⏺️ 33 ⏺️
“Maksud Ibu, aku sudah mati?”
Ibu menahan tawa geli. “Bisa dikatakan seperti itu. Saat api gaenari membakarmu, kau bisa dibilang sudah terbunuh. Kau bisa menanyakan pada Haes-sal nanti. Tapi dugaanku, dia melakukannya untuk membagi gaenari denganmu.”
“Ibu, aku tak mengerti.” Hee Young pucat pasi. “Aku mati, tapi hidup lagi? Dan apa tujuannya membakarku dengan gaenari? Apa yang sebenarnya terjadi?”
Wanita cantik itu menggenggam tangan Hee Young erat-erat. Senyumannya menghibur. Ibu berkata lemah lembut.
“Apa kau takut, Hee Young?”
Bibir Hee Young bergetar. “Apa aku masih bisa baik-baik saja? Aku hidup, tapi ini bukan diriku. Aku tak mengerti.”
“Bagian dari gaenari—pedang milik Haes-sal—berada dalam tubuhmu. Gaenari dibentuk dari spirit taman Prunos. Itu artinya, kau sekarang memiliki spirit keluarga kami. Tak ada halangan bagi Haes-sal menikahimu karena kini kalian berasal dari dunia yang sama.”
Hee Young mematung. Arus informasi yang membanjir deras membuatnya syok. Ibu mengusap lembut bahunya.
“Aku tahu ini pasti akan membuatmu terkejut. Namun, Haes-sal sangat mencintaimu. Jika dirimu masih sebagai manusia, kalian akan terpisah oleh maut. Makhluk fana seperti kalian tak bisa berumur panjang. Haes-sal tak ingin kehilanganmu, Sayang.”
“Tapi putra Anda melakukannya tanpa izinku.” Mata kecokelatan Hee Young berkilat gusar. Tinjunya terkepal. “Dia tak bermoral.”
“Hee Young?” Ibu tersentak kaget.
“Apa kalian pikir manusia seperti kami dengan senang hati menjadi makhluk imortal, sama seperti kalian?” Hee Young bangkit. Nada terluka terdengar jelas dari suaranya.
“Jadi saat ini aku tak punya tempat lagi di Bumi, tapi belum memiliki tempat di dunia kalian? Tak kusangka makhluk suci seperti kalian punya hati yang kejam.”
Hee Young berbalik ke arah dia datang. Namun, suara lembut Ibu menghentikan langkahnya.
“Aku tahu kau marah saat ini. Tapi, percayalah. Haes-sal melakukannya untuk menyelamatkanmu, Hee Young.”
“Menyelamatkan dengan membunuh?” Hee Young bertanya sengit.
Ibu membalas pertanyaan Hee Young dengan nada datar. “Menurutmu, mengapa putraku membawamu ke Dunia Atas dari pada membiarkanmu tetap tinggal di Bumi?”
~~oOo~~
Pertanyaan calon ibu mertuanya menghantam telak hati Hee Young. Setengah melamun dia kembali ke paviliun Haes-sal. Benaknya berkecamuk oleh berbagai pikiran. Namun, semuanya mengerucut pada satu pertanyaan.
Mengapa Haes-sal melakukan semua ini?
“Belok mana?” tanya Hee Young pada empat dayang yang mengekor di belakangnya. Dia sudah melewati gerbang besar keluar rumah induk dan berhadapan dengan persimpangan dua arah.
“Ke kanan, Nona.”
Hee Young mengambil jalur yang ditunjuk. Jalan setapak meliuk-liuk membawanya ke jembatan kayu apung menuju paviliun Haes-sal. Bangunan berwarna cokelat dan hitam mulai terlihat dari balik rimbunan tanaman gantung. Dia menghadap ke arah dayang-dayang dan memberi perintah tegas.
“Kalian bisa meninggalkanku. Aku sudah tahu jalan pulang.”
Dayang-dayang mengangguk dan undur diri. Hee Young menghela napas panjang. Dia kembali melangkah cepat dan berteriak sekeras mungkin.
“HAES-SAL, DI MANA KAU?”
Sosok yang dicarinya berjalan dari arah kamar mandi. Penampilannya segar dengan rambut yang masih meneteskan air. Tubuh berototnya hanya tertutup celana panjang di bawah panggul.
Hee Young menelan ludah. Serangan fisik Haes-sal jauh lebih mematikan ketimbang berbagai perisakan yang diterimanya selama ini. Lututnya mulai goyah melihat tubuh setengah telanjang yang berjalan menghampirinya. Bayangan percintaan mereka kembali melintas, meronakan wajah.
Hee Young menampar-nampar pipi, menyadarkan tujuannya adalah untuk menuntut penjelasan. Sepertinya kemampuan Haes-sal membaca pikiran masih tak berlaku pada perempuan itu. Karena sang malaikat tampan tersenyum tak berdosa sembari meraih tangan Hee Young.
“Mengobrol apa dengan Ibu?”
“Kenapa kau membuat keputusan tanpa persetujuanku?” Hee Young blak-blakan.
Haes-sal menatapnya tak berkedip. Seulas senyum tipis diberikannya untuk Hee Young. “Sepertinya Ibu bercerita banyak padamu.”
“Haes-sal, jelaskan padaku!” desak Hee Young.
Namun, bukan jawaban yang diperoleh perempuan itu. Sang malaikat tampan justru membopongnya ke tempat tidur dan mengabaikan rontaan istri mungilnya.
“Jangan mencoba merayuku,” geram Hee Young. “Apa susahnya memberiku penjelasan?”
"Bicara di tempat tidur lebih cocok untuk kita," ujar Haes-sal nakal. "Aku bisa menjinakkan kemarahanmu di sana."
Hee Young memukul bahu Haes-sal kuat-kuat. Pria itu hanya terbahak.
"Jangan membujukku dengan seks." Hee Young berguling menjauh. Ranjang besar itu mulai jadi arena pertempuran keinginan antara Hee Young dan Haes-sal.
"Kemari, Chagiya."
Hee Young menggeleng. Suaranya tegas dan tak terbantahkan. "Beri aku penjelasan dulu."
"Jika tidak?" Malaikat itu berdecak. "Kau tak bisa lari ke manapun, Hee Young."
"Siapa bilang?" Wanita itu mengangkat dagu tinggi-tinggi. "Ibu ada di pihakku. Sebentar lagi Aeri dan kakakmu akan datang ke sini. Apa jadinya jika mereka berhasil jadi sekutuku?"
Haes-sal terperangah. "Kau melakukan apa dengan ibuku, sih?"
"Bernegosiasi," jawab Hee Young puas. "Itu yang biasa dilakukan antara dua musuh, kan?"
"Aku dan keluargaku bukan musuh." Haes-sal mendesis. "Dan berhenti menghindariku!"
"Beri aku penjelasan dulu!" teriak Hee Young sambil meloncat turun kasur. Dia berlari cepat ke arah balkon. Wajahnya sedikit memucat.
"Kehilangan jalan kabur, Istriku?" Haes-sal mendekat dengan senyum penuh kemenangan.
Hee Young mengeluh. "Haes-sal, tolong permudah urusan kita. Aku masih mengalami syok. Apa kau tega membiarkan manusia sepertiku menahan beban seberat ini?"
"Kau bukan manusia lagi."
Hee Young menudingkan telunjuk. Suaranya gusar. “Nah, kau mengakuinya! Jelaskan padaku. Bagaimana aku bukan manusia lagi saat aku tak merasa sudah mati?”
Malaikat itu terdiam cukup lama. Semilir angin memainkan ujung-ujung rambut istrinya yang bersandar di pagar balkon. Wajah cantik Hee Young bersemu merah. Dada penuhnya naik-turun menahan amarah. Jika tak sedang menghadapi kekacauan emosi kekasihnya, Haes-sal tergoda untuk mencumbu Hee Young di beranda kamar ini.
Desahannya berat. Dia menarik kursi untuk dirinya sendiri dan menunjuk kursi lain di seberang meja. “Duduk, Hee Young.”
Mulut Hee Young mengerucut. Haes-sal menatapnya tak berkedip. Pria itu mengumpat keras dalam hati. Pengendalian dirinya yang terkenal seantero Imoogi hancur total hanya karena gerakan bibir kekasihnya. Teringat lagi semangat Hee Young yang membara di atas tempat tidur, gairahnya menyentak keras.
"Nah, aku duduk. Sekarang jelaskan."
Haes-sal berusaha keras tak menyambar wanitanya dan melesakkan diri dalam-dalam ke cincin licin yang hangat. Pria itu mengatur napas susah-payah. Diusapnya peluh dengan punggung tangan. Sekarang waktunya bercerita, bukan bercinta.
"Hidupmu tak aman, Hee Young." Malaikat itu mulai bicara. "Yong Jin sudah tak ada."
Hee Young mengernyit. "Apa maksudmu tak ada? Dia tidak mati, kan?"
Haes-sal menggeleng. “Kuharap dia belum mati.”
“Haes-sal, bicara yang jelas!” Hee Young gemetar.
Haes-sal memijat daerah di antara dua alis. Ekspresinya terlihat suram. “Hari di mana aku menemukanmu adalah saat aku hampir melakukan tindakan dosa pada Yong Jin. Malaikat sepertiku tidak diperbolehkan membunuh manusia, Hee Young. Karena itu, aku mengirim rohnya ke Dunia Bawah, tempat di mana agma berada.”
Hee Young menyimak penjelasan Haes-sal dengan tubuh mematung. Batinnya terguncang. Malaikat itu meneruskan cerita.
“Roh Yong Jin, yang juga kami sebut dengan jiwa, kutahan di sana karena aku ingin memberi pelajaran setimpal untuknya. Berhadapan dengan agma bagi manusia biasa adalah pengalaman yang sangat mengerikan. Aku memutuskan, jiwanya akan kembali ke tubuhnya atau tetap kubiarkan di Dunia Bawah hingga kematian menjemput, bergantung padamu.”
“Kenapa harus bergantung padaku?”
“Karena dia membuat istriku menderita,” ujar Haes-sal dingin.
Hee Young tertegun. Lagi-lagi sorot kejam itu muncul. Dia menggigil ketakutan. Apa ini sisi lain Haes-sal yang tak pernah diketahuinya?
“Jika kau selamat, maka aku akan mengembalikan jiwa Yong Jin. Namun, jika terjadi sesuatu yang buruk padamu, maka aku akan membiarkan sahabatmu menderita di Dunia Bawah. Kupastikan dia menerima balasan setimpal sebelum malaikat maut mengantarnya ke neraka.”
“Dunia Bawah bukan alam kematian?”
Haes-sal mendesah. “Sayangnya bukan. Di sana hanya tempat pemberhentian sementara sebelum roh-roh jahat dua dunia menuju ke neraka, tempat abadi bagi para pendosa. Namun, jangan harap ada kesenangan di sana. Agma akan memberi siksaan pedih bagi roh-roh itu. Termasuk pada Yong Jin.”
Hee Young lemas. Tak menyangka Haes-sal memiliki nilai kekejaman seperti itu. Menyandera jiwa manusia terdengar lebih mengenaskan daripada memberi kematian. Keduanya sama-sama bukan pilihan bagus.
“Mengejutkannya, jiwa yang kukirim ternyata bukan milik Yong Jin.”
Hee Young meremang. “A—apa maksudnya itu?”
"Pihak yang kita hadapi sekarang bukan lawan sembarangan." Pandangan malaikat itu menyapu wajah cemas istrinya. "Sesuatu itu, siapapun dia, melenyapkan jiwa Yong Jin lebih dulu. Yang berinteraksi denganmu selama ini adalah jiwa palsu. Ada yang memasukkan roh lain ke dalam diri Yong Jin, memunculkan sifat asli lelaki itu sehingga dia berani menjebakmu lagi.”
Hee Young limbung. Dia hampir jatuh tersungkur jika tak segera ditangkap Haes-sal. Perempuan itu memaksakan diri berfokus pada pria yang tengah memeluknya sangat erat.
“Siapa yang tega melakukan hal itu?” tanyanya terguncang. “Yong Jin memang jahat. Aku membenci tindakannya. Tapi menyiksa dia seperti itu sangat kejam.”
Haes-sal tak menjawab pertanyaan Hee Young. Bibirnya mendarat di puncak kepala dengan rambut terurai di pelukannya. Dia menggendong tubuh mungil kekasihnya. Diam-diam merasa prihatin untuk kehidupan yang direnggut paksa dari Hee Young.
"Apa bangsa kalian yang melakukan hal keji itu?"
"Cheonsa tak akan melakukan hal itu. Hanya dua pihak yang bisa melenyapkan jiwa manusia." Haes-sal membaringkan Hee Young hati-hati di atas ranjang. Matahari masih bersinar. Telunjuknya bergerak membentuk lingkaran kecil, lalu pintu balkon terayun menutup perlahan.
"Siapa mereka?" Hee Young terus bertanya. Dia tak menyadari kelambu penutup ranjang mulai bergerak turun.
"Agma dan para dewa." Haes-sal bergabung di tempat tidur bersama istrinya. Tak ada aktivitas percintaan yang terjadi. Pria itu hanya memeluk istri mungilnya dalam dekapan menenangkan.
Dia merasakan bahu lembut Hee Young gemetar. Spontan Haes-sal bereaksi protektif. Telapaknya bergerak naik-turun teratur, mengusap lengan ramping Hee Young.
"Tidurlah, Chagiya. Kau kelelahan."
"Tapi ...."
"Aku akan bercerita padamu banyak hal, tapi nanti. Setelah kau beristirahat dan pulih dari syok."
Hee Young menurut. Dia bergelung di lengan sang kekasih. Hangat tubuh Haes-sal menyelimutinya. Perempuan itu mulai merasa damai.
"Haes-sal?" Hee Young bertanya tanpa berpikir. "Apa Yong Jin benar-benar sudah mati?"
"Aku menyesal harus jujur padamu, Chagiya." Haes-sal mengecup kekasihnya. "Dia tak akan bisa kembali lagi."
"Bibi Park pasti sangat sedih. Yong Jin putra satu-satunya," gumam Hee Young pilu.
"Ibu dan anak sama-sama mengundang karma." Haes-sal melingkarkan lengan di perut Hee Young. "Mereka berlaku sangat buruk. Tak ada yang harus dikasihani dari mereka."
Hee Young membisu. Dalam hati dia menyetujui pendapat suaminya. Awalnya Hee Young bersimpati pada Yong Jin. Namun, pengakuan lelaki itu bahwa dialah dalang di balik pelecehan enam tahun lalu, membuat Hee Young berubah jadi antipati.
"Bagaimana dengan Dong Wan?" tanyanya penasaran.
"Dia gila."
Hee Young mendongak. Haes-sal tertawa kecil. "Percayalah, Hee Young. Kau tak akan mau mendengar rinciannya. Yang jelas kondisi mental sepupumu tak akan pernah sama lagi seperti dulu."
“Apa yang kau lakukan padanya?”
Haes-sal mencubit pipi Hee Young gemas. “Bisakah kau tidur saja, Chagiya? Aku janji setelah ini semua pertanyaanmu akan terjawab.”
“Tapi ....”
“Tidur! Atau mau kupaksa istirahat dengan cara lain?”
Hee Young bengong. “Ada cara lain?”
“Ada. Membuatmu lebih capek lagi sehingga langsung memejamkan mata begitu caraku selesai.”
Hee Young terbeliak kala merasakan sentuhan lembut di pahanya. Gesekan kain halus yang bergerak naik memunculkan kikik geli perempuan itu.
“Kurasa aku lebih menyukai caramu yang lain ini.”
Haes-sal mencondongkan badan dan menyentuh pipi Hee Young. “Kau nakal sekali, Nyonya Kim.”
“Kau tak suka?”
“Sangat suka,” senyum Haes-sal lebar.
~~oOo~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top