Cerita 17

Hee Young mengerjap silau. Sensasi menghentak dalam perut naik ke kerongkongan dengan cepat. Dia terduduk dan langsung mengerang keras. Kepalanya berdenyut-denyut nyeri menolak kompromi.

Kembali memejamkan mata, Hee Young merayap turun tempat tidur menuju kamar mandi. Butuh usaha keras pergi ke kloset yang berjarak hanya beberapa meter dari kamar, dan mengeluarkan seluruh isi perut.

“Sudah enakan?” Handuk dingin tiba-tiba menempel di dahi.

Hee Young tertegun. Susah-payah dia mendongak dan perutnya melintir ngeri. Shou berjongkok tepat di sampingnya. Telaten dia mengusap keringat dingin di kening perempuan itu.

“Pergi!” Ditepisnya lengan Shou kasar. Kekesalannya pada pria itu masih belum hilang.

Namun, Shou bergeming. Dia justru kembali menyeka mulut Hee Young lantas menggendong perempuan itu kembali ke ranjang.

“Kau menyebalkan,” gerutu Hee Young, tak berdaya di pelukan suaminya. Efek mabuk yang baru dirasakannya pagi hari praktis membuatnya harus menelan ego.

“Terima kasih untuk pujiannya.” Shou turut berbaring di samping Hee Young dan memeluk perempuannya.

Hee Young meronta keras, menolak sentuhan Shou. Hanya saja pria itu punya kekuatan jauh lebih besar darinya. Separuh dirinya juga ternyata ogah-ogahan menolak pelukan sang suami. Hee Young mencibir dirinya sendiri.

Dasar tubuh pengkhianat! Celanya keras.

“Kenapa semalam kau pulang dulu?”

Mata Hee Young membulat. “Aku? Pulang dulu?”

“Sutradara melihatmu pulang duluan. Lisa juga berkata begitu.”

“Lisa manajer Sora?” tanya Hee Young kaget.

“Ada berapa Lisa lagi yang kita kenal?”

Hee Young ingin menjawab ada banyak Lisa yang dikenalnya. Lisa Blackpink, Lisa Marie Presley, Lisa Bonet, Lisa Kudrow.

Namun, dia menelan jawabannya sendiri. Pemahaman baru muncul di benaknya. Manajer Sora pasti yang telah menguncinya di toilet hotel agar tak bisa bertemu dengan Shou.

“Kau berkencan dengan Sora?” Hee Young balik bertanya. Hatinya perih menunggu jawaban sang suami.

“Tidak.”

Hee Young spontan berbalik. “Bukannya kemarin kau pulang bersamanya?”

“Ya, aku pulang bersamanya karena kami harus ke rumah Jagga-nim. Ada perombakan naskah dan beliau minta kami melihatnya dulu. Memang mendadak, tapi aku sudah mengirimu pesan.”

Hee Young meringis. Gara-gara kecewa, dan sedikit marah, dia mengabaikan seluruh pesan dan panggilan Shou. Perempuan itu merasa malu dengan tingkah kekanak-kanakannya.

Pria di hadapannya mengernyit. “Kau pulang lebih dulu, tapi tahu aku pulang bersama Sora?”

“Itu ....” Hee Young terbata. “... aku buat sarapan dulu!”

Perempuan itu pilih kabur. Dia lincah meloncat dari ranjang, tapi lengan kukuh menariknya kembali lagi.

“Shou?”

“Biarkan aku memelukmu.” Pria itu mengubur wajah di tengkuk Hee Young. “Semalam kau tak pulang ke rumah dan malah tinggal di apartemen lamamu. Aku merasa kehilanganmu.”

Hee Young tertegun. Darahnya menggelenyar oleh sentuhan bibir Shou. Matanya terpejam, sejenak menikmati kebersamaan mereka yang syahdu. Ucapan Shou terngiang lagi di telinganya.

Aku merasa kehilanganmu.

Perempuan itu ingin menanyakan sesuatu yang mengganjal di benak.

“Shou?”

“Hemm?”

“Apa malaikat sepertimu punya perasaan? Maksudku, apa kalian bisa merasakan cinta?”

Keluar sudah! Hee Young berdebar-debar menunggu jawaban suaminya. Dia tahu mereka menikah dengan alasan yang jauh dari unsur romansa. Namun, obrolannya dengan Hana semalam membangkitkan semangat dan optimisme Hee Young.

Tak ada salahnya mencoba. Itu keputusan si mungil yang tengah berada di dekapan Shou.

“Kenapa kau bertanya seperti itu?”

Hee Young menggigit bibir. Apa dia harus jujur? Bagaimana jika Shou justru menolak niatannya mentah-mentah? Bagaimana jika pria itu justru pergi meninggalkannya? Bagaimana jika setelah mengatakan rencananya, Shou justru muak padanya?

“Hee Young?”

Pikiran Hee Young berkecamuk. Dia bukan seorang pengecut. Sudah cukup baginya enam tahun bersembunyi di balik penutup wajah dan pakaian serba gelap. Sekarang waktunya untuk menunjukkan dirinya pada seorang Kim Shou.

Ah, salah! Bukan pada Kim Shou, melainkan pada malaikat Haes-sal.
Perempuan itu berbalik. Kini mereka berbaring saling berhadapan. Tangan Hee Young terulur menangkup pipi Shou. Matanya menatap lekat netra emas pria itu.

“Aku ingin membuatmu jatuh cinta padaku. Bolehkah?”


~~oOo~~


“Bodoh! Bodoh! Bodoh!”

Hana melongo bengong melihat Hee Young memukul-mukul kepala.

“Emm, Hee Young, kepalamu harganya mahal. Mungkin kau bisa ganti memukul jok kursiku daripada kepalamu,” saran Hana.

Hee Young berbalik cepat. Hana ngeri memergoki wajah kusut teman barunya. “Kau jelek sekali, tahu!”

“Terima kasih sudah mengingatkanku.” Hee Young melengos.

Hana cekikikan. “Kau kenapa? Apa ini gara-gara aku mengganggu waktu romantis kalian berdua?”

Perempuan mungil itu menggeleng. “Tidak, aku malah berterima kasih. Kau datang di saat yang sangat tepat.”

Hee Young masih bisa merasakan malu menghantam dirinya. Pasti ini karena efek alkohol belum hilang sepenuhnya. Perempuan itu menghibur diri. Karena, apalagi alasan terbagus untuk menggambarkan tindakannya tadi pagi?

“Kau mau bercerita sambil minum kopi?”

“Tidak!” Hee Young mencengkeram sabuk pengaman. Matanya nanar tertuju ke jalanan yang masih sepi. “Aku mengatakan akan membuat Shou jatuh cinta padaku.”

Hana terbahak. Lihai dia memutar roda kemudi. Di sebelahnya Hee Young mendelik curiga.

“Kau tak heran?”

“Tidak. Mengapa? Itu percakapan wajar untuk pasangan suami-istri, kan?”

Hana melambatkan laju kendaraan saat berada di area pasar tradisional Pungan. Lalu menggeber gas lagi hingga mereka memasuki Jalan Janghan. Setelah beberapa waktu, mobil berhenti di depan komplek pertokoan megah Dongdaemun.

“Tunggu sebentar di sini. Aku beli kopi dulu.” Hana melesat keluar mobil. Sepuluh menit kemudian dia kembali dengan dua gelas besar kopi. Tubuhnya menggigil saat masuk mobil.

“Kurasa kau tipikal istri pemalu, Hee Young?” Hana meneguk kopinya sambil menyetir.

Hee Young terdiam. Dia ragu bagaimana menjawab pertanyaan Hana. Pernikahannya jauh lebih rumit dibanding rumor yang tersebar di media.

Publik Korea Selatan hanya mengetahui Shou menikah karena jatuh cinta dengan cordi noona-nya sendiri. Dan mereka menganalogikan Hee Young seperti Cinderella yang bertemu dengan sang pangeran impian.

Bagian Cinderellanya memang betul. Hee Young membenarkan dalam hati. Namun, Shou jatuh cinta padanya? Itu seperti melihat kucing bertanduk. Tidak mungkin.

“Ya, begitulah.” Hee Young menjilat bibir. Jawabannya cukup aman.

Hana melirik Hee Young. Dia tak mendesak lagi. Pagi itu dia menjemput teman barunya di apartemen bobrok. Sesuai janji mereka semalam, waktu libur syuting hari itu akan dimanfaatkan untuk melakukan perubahan besar-besaran pada penampilan Hee Young.

“Shou sudah memperkenalkanmu secara resmi di depan publik. Yah, meski caranya sangat nyentrik. Mulai sekarang kau harus tampil sepadan dengan Shou.”

Itu yang disarankannya semalam dan dipatuhi oleh Hee Young. Masalahnya, Hana tak mengira aktor tampan itu akan ada di apartemen Hee Young. Rasanya sedikit tak cocok pria berkharisma agung macam Shou muncul dari balik pintu apartemen yang karatan.

“Itu pasti membuatnya kaget,” komentar Hana.

Hee Young berpikir sejenak. Benarkah Shou kaget? Ekspresi pria itu lebih ke muram ketimbang terkejut. Apa itu pertanda buruk?

Namun, kompensasi kemurungan Shou cukup menyenangkan. Pria itu tak menjawab. Hanya tangan dan bibirnya yang aktif bergerak tanpa suara, mencumbu Hee Young di sana-sini.

Sekarang perempuan itu mulai curiga. Tindakan seduktif suaminya lebih ke pengalihan perhatian untuk pertanyaannya.

“Aku tak bilang itu kaget.” Entah mengapa kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya.

Hee Young tersentak kaget. Dia baru bertemu Hana kurang dari 24 jam, tapi sudah menceritakan kehidupan pribadinya? Memang ada yang salah dengan otaknya, gerutu Hee Young.

“Kita mau ke mana?” Hee Young cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.

Hana seolah mengerti keengganan Hee Young bercerita. Dia hanya berkata singkat, “Doota.”

“Jangan!”

Seruan Hee Young begitu keras hingga Hana mau tak mau mengerem mobilnya. Dia bertanya bingung. “Kenapa?”

“Di sana mahal!”

“Astaga, Kim Hee Young! Kau punya suami kaya-raya. Jangan merasa berdosa menghamburkan uangnya untuk penampilanmu,” protes Hana.

“Tak mau!” Hee Young menggoyang-goyangkan telunjuk. “Kita ke Migliore.”

Hana terbelalak. Dengkus tak percayanya terdengar keras. “Vintage? Kau lebih suka tampil kuno daripada modern?”

“Siapa bilang Migliore kuno? Kau belum tahu seberapa estetisnya gaya vintage. Nah, bisa kita putar balik?”

Hana mendecih sebal, tapi menuruti permintaan Hee Young. Hari itu, si mungil adalah ratunya. Tugasnya hanya menjadi tim sorak untuk mengawal komitmen Hee Young mengubah penampilan.

Empat jam kemudian, baru mereka kembali ke apartemen Hee Young. Perempuan itu merasa kecewa mendapati huniannya sesepi kuburan. Shou jelas telah pergi.

“Kuletakkan di sini, ya?” Hana menyurukkan kantong-kantong belanja ke atas sofa mungil samping jendela. “Ada apa?”

“Tak apa-apa,” Hee Young tersenyum hambar. Dia melepas mantel dan syal, lantas beranjak ke dapur kecilnya. Cekatan perempuan itu menjerang teh untuk dirinya dan Hana.

“Terima kasih sudah menemaniku berbelanja,” ucap Hee Young tulus.

Dia berkata jujur. Sejak peristiwa enam tahun lalu, dia tak pernah memiliki teman selain Yong Jin. Pertemanan adalah hal langka baginya.

Berkawan dengan sesama perempuan ternyata menyenangkan. Sepercik bahagia timbul di hati Hee Young.

“Sama-sama. Kau teman belanja yang enak, meski aku sebal dengan sikap hematmu itu.” Hana blak-blakan.

Hee Young tertawa. Dia tak akan menceritakan rencananya dengan uang tabungan yang dikumpulkan sejak awal memulai karier.

Berdiri di atas kaki sendiri lebih membanggakan. Karena itu, Hee Young menghemat setiap won yang didapatnya untuk membuka sebuah salon.

Dia kembali berkonsentrasi pada racikan kopinya. Suasana ruang duduk mungil itu berubah hening, hingga mendadak dipecahkan celetukan Hana.

“Wah, Shou romantis juga.”

“Apa?” Hee Young menoleh.

Hana melambaikan selembar kertas. Senyumnya lebar. “Kau punya pengagum romantis.”

Hee Young bergegas menyambar kertas di tangan Hana. Matanya bergerak cepat membaca tulisan tangan rapi milik Shou.

Aku pergi dulu ke rumah Jagga-nim. Kami harus mendiskusikan lagi perubahan naskah. Aku sudah siapkan makanan, kau bisa hangatkan di microwave. Habiskan dengan temanmu. Dan, bisakah malam ini kau pulang ke rumah? Aku ingin menjawab pertanyaanmu.

Hee Young mematung. Dia menoleh ke jam dinding, lalu berganti pada Hana.

“Mana gaun hijau zamrudku tadi?” desak Hee Young.

“Eh, ada di tas warna krem itu kalau tak salah.”

Hee Young mengobrak-abrik tas-tas belanjaannya. Dia melongok ke tas besar warna krem polos dan mengangguk puas. Setelahnya dia menyambar mantel dan syal rajut lalu tergopoh-gopoh keluar.

“Hei, kau mau ke mana?” Hana terkejut.

“Pulang!” jawab Hee Young datar.

“Kau sudah pulang, kan?” Telunjuk Hana terarah ke bawah. Isyarat bahwa Hee Young sudah berada di apartemennya sendiri.

Perempuan itu melilitkan mantel ke sekeliling leher. Suaranya penuh keputusasaan. “Hana, rumahku adalah suamiku. Kali ini aku tak akan bersembunyi di cangkangku lagi.”

Hee Young bergegas pergi. Namun, sampai di ambang pintu dia berhenti sejenak.

“Kau bisa habiskan makanan di meja, Hana. Jangan khawatir, rasanya sangat enak. Shou pintar memasak.”

Lalu pintu berdebam menutup. Meninggalkan Hana seorang diri dalam apartemen. Perempuan itu mengangkat bahu tak peduli. Dia mendekati meja makan dan mencomot sepotong gurita goreng.

“Aku sudah lama tahu Shou pandai memasak, Kim Hee Young.” Hana duduk dan mulai menyantap makan siangnya.


~~oOo~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top