⏺️ 37 ⏺️
Seok Jung melepas perban di tubuh Taehyung. Luka-luka akibat tusukan sabit api Nakai telah menutup sempurna.
"Kau sudah sembuh." Pria itu menepuk bahu sepupunya.
Taehyung memakai lagi kemejanya. Wajahnya serius. "Mengapa Dewi Song-he membebaskan Nakai?"
Yang ditanya masih sibuk berkutat dengan tumpukan daun obat. Rumah kaca kafe Prunos yang hangat memberikan aura nyaman di antara musim gugur yang mulai dingin.
"Untuk mengulur waktu," jawab Seok Jung akhirnya.
Taehyung yang mengangkat alis membuat pria di belakang meja tertawa geli.
"Sejelas itu, tapi tak bisa dilihat olehmu, Angae? Mana kemampuanmu sebagai penasehat Langit?"
Taehyung tersenyum masam. "Aku sudah terlalu lama mengikuti adikmu. Sampai lupa mengasah kemampuan."
Seok Jung mencibir. "Alasan saja."
Mereka saling bertukar tawa. Hingga informasi dari Seok Jung membuyarkan kesenangan di wajah Taehyung.
"Aku akan pergi ke Dunia Atas, Angae. Hee Young ada di sana."
"Apa?"
Malaikat tampan dengan sayap patah itu beranjak dari kursi. "Ada kekacauan yang terjadi karena ulah Dewi Song-he. Dia membebaskan Nakai untuk mengulur waktu, sementara Yong Jin melecehkan Hee Young."
Pemahaman melintasi wajah Taehyung. "Saat semua sudah terjadi, Haes-sal marah dan meninggalkan Hee Young. Itu tujuannya?"
Seok Jung mengangguk. Malaikat Angae termenung.
"Apa motifnya? Dewi Song-he tak pernah berinteraksi dengan Haes-sal. Mereka berdua sama-sama tak memiliki masalah."
Taehyung tak menyembunyikan fakta bahwa dia tahu Jung Sora adalah Dewi Song-he. Dia sudah menyadari hal itu cukup lama. Namun, Taehyung terkejut kala mengetahui Shou juga sudah mengetahui hal itu. Cara kerja Imoogi memang luar biasa.
"Song-he selir Dangun."
"Lalu?" Taehyung mengangkat bahu. Setiap dewa memiliki istri dan beberapa selir. Tak ada yang mempersoalkan hal itu.
"Song-he kerabat jauh Cheong-he," imbuh Seok Jung.
Taehyung membeku. Dia memusatkan perhatian sepenuhnya pada mantan jenderal Langit itu.
"Maksudmu, semua kekacauan ini ada sangkut-pautnya dengan Dewi Cheong-he?"
"Musuh yang dilawan Haes-sal bukan makhluk sembarangan." Seok Jung mengeluarkan pedang berbilah sembilannya. Senjata yang sudah lama tak dipergunakan karena kondisinya sebagai malaikat bersayap patah tak memungkinkan untuk melakukan pertempuran.
"Lidah nagaku yang hilang tempo hari," jelas Seok Jung, "diambil oleh Jung Sora. Namun, wanita itu tak punya kemampuan mengukur dosis."
"Tapi itu hanya sebuah keisengan semata."
"Tidak seperti itu." Seok Jung menggeleng tak setuju. "Pencuri tanamanku tahu betul cara menakar dosis. Lidah api hanya bereaksi semacam itu dalam jangka waktu tertentu. Dia tahu Haes-sal pasti bisa menyadari efek racun itu dengan cepat. Insting militer. Cheong-he dan Song-he tak memiliki kemampuan sehebat itu."
Taehyung tertegun. "Di hari Haes-sal bertarung dengan Nakai, kami mencari keberadaan Hee Young. Namun tabir penutup menghalangi kamu menemukan Hee Young. Kutebak itu pasti bukan ulah Cheong-he?"
Seok Jung mengangguk. "Bukan, ada pihak lain yang ikut bermain di sini. Aku akan segera pergi ke Prunos. Aeri kebetulan juga ingin melahirkan di sana. Akan cukup waktu untuk mencari tahu fakta yang lainnya."
"Apa Hee Young akan aman di Prunos?"
Seok Jung merapikan peralatannya. Sudah beberapa hari berlalu sejak kedatangan Taehyung yang terluka. Waktu melesat cepat, tapi suasana masih terkendali.
Kecuali kabar menghilangnya Jung Sora. Rumor menyebar bahwa aktris cantik itu tengah patah hati dan memutuskan berlibur. Namun, Seok Jung tahu kebenarannya.
Dia mengenal Song-he. Dewi baik hati yang cenderung pemalu dan tertutup. Ada yang tidak beres di sini. Batinnya membisikkan kegundahan. Dia masih bisa merasakan keberadaan Song-he di Bumi hingga tiga hari lalu. Setelahnya esensi dewi itu menghilang tanpa jejak. Tak terendus oleh indra keenamnya.
"Aku tak tahu," aku Seok Jung jujur. "Haes-sal telah memperketat pengamanan. Sampai saat ini kita tak tahu apa motif kekejian yang terjadi pada Hee Young."
Taehyung menghela napas panjang. "Sepertinya sudah waktunya bagiku untuk kembali ke Dunia Atas. Bumi terlalu rumit."
Seok Jung menepuk bahu sepupunya. "Kita berangkat bersama. Aku persiapkan Aeri."
"Kau akan menutup kafe ini?"
"Tidak," senyum malaikat itu. "Prunos selalu menjadi tempat kembali untukku dan Aeri. Mungkin juga Hee Young akan bergabung dengan kami."
~~oOo~~
Hea berjalan santai menyusuri jalan setapak kecil yang menuju arah taman prem. Semilir sejuk angin memainkan rambut sepunggungnya. Mata hijau itu mengerjap senang bertemu pandang dengan butiran merah yang bergelantungan cabang-cabang pohon.
"Jadi, ke mana saja kau selama ini, Dewi Cheong-he?"
Hea duduk di kursi batu. Delapan dayang berdiri mengelilingi dalam posisi siaga. Serupa tameng hidup untuk melindungi istri Hwanung.
Cheong-he, juga setengah lusin dewi lainnya, membungkuk hormat sebelum ikut duduk di dekat Dewi Hea. Sore yang indah itu diisi oleh kegiatan berjalan-jalan di taman kekaisaran. Hea secara khusus mengundang beberapa dewi bergabung dan menikmati pesta buah prem.
"Hamba mohon maaf, Yang Mulia. Tubuh hamba sedang kurang sehat. Hamba lebih banyak berdiam diri di rumah," jawab Cheong-he pelan.
"Kasihan sekali kau, Dewi." Hea memberi isyarat ke salah satu dayangnya. Gadis muda itu sigap mengulurkan kotak pipih panjang.
"Ini batang bambu penyembuh. Kau bisa membakarnya dan mencampur abunya dengan air mandi. Kuharap khasiatnya bisa membuat tubuhmu pulih lebih cepat."
"Terima kasih, Yang Mulia." Cheong-he menerima hadiah pemberian Hea.
"Aku ingin sekali memberimu satu hadiah lagi. Hanya saja, aku takut akan menyinggung perasaanmu." Hea bertopang dagu di meja. Kepala yang meneleng dan mata menyorot tajam membuat dewi-dewi yang lain bergidik.
Sudah rahasia umum jika sosok Hea sangat disegani oleh seluruh dewi di kayangan. Wanita itu punya sikap eksentrik yang sering meresahkan para lawan-lawannya.
"Hamba tidak berhak tersinggung, Yang Mulia. Apapun hadiah dari Anda adalah keberkahan untuk hamba." Cheong-he menghormat.
"Ah, baguslah kalau begitu. Yang Mulia Hwanung membuat ramuan penyubur kandungan. Kuharap kau mau menerimanya, Dewi Cheong-he."
Wajah Cheong-he memucat. Tangannya gemetar menerima botol kecil yang disodorkan Hea. Tersenyum palsu dia berpura-pura bahagia untuk hadiahnya.
"Terima kasih, Yang Mulia."
"Kuharap kau segera hamil. Selir-selir Yang Mulia Dangun sudah memberikan keturunan. Tinggal dirimu yang belum. Ah, selir Song-he juga belum hamil, kan? Kau bisa berbagi ramuan itu dengannya."
Cheong-he mengangguk kaku. Pertanyaan Hea selanjutnya membuat dewi cantik itu membeku.
"Kurasa kita akan kedatangan teman baru. Jenderal Haes-sal telah kembali ke kayangan. Kudengar dia membawa kekasihnya ke mari."
Suara heboh dewi-dewi yang lain membuat jengkel Cheong-he. Jenderal Haes-sal salah satu dari lima belas jenderal Langit yang disegani. Sosoknya menjadi perbincangan hangat karena keganasannya melawan agma. Dewi itu memejamkan mata. Tangannya terkepal di pangkuan. Sedikit kesusahan Cheong-he menenangkan jantung yang berdebar kencang.
"Kudengar kekasihnya adalah manusia," celetuk Cheong-he.
Kesiap kaget terdengar dari orang-orang di meja. Cheong-he memandang Hea.
"Bukankah itu melanggar hukum dua dunia, Yang Mulia?"
"Tahu dari mana calon istri Haes-sal adalah manusia?" Hea tampak bingung. "Yang Mulia Hwanung justru mengatakan sebaliknya. Kekasihnya adalah penghuni Prunos yang selalu mengikutinya di Bumi."
Cheong-he mematung. Penghuni Prunos? Tidak, pasti ada yang salah.
"Dewi Cheong-he, apakah kau merasa tidak enak badan lagi? Wajahmu sangat pucat."
Cheong-he tersentak kaget. Dia menengadah dan tersipu malu karena menjadi pusat perhatian para dewi dan dayang-dayang.
"Sepertinya begitu, Yang Mulia. Cuaca musim gugur sudah terlalu dingin dan berangin. Hamba mohon Yang Mulia memaafkan kelancangan hamba." Cheong-he menunduk dalam-dalam. "Mohon izinkan hamba undur diri."
Hea mengangkat alis. Tatapannya menilai Cheong-he cukup lama.
"Baiklah, cuaca memang mulai dingin. Beristirahatlah, Dewi. Aku bisa dimarahi suamimu jika kau jatuh sakit lagi."
Cheong-he bangkit dan berjalan anggun meninggalkan taman buah prem. Namun, baru beberapa langkah suara tegas Hea terdengar keras.
"Sebelum menuduh pihak lain melanggar aturan, mungkin kita harus melihat diri sendiri dulu." Hea berdendang dalam bahasa cheonsa.
Cheong-he berdiri kaku. Dia berbalik dan tersenyum masam pada Hea. "Hamba tidak mengerti dengan ucapan Yang Mulia."
"Oh, tenang saja. Aku tidak sedang berusaha menahanmu. Aku hanya menyanyikan satu pepatah milik para malaikat. Kebetulan, Yang Mulia Hwanung mengajariku bahasa cheonsa. Ternyata sangat indah jika dinyanyikan. Apa kau juga mengerti bahasa tersebut, Dewi Cheong-he?"
Cheong-he menggeleng dengan mulut terkatup rapat. Hea mendesah keras.
"Sayang sekali. Tak banyak dewa atau dewi yang menguasai bahasa indah itu. Kukira kau bisa, Cheong-he. Bukankah suamimu mahir berbahasa cheonsa?"
Cheong-he mengangguk singkat. "Yang Mulia Dangun memang bisa, tapi hamba tidak."
Hea melambaikan tangan. "Baiklah, aku tak akan menahanmu. Sampaikan salamku untuk Yang Mulia Dangun."
Sepasang mata hijau itu mengikuti pergerakan Cheong-he. Bibirnya mengulas senyum lebar. Lalu dia berpaling pada dewi-dewi yang mengitarinya.
"Apa kalian mau membantuku?"
"Tentu, Dewi Hea."
"Jenderal Haes-sal sangat populer. Satu kehormatan untukku jika bisa menyelenggarakan pernikahan yang megah. Jadi, bagaimana kalau kita memberikan pesta megah untuknya?"
~~oOo~~
Song-he mengendap-endap. Berkali-kali dia menoleh, memastikan tak ada siapapun mengikuti. Kostum serba hitam yang dikenakannya menyaru sempurna di kegelapan malam. Namun, tidak ada jaminan sosoknya tidak akan tepergok oleh penghuni Prunos.
Di bangunan dengan palet warna serba gelap, Song-he melangkah masuk. Dewi itu berdecak dalam hati, mengomentari kesembronoan tuan rumah yang tak memasang tabir pelindung. Dia berjingkat-jingkat di atas lantai marmer hitam mengilap, berusaha tak menimbulkan suara sekecil apapun.
Hingga dia tiba di depan ranjang bertiang setinggi langit-langit. Vitrase transparan menampilkan citra seorang wanita yang tertidur pulas. Bahu telanjangnya bersinar di antara helaian selimut dan bantal serba gelap.
Song-he melirik kanan-kiri. Tanpa menurunkan kewaspadaan, dia mendekati tepian ranjang dan menyingkap kain tipis. Tangannya terjulur perlahan menyentuh Hee Young yang masih pulas.
"Berani bergerak, kupotong lenganmu, Dewi."
Song-he membeku. Sebilah pedang yang bersinar keemasan menempel erat di lehernya. Dia menelan ludah gugup. Tekanan mata pedang terasa membakar.
"Menjauh dari istriku."
Song-he patuh. Kakinya menjauhi tempat tidur. Saat berbalik, dia menemukan sosok Haes-sal berdiri dengan pedang terhunus. Sayap cheonsa menyembul dari tubuh bagian atasnya yang tak berpenutup. Otot-otot kekar meyakinan Song-he bahwa makhluk di depannya mampu meremukan tulangnya dalam satu pukulan saja.
"Jalan!" perintah Haes-sal dingin.
Lagi-lagi Song-he patuh. Di bawah tekanan pedang legendaris sang jenderal, dewi itu berjalan keluar kamar. Haes-sal menunjuk perpustakaan yang terletak tepat di ujung koridor.
"Masuk!"
Nyali Song-he ciut. Di balik cadar yang dikenakannya, bibir mungil itu bergetar. Ketakutan merayap sangat cepat. Jantung yang bertalu-talu mengiringi tiap langkahnya yang serasa naik ke tiang gantungan.
"Katakan apa tujuanmu ke sini!" Tanpa mengendorkan pedangnya, Haes-sal menuntut penjelasan.
Song-he menurunkan cadar. Perlahan dia berbalik menghadap Haes-sal. Dewi itu tersenyum sinis. Dalam hati dia memuji kontrol diri sang jenderal yang tak takut melihat wajahnya.
"Nakai melukaiku," kata Song-he, "dan semua karena istri manusiamu itu, Jenderal."
"Hee Young tak ada hubungannya dengan cacat di wajahmu."
Song-he mengertakkan gigi. Rahangnya berdenyut nyeri. Kulit yang terkelupas di bagian kanan wajahnya menampakkan daging merah. Alurnya identik. Tiga garis lurus memanjang dari puncak pipi hingga rahang bawah. Luka akibat cakaran agma Nakai yang sakitnya masih terasa hingga sekarang.
"Jika tak ada wanita itu, aku tak perlu berurusan dengan Nakai."
"Jadi kau berniat balas dendam?" Suara sedingin es milik Haes-sal tak terdengar bersimpati.
"Tidak," Song-he berkata santai. Seringainya tercetak jelas. "Aku memang mengincar Hee Young, tapi bukan dia target utamaku."
Dewi itu menggenggam gaenari dengan tangan kosong. Tak peduli telapaknya melepuh akibat api dari mata pedang. Song-he dengan anggun menyingkirkan senjata Haes-sal, lalu mendekati malaikat itu dalam langkah-langkah pelan.
"Seandainya kau tetap menjaga cintamu untuk Dewi Cheong-he," gumam Song-he lembut. "Istri mungilmu tak perlu tersiksa seperti saat ini."
"Jangan sentuh Hee Young."
"Sudah terlambat." Song-he merogoh kantong baju.
Haes-sal terbelalak. Song-he menutup pikirannya dengan sempurna hingga malaikat itu tak mampu membaca rencana apapun. Sudah terlambat untuk menghindar kala dewi berwajah cacat melemparkan serbuk bening sehalus debu.
Haes-sal ambruk. Tulang-tulangnya serasa lembek. Gaenari terlepas dari pegangan karena tangannya tak kuat mencengkeram. Malaikat itu tergeletak tak berdaya di lantai.
"Racun pelemah syaraf milik Yang Mulia Hwanung memang sangat ampuh melumpuhkan makhluk sepertimu." Song-he menepuk pipi Haes-sal. Senyum culas tersungging di bibirnya. "Nikmati istirahatmu, Jenderal. Aku ingin bermain-main sebentar dengan istrimu."
~~oOo~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top