menyusahkan teman-temannya. Menurut Trea, hanya dia yang dapat menghadapi Calvin, tak perlu melibatkan teman-temannya.
Sayang, aku mau bicara. Aku tunggu di depan kostan kamu sampai kamu datang.
Suara serak-basah Calvin seakan terngiang dalam benak Trea saat membaca pesan tersebut dan Trea...takut. Setengah mati takut karena dia tahu, Calvin pasti benar-benar menunggu di depan kostan. Trea tidak mau pulang. Dia tidak mau menemui Calvin dan mendengar semua dari mulut pemuda itu. Semuanya sudah selesai.
Malam ini, Trea memutuskan untuk bertahan di kantor. Tidak kembali ke kostan demi menghindari Calvin.
✧
Pekerjaan Ezra sebenarnya telah selesai sejak beberapa jam lalu, tapi pemuda itu masih bertahan di ruangan. Pemuda itu tertidur dengan kepala yang terkulai di permukaan meja. Lelah. Siang tadi, dia menemui seorang pasien yang tiba-tiba menerjangnya dan hendak memukul wajahnya, bertubi-tubi. Ezra cukup sigap dengan menutupi wajah dengan lengannya yang kini membiru. Butuh beberapa orang perawat untuk membantu Ezra melaksanakan tugasnya―terlebih lagi menenangkan pasien itu―dan semua sangat melelahkan.
Ezra sudah bangun sejak sepuluh menit lalu, tapi dia bertahan di posisinya hingga dirasakannya getaran ponsel. Pemuda itu menegakkan kepala, menyandarkan dagu pada lipatan tangan dan meraih ponsel yang ada di atas meja, di hadapannya. Sambil menguap, dia menatap layar ponselnya. Sesaat kemudian, dia menegakkan posisi duduknya dengan senyuman lebar muncul di bibirnya.
Ada sebuah pesan masuk di sana, dari kontak yang diberinya nama: Love.
Jangan lupa makan malam. Jangan lupa tidur, oke? Kamu itu dokter, jangan cuma bisa nasihatin pasien. Harus bisa nerapin juga di diri kamu sendiri!!
Jari Ezra bergerak di layar ponsel, masih mempertahankan senyuman di bibirnya.
Siap dan laksanakan! Kamu juga jangan lupa makan dan tidur, ya! I miss you, always.
Setelah mengirimkan balasan itu, Ezra menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, memejamkan mata sipit kecokelatannya. Belum semenit, dia sudah membuka kedua matanya lagi dan menegakkan tubuh saat mengingat satu hal yang hampir saja dia lupakan. Pemuda itu menarik kursi agar mendekat ke meja, tangannya mulai menyelusuri permukaan meja, mencari sesuatu yang pernah dia letakkan di sana. Memang, ingatan Ezra cukup kuat, dia berhasil menemukan apa yang dia cari. Selembar kartu nama berwarna ungu, dengan ketikan nama berwarna emas tertera di sana.
Ariesa Chantrea.
Di bawahnya, tertulis nomor ponsel gadis berponi yang pagi hari ditemuinya secara tidak sengaja. Gadis berambut panjang dengan poni rata jatuh di dahinya, dengan senyuman dan suara yang sangat khas. Ah, padahal Ezra baru bertemu Trea beberapa kali, tapi rasanya seperti sudah mengenal gadis itu dalam jangka waktu yang cukup lama.
Ezra meraih ponselnya dan menekan nomor Trea sebelum meletakkan ponsel di telinga. Nada tunggu terdengar selama beberapa saat sampai akhirnya, tergantikan oleh suara seseorang yang sudah tak asing lagi di telinga Ezra. Suaranya terdengar lesu, persis seperti seseorang yang baru bangun tidur.
"Halo?"
Ezra menahan tawa kecilnya. "Ini Ariesa Chantrea?" Satu tangan Ezra masih memegang kartu nama Trea.
"Iya, benar. Maaf, ini siapa, ya?"
Lagi, Ezra menahan tawa. "Menurut lo siapa?"
Baiklah, sekarang, gadis itu pasti tengah menguap. Suaranya cukup terdengar jelas sebelum berkata, "Sales asuransi, ya? Sori, Mas. Belum berminat."
Kali ini, kekehan lolos dari mulut Ezra. "Bukanlah! Mana mungkin sales masarin produk-nya tanpa ada basa-basi atau salam pembuka yang cukup sopan?"
"Ya, udah. Terus ini siapa? Sori, gue lagi gak mood. Gue matiin, ya?"
"Eh, eh! Jangan dimatiin dulu! Ini gue Ezra."
Setelah Ezra memperkenalkan diri seperti itu, Trea seakan memberi jeda cukup panjang sebelum akhirnya, membalas diawali dengan kekehan kecil. "Iya, gue tahu, kok. Kan, lo sendiri yang bilang belakang nomor lo itu 1994. Gue pura-pura gak tahu aja."
Senyuman tipis muncul di bibir Ezra. "Udah feeling, sih, lo ngerjain gue," Ezra tertawa kecil dan lanjut berkata, "Lo baru bangun tidur atau apa? Suara lo lesu banget."
"Iya, nih. Ketiduran di meja kantor."
Mendengar jawaban Trea, Ezra sontak mendongakan kepala, menatap ke jam yang tergantung di dinding. Pemuda itu memicingkan mata, menyadari jika dia pun tertidur cukup lama di meja kerjanya. "Udah jam delapan malam dan lo masih di kantor?"
Tawa Trea terdengar. "Gak apa-apa. Udah biasa, kok, pulang malam. Lagi malas balik ke kostan juga."
Ezra memejamkan mata dan menghela napas. Dari penglihatan Ezra tadi pagi saat meliaht gadis itu dan dari suaranya yang saat ini Ezra dengar, Ezra dapat memastikan, Trea pasti sedang berada dalam sebuah masalah. Entah masalah apa, yang jelas, masalah itu pasti cukup mengganggu kehidupannya sekarang dan gadis itu jelas-jelas terlihat stress atau bahkan seperti depresi. Hal-hal itu...sejujurnya sangat menyiksa Ezra.
Perlahan, Ezra membuka mata. "Gue juga lagi malas balik ke rumah. Kayaknya, gue butuh angin segar. Lo mau ikut?"
"Lo masih di kantor?"
"Ini mau siap-siap. Lo mau ikut gak?"
"Lo ngajak jalan orang yang baru lo kenal?"
Ezra terkekeh. "Gak baru-baru banget. Perasaan, gue udah ketemu beberapa kali." Pemuda itu menggerakkan kursinya ke kiri dan kanan, "Itu juga kalau lo bersedia. Kalau lo masih takut sama gue, ya, udah. Gue cari angin sendiri."
Jeda beberapa saat hingga, suara Trea kembali terdengar. "Lo...hm, boleh, deh. Mau ketemuan di mana?"
"Ketemuan? Gue cowok. Gue yang ngajak. Lo share location aja. Biar gue jemput ke sana."
"Lo...mau jemput orang yang ba-,"
"-ru gue kenal? Ya, terus kenapa? Suka-suka gue, lah." Ezra memotong cepat ucapan Trea sebelum terkekeh, "Gue gak maksa. Kalau lo gak mau, ya, udah."
"Oke, deh. Gue share alamat kantor gue, ya?"
"Gue tunggu, ya? See you soon."
Panggilan berakhir dan Ezra beranjak dari kursi, melepaskan sneli yang dia kenakan sebelum meraih dan menyelampirkan tas selempang hitamnya. Pemuda tinggi itu meraih ponsel dan melangkah ke luar dari ruangan kerjanya yang sudah sangat sepi.
✧
Jantung Trea berdebar tak karuan menunggu datangnya seseorang yang baru beberapa kali dia temui. Ini terdengar bodoh, Trea tak peduli. Memang, Ezra adalah pria yang tampan, tapi tetap saja. Trea tak mengenal pemuda itu secara menyeluruh, kecuali fakta jika dia tinggal tak jauh dari kostan Trea. Trea tak tahu latar belakang pemuda itu, apa pekerjaannya dan bagaimana sikap aslinya. Untuk malam ini, Trea mencoba berpikiran positif. Demi melupakan fakta jika Calvin masih menunggunya di kostan.
Kegelisahan Trea akhirnya, teratasi saat ponsel gadis itu berdering. Sebuah panggilan masuk dari seseorang dengan empat nomor belakang ponselnya 1994. Well, jawabannya cukup jelas, kan? Siapa lagi jika bukan pemuda bernama Ezra tersebut?
Trea mengangkat panggilan dari Ezra, suaranya terdengar gugup bukan main, "Ha-Halo?"
"Gue parkir di depan lobi, nih. Mercy hitam, platnya 1994."
"Oke. Gue ke sana."
"Gue tunggu."
Panggilan berakhir dan Trea menyentuh dada. Jantungnya masih berdebar dan sulit untuk dikontrol. Trea mengatur pernapasan sebelum meraih tasnya dan melangkah ke luar dari ruangan. Sesampainya di lobi, mata belo-nya langsung beredar mencari keberadaan mobil Ezra. Tak butuh waktu lama, Trea menemukannya dan segera menghampiri mobil itu.
Pintu mobil terbuka begitu Trea sampai di dekat mobil. Ezra duduk di bangku kemudi dengan tatapan yang tertuju jelas pada Trea. "Masuk aja."
Trea menurut, dia masuk ke dalam mobil sementara, Ezra mulai kembali menyalakan mesin. Ezra tidak langsung melajukan mobil, pemuda itu menatap Trea selama beberapa saat sebelum mencondongkan tubuh ke Trea yang terkejut setengah mati. Trea panik bukan main dan saat wajah Ezra semakin mendekat, tangan Trea refleks terbang bebas ke pipi Ezra, membuat pemuda itu mengaduh keras.
"AW!"
Trea melotot, memeluk erat tasnya di depan dada. Matanya menatap Ezra penuh curiga. "Lo mau ngapain gue, hah?! Harusnya, emang, ya! Dari awal gue gak percaya sama lo! Lo itu cuma orang asing!"
Ezra memutar bola matanya, mengelus pipi yang ditampar Trea. Melihat ekspresi takut bercampur marah milik Trea, Ezra mendengus. Tanpa rasa takut, pemuda itu kembali mencondongkan tubuhnya dan membuat Trea berteriak, hendak ke luar dari mobil, namun saat Ezra kembali duduk di joknya, Trea ingin berbalik menampar dirinya sendiri.
"Kalau naik mobil, jangan lupa pakai safety belt." Ezra berujar pelan, lalu mulai melajukan mobil ketika Trea diselimuti rasa bersalah atas kecerobohannya sendiri.
Sepanjang perjalanan, entah ke mana, Trea sibuk menatap wajah-terlebih lagi pipi-Ezra yang cukup jelas tercetak jejak tangannya. Setelah beberapa saat sibuk mencemaskan pipi Ezra, Ezra menoleh sekilas dan membuat Trea buru-buru memalingkan wajah. Sungguh, Trea merasa bersalah hingga dia malu harus menatap Ezra.
"Gak apa-apa. Cuma tamparan. Gue sering dapat kekerasan yang lebih dari ini."
Trea menatap lagi Ezra. "Hah? Iya? Kok bisa?"
Ezra tersenyum dan mengangguk. "Gue dokter dan beberapa pasien suka hilang kendali waktu hadapan sama gue."
Trea butuh waktu ekstra menelaah jawaban Ezra, tapi akhirnya dia hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala tidak mengharapkan penjelasan berlebih. Hening yang mengisi perjalanan mereka, tapi Trea akui. Berkeliling Jakarta di malam hari jelas ide yang sangat bagus. Mobil yang Ezra kendarai melewati Monumen Nasional, Bundaran HI, melewati beberapa ikon Kota Jakarta yang cukup mengesankan.
Kegiatan Trea menatap jalanan serta gedung-gedung yang dilewati terhenti saat mobil mulai menepi. Trea menatap lurus ke depan dan menyadari, mobil ini berhenti di tepi jalan, tepat di belakang seorang pedagang Kerak Telor. Trea menoleh ke Ezra yang melepaskan sabuk pengamannya. "Mau ngapain berhenti di sini?"
Selesai melepas sabuk pengamannya, Ezra kembali membuat Trea terkejut saat mencondongkan tubuhnya ke arah Trea, membantu melepaskan sabuk pengaman sambil berkata, "Gue lapar. Belum makan malam. Lo juga, kan?"
Sabuk pengaman Trea terlepas dan belum sempat Trea berterima kasih atau menjawab pertanyaan Ezra, pemuda itu sudah beranjak ke luar dari mobil. Mata Trea mengikuti arah gerak Ezra yang ternyata menuju ke pintu di samping Trea, Ezra membukakan pintu tersebut untuk Trea. "Gak apa-apa, ya, nyemil Kerak Telor dulu? Kalau masih lapar, nanti mampir di restoran terdekat."
Trea sempat hilang dalam pikirannya yang benar-benar tak menyangka atas sikap gentlemen Ezra. Sungguh. Dia menepati janji untuk menghubungi Trea, dia menjemput Trea di kantor, dia membantu mengenakan dan melepas sabuk pengaman dan sekarang dia membukakan pintu mobil untuk Trea.
"Hei. Jangan bengong."
Trea mengerjap dan nyengir mendengar teguran Ezra. Buru-buru dia beranjak dari dalam mobil dan berusaha mencairkan suasana antara dia dan Ezra. "Traktir, ya?"
Ezra terkekeh. "Di kamus gue, gak ada, tuh, cewek ngeluarin uang pas jalan sama gue." Ezra menoleh ke si pedagang Kerak Telor, "Bang, kerak telor bebek dua porsi, ya! Oh, ya. Bagi tissue, ya, Bang."
"Siap, Bang!" Si pedagang Kerak Telor menjawab cepat sebelum dengan semangat empat puluh lima memasak pesanan Ezra.
Napas Trea tertahan saat melihat Ezra meraih tissue milik si pedagang Kerak Telor dan menggunakan tissue untuk mengelap bangku plastik yang disediakan untuk pembeli. Setelah membersihkan bangku plastik tersebut, Ezra menoleh ke Trea, tersenyum, lalu berkata, "Sini duduk. Udah gue bersihin."
Trea kehilangan kata-kata. Dia menuruti keinginan Ezra, duduk di kursi yang dibersihkan oleh Ezra sementara, pemuda itu lanjut membersihkan kursi yang akan dia duduki.
Baru kali ini Trea menemukan pemuda seperti ini, di dunia nyata.
✧✧
Notes:
Maap ya, gak bisa post sesering dulu. Akhir-akhir ini kerjaan hectic dan bentar lagi UAS di kampus😪
Maap kalau cerita ini makin membosankan dan gak jelas.
Terima kasih masih membaca🙏
10 07 19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top