05 JOGGING
Trea baru saja menutup pintu begitu membalikkan tubuh dan mendapati ketiga sahabatnya tengah menatap dengan penuh kecurigaan. Trea menahan napas dan ingin menjelaskan, tapi suara Sakura sudah terdengar. Memberi penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. "Ngapain si bajingan itu ke sini? Lo beneran udah putus dari dia, kan?"
Mulut Trea baru terbuka, ingin menjawab, tapi Rubi yang juga memiliki tatapan setips dengan Sakura ikut menyerang Trea, bertanya penuh ketegasan, "Trea, lo bego banget kalau luluh lagi sama omongan si buaya darat bajingan itu."
Lagi, Trea baru ingin buka mulut, namun dia terpotong dengan suara Rosie kali ini. "Please, deh, Tre. Itu hati atau Yupi? Lembek amat! Gak suka gue!"
Ekspresi Trea mendatar. "Girls, kalian bahkan gak biarin gue menjelaskan. Sedih gue." Gadis itu melangkah melewati ketiga sahabatnya, membaringkan tubuh di atas ranjang tidurnya. Trea menatap ke langit-langit, dia memejamkan mata, "Dia dateng sendiri. Minta maaf. Mau balikan. Tapi gue tolak."
Ketiga sahabat Trea itu berbalik menatap Trea yang masih memejamkan mata. Trea jelas terlihat sangat lesu hari ini. Gadis itu pasti sangat patah hati dan merasa bersalah telah mengakhiri hubungan dengan Calvin. Trea sepolos dan sebaik itu menjadi seorang wanita.
"Tre, udahlah. Jangan galau-galau amat. Kan, emang itu udah keputusan sangat baik lo putus sama dia." Rubi yang berkata, duduk di tepi ranjang Trea sambil menatap Trea miris.
Trea membuka kelopak matanya. Dia menghela napas. "Gak tahu, Bi. Gue masih bingung. Gila gak, sih? Enam bulan gue terbiasa dengan Calvin, semua SMS dan panggilan dari dia. Sekarang, gue harus nata hidup gue ulang. Hidup kayak dulu. Sebelum dia hadir." Trea memejamkan mata, "Gue PDKT hampir setahun sama dia, jadian cuma enam bulan. Lucu, ya?" Trea tersenyum, menyedihkan.
"Udahlah. Malam ini, kita mau merayakan status single lo. Jangan sebut-sebut nama bajingan caplang itu! Kita malam ini harus have fun!" Sakura berujar penuh semangat empat lima, disambut anggukkan setuju Rosie dan Rubi.
Well, setidaknya Trea punya tiga orang spesial yang bisa kembali menaikkan moodnya yang turun drastis karena Calvin Wibowo.
✧
Napas Kaspian Ezra Danuarta terengah-engah saat dia bangkit dari posisi berbaringnya, duduk di ranjang dengan tatapan kosong dan peluh jatuh di atas keningnya. Ezra memejamkan mata, menundukkan kepala dan memapah kepalanya tersebut dengan tangan. Sebisa mungkin, dia mencoba mengontrol detak jantungnya yang tak karuan. Terus seperti itu sampai dia merasa cukup baik untuk beranjak dari tengah ranjang, ke tepi ranjang menjatuhkan kaki jenjangnya pada lantai keramik berlapiskan karpet bulu merah.
Sekali lagi, pemuda dengan tinggi 184 cm itu menghela napas, memejamkan mata sekilas. Dia menoleh, tangan panjangnya meraih ponsel yang diletakkan di atas nakas kecil dekat lampu tidur kamarnya. Ezra memijat kepala dengan satu tangan sementara, tangannya yang lain sibuk menopang ponsel, ibu jarinya bermain di atas layar hingga, dia menemukan satu kontak dan mulai melakukan panggilan masuk.
Beberapa saat menunggu, nomor yang dia hubungi tak kunjung memberikan balasan. Suara operator terdengar, meminta Ezra untuk meninggalkan pesan suara. Pemuda itu menundukkan kepala, menarik napas dan mulai berkata pelan, "Gaby, kalau kamu dengar pesan suara ini, please telepon aku balik." Ezra menatap samar, lurus ke depan, "Aku minta maaf. Cincin tunanganku hilang. Aku udah hubungi Mas Toni untuk minta tolong rekannya buat cincin yang sama persis. Aku janji, lain kali, aku gak akan lepas cincin itu. Aku akan pakai terus. Maafin aku, Gab. Aku kangen kamu, like I always do."
Ezra menjauhkan ponsel dari telinga dan meletakkan kembali di atas nakas. Masih dengan napas yang belum sepenuhnya stabil, pemuda itu mendongak, menatap jam yang tergantung dengan sempurna dinding tepat di atas pintu kamarnya. Jam menunjukkan pukul empat pagi. Ah, seperti sebuah alarm, memang. Ezra memang biasa bangun di waktu Subuh. Dia akan menyiapkan sarapan untuknya dan sang Ibu, lalu pergi berolahraga sebentar berkeliling taman kompleks sebelum akhirnya, bersiap bekerja. Ezra kerapkali mengambil shift pagi, masuk pukul tujuh dan pulang pukul dua siang, meskipun tak jarang Ezra pulang terlambat. Tapi untuk datang, dia hampir tak pernah terlambat. Ezra seseorang yang disiplin.
Tipikal pria dengan fisik dan sifat serta sikap yang sempurna. Idaman para wanita. Walau kenyataannya, dia tak sesempurna itu.
Ezra beranjak dari kamar, masih menggunakan boxer merah serta kaus polo putihnya. Dia melangkah menuju ke dapur, membasuh wajahnya di washtafel sebelum mulai membuka lemari es untuk melihat bahan-bahan yang dapat diolah untuk sarapan. Pemuda itu mengernyitkan dahi mendapati banyak bahan masakan di lemari es. Padahal, kemarin lemari es itu cukup kosong. Menandakan jika sang Mami sudah berbelanja isi lemari es kemarin, tanpa mengajak Ezra. Biasanya, Mami tak pernah lupa mengajak Ezra saat berbelanja. Mami senang bertanya, apa yang ingin Ezra makan untuk makan malam. Hanya saat itulah Mami memasak. Untuk sarapan, giliran Ezra yang memasak.
Dengan bahan-bahan sederhana, Ezra membuat nasi goreng dan menyiapkan nasi goreng itu di meja makan sebelum melangkah kembali menuju ke kamar untuk mengenakan training olahraganya. Jam sudah menunjukkan pukul lima kurang lima belas begitu Ezra ke luar rumah untuk berolahraga. Masih cukup pagi, tapi begitulah kebiasaan Ezra. Lebih baik dia olahraga sebelum pukul setengah enam karena saat itu, akan lebih banyak orang yang dia temui di sekitaran taman kompleks. Ezra tidak suka bertemu banyak orang, apa lagi jika orang-orang itu menatapnya dengan tatapan yang berlebihan.
Melangkah di kompleks yang sangat sepi sebelum pukul lima benar-benar menyegarkan pikiran Ezra. Ezra selalu suka menghirup udara pagi yang masih bersih, belum terkontaminasi oleh asap kendaraan. Merasakan angin yang menerpa kulit, mendengar gesekan dedaunan, suara cuitan burung. Subuh adalah waktu terbaik untuk Ezra, selain tengah malam saat semua sunyi beristirahat.
Ezra baru berlari ringan kurang dari lima puluh meter di taman kompleks begitu matanya menangkap keberadaan seseorang di bangku taman. Ezra mengerjap, pemuda itu memperlambat larinya dan berhenti tepat di hadapan seseorang yang duduk meringkuk di bangku taman tersebut. Ezra menatap selama beberapa saat, namun kemudian dia menggeleng berusaha mengabaikan siapa pun orang ini. Ezra hendak melanjutkan olahraganya, tapi suara igauan seseorang itu membuat Ezra berhenti dan jiwa sosialnya terbangunkan.
"Mama, aku capek. Mau balik ke kampung aja. Di sini jahat semua."
Ezra mundur dan berhenti tepat di hadapan sumber suara. Lagi, Ezra memperhatikan seorang gadis asing yang masih duduk meringkuk, kaki naik ke bangku. Sebagian besar wajahnya tersembunyi di lipatan kakinya, rambut panjangnya juga cukup menghalangi. Ezra menarik napas, menghelanya perlahan sebelum hendak membangunkan gadis itu, namun secara tiba-tiba, gadis itu mengangkat kepala dan dengan mata setengah terpajam dia berkata, "Stop. Jangan sentuh-sentuh gue!"
Mata Ezra memicing, tak teralihkan dari gadis yang kini merentangkan otot-otot tubuhnya sebelum menjatuhkan kaki pada tanah. Duduk secara normal. Dia mengucek mata beberapa kali dan berusaha untuk sadar secara menyeluruh. Dia mengerjapkan mata dan beralih menatap pemuda yang berdiri di hadapannya. Napasnya tertahan, sesaat kemudian dia nyengir kuda dan bangkit berdiri tegap.
Tanpa basa-basi, dia membungkukkan tubuh sambil berkata cepat, "Sori, sori, sori. Gue harus pergi sekarang. Sori, sori, sori."
Gadis itu berbalik dan hendak melangkah pergi, namun cengkraman di lengan membuatnya berhenti dan memejamkan mata ketakutan. Tubuhnya bergetar dan tanpa diduga, tiba-tiba dia berlutut di hadapan Ezra, membuat Ezra luar biasa terkejut. Gadis itu menyatukan telapak tangannya di hadapan Ezra, matanya tertutup.
"Sumpah, Mas. Saya gak seksi. Badan saya tulang doang. Gak ada dagingnya. Saya makan banyak, tapi gak pernah jadi daging. Kata Mama, saya cacingan. Kalau Mas mau ngapa-ngapain saya, sia-sia. Semuanya keras."
Ezra tak bisa menahan tawa mendengar ucapan cepat tanpa disaring gadis yang tertidur di bangku taman tersebut. Mendengar tawa Ezra, si gadis membuka mata dan mendongakkan kepala. Sekali lagi, dia berusaha sadar secara penuh, memperhatikan pemuda jangkung di hadapannya. Sadar tengah diperhatian, Ezra berhenti tertawa dan menatap kembali gadis itu. Mata mereka bertemu dan ekspresi keduanya sama-sama terkejut.
"Lo?!"
"Lo?!"
Mereka berujar bersamaan dan masih terpaku menatap satu sama lain sampai akhirnya, Ezra terlebih dahulu yang tersadar. Ezra mengulurkan tangan di hadapan gadis itu sambil bertanya, "Nama lo Trea, kan?"
Trea mengangguk kecil dan meraih tangan Ezra yang menariknya untuk bangkit berdiri. Trea menepuk bekas rumput di lututnya, "Ah, lo. Mas-mas yang waktu itu."
"Ezra. Nama gue Ezra."
Trea mangut-mangut. "Tahu, kok. Gue udah hafalin nama dan wajah lo."
Ezra terkekeh. "Lo ngapain tidur di taman jam segini? Tunggu. Jangan bilang rumah lo di sekitar sini juga?" Ezra melipat tangan di depan dada, matanya menatap Trea menyelidik, "Dari penampilan lo, kayaknya pertanyaan yang seharusnya gue tanya itu: lo gak apa-apa?"
Trea mengangguk cepat. "Gue gak apa-apa, kok dan gue kebetul―,"
Trea tak melanjutkan ucapannya begitu didapatinya pemuda itu berjongkok di hadapannya, fokus menatap ke lutut Trea dengan luka keringnya. Ezra mendongak, bertemu kembali dengan mata Trea, "Lutut lo bisa infeksi kalau dibiarin gini. Mana lo tadi berlutut di tanah yang kotor."
Mata Trea berkaca-kaca mendengar ucapan Ezra. Ezra mengernyit heran. Buru-buru dia bangkit berdiri. "Eh, lo kenapa?"
Trea menggeleng, menyeka sedikit air mata yang sudah hampir melewati pelupuk matanya. "Gak apa-apa. Lo ngagetin gue."
"Gue ngagetin lo?"
Trea tak menjawab, gadis itu sibuk dengan pikirannya selama beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Gue pergi dulu, ya? Sori, ganggu jogging lo. Permisi." Trea hendak melangkah pergi, namun lagi-lagi lengannya di tahan oleh Ezra, membuatnya kembali ke posisi semula, tapi dengan kepala yang tertunduk.
"Kartu nama lo udah gue terima, tapi gue belum bisa nerima ucapan maaf lo atas tuduhan yang lo tujukan ke gue sampai gue bisa mastiin kalau lo baik-baik aja." Lagi, mata mereka bertabrakan dan Trea terdiam sesaat. Pemuda itu punya tatapan yang jelas membuat Trea merasa lebih...aman. Entah bagaimana bisa. "Gue bakal telepon lo saat gue free. Nomor gue belakangnya 1994, jadi langsung angkat panggilan dari nomor itu, oke?"
Seperti sebuah sihir, Trea mengangguk perlahan. Ezra tersenyum, tangannya yang semula mencengkram lengan Trea beralih mengelus puncak kepala Trea, "Gue gak tahu apa ini berefek buat lo, but you are not alone and I will never let you be alone."
"Lo...bicara kayak gini ke orang yang baru lo kenal?"
Ezra terkekeh, menarik tangannya dari kepala Trea. "Kita gak pernah tahu bagaimana takdir Tuhan."
"Ha―Hah?"
"Gue lanjut jogging¸ ya, Trea?"
Pemuda itu melanjutkan olahraga paginya, berlari ringan meninggalkan Trea yang masih menatap punggung pemuda itu yang kian menjauh. Trea memejamkan mata, tangannya menyentuh dada, merasakan debaran jantungnya sendiri yang tak pernah seperti ini sebelumnya.
✧
Ezra kembali dari olahraga paginya tepat pukul setengah enam. Pemuda itu langsung melangkah menuju ke dapur dan sudah mendapati sang Mami yang tengah menghangatkan air untuk membuat teh, kebiasaan rutin mereka. Cindi tersenyum begitu mendapati keberadaan Ezra. Putranya sangat berkeringat.
"Mandi dulu, Zra. Baru gabung buat sarapan."
Ezra menganggukkan kepala. "Siap, Mi. By the way, Mami belanja kemarin? Kenapa gak bilang aku? Kan, aku bisa antar dan nemanin Mami. Pasti berat belanjaan Mami."
Cindi tersenyum tipis. "Enggak, lah, Zra. Mami gak sendiri, kok. Mami ketemu cewek cantik, kayaknya seumuran kamu. Mami ditemani dia."
Satu alis Ezra terangkat. "Siapa?"
Cindi mengedikkan bahu. "Mami lupa namanya. Dia lagi patah hati, kayaknya. Wajahnya pucat, kayak kurang tidur. Tapi cantik. Cantik banget, Zra. Mami senang lihat dia." Cindi menuangkan air di panci ke dalam teko kecil yang sudah dia beri kantung teh hijau kesukaannya, "Nanti kalau Mami ketemu lagi, Mami tanya lebih rinci. Mau Mami kenalin ke kamu."
"Mi, aku, kan, udah pernah bilang. Aku cuma fokus ke Gaby. Mami harusnya udah mulai berhenti ngenalin aku ke cewek-cewek lain." Ezra menarik napas, menghelanya perlahan, "Aku gak mau nyakitin Gaby, Mi. Aku sayang sama dia. Aku gak mau dia salah paham sama cewek-cewek yang Mami kenalin ke aku."
Cindi menahan napas. "Zra, maksud Mami bukan begitu. Mami cuma pengen―,"
"Aku mandi dulu, Mi. Ada ketemu klien jam sembilan nanti." Ezra berbalik dan melangkah meninggalkan Cindi sendiri di dapur, menatap punggung sang putra yang menjauh dengan tatapan nanar.
✧✧
07 07 19
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top