Wajahnya

Aku suka melihat senyummu. Senyummu bak secangkir teh yang mampu menenangkan, menghangatkan, dan membuat hidup lebih manis.

Aku suka kilau matamu, disana selalu terdapat warna-warni pelangi perasaan.

Aku suka tawamu, disana selalu terdapat air terjun yang memercikkan tetes-tetes kebahagiaan.

Aku suka rona merah wajahmu, disana selalu terdapat sejuta misteri yang menggelitik pikiranku—tak dapat dijelaskan.

Tapi, jangan senang dulu;

Karena,

aku benci sedihmu, karena Ia menyebabkan kilau mata, senyum dan tawa, serta rona merah itu hilang dari wajahmu.

Aku juga benci seluruh penyakit yang berusaha menerjang bentengmu, membuat seluruh unsur kebahagiaan hilang, dan pada akhirnya membuatmu lemah tak berdaya.

Aku juga benci muka datar itu, raut tanpa ekspresi yang terlukis di wajahmu. Aku sangat membencinya karena aku kira kau telah tahu isi ruang kecil dalam kalbu ini, yang selalu ku kubur dalam-dalam, ku (berusaha untuk) hancurkan setiap detik, namun tanpa hasil.

Tetapi rupanya, kau tersenyum kepadaku, hingga aku berani bersumpah bahwa aku adalah manusia paling merasa lega di seluruh alam semesta.

Semua itu membentuk labirin-labirin kehidupan dan perasaan dalam bilik hati ini, secara perlahan berubah menjadi candu dalam rapsodi, dan menjelma jadi kristal yang terkubur dalam pasir pantai yang dalam.

Aku tak dapat membayangkan bilamana kau menjejakkan kaki di luar batas labirin itu, kau pergi dan menghilang. Aku tak kuasa mengira-ngira apakah kau bahagia—oh, tidak, paling tidak apakah kau tidak menyesal telah menjadi bagian dalam hidupku.

Aku tak sanggup, tak mampu mengambil semua resiko bila aku tersesat dalam labirin perasaan itu, lalu bukannya menemukanmu—yang ada engkau malah menghilang terlebih dahulu, tanpa bekas, tanpa jejak.

Dan aku takkan membiarkan rasa suka ini menjadi bumerang sial, aku akan membunuh si kagum sialan ini setiap detik, menginjak rindu yang berusaha tumbuh meskipun tanpa pupuk; yang membawa duri dan (akan) melubangi semua memori yang indah. Tidak.

Atau bahkan (mungkin) merombak semua masa lalu yang menyenangkan menjadi sesosok hantu yang tak ingin aku melihatnya, dan tak mungkin aku merangkak untuk meraihnya.

Biarlah sesak ini menjadi benalu, penasaran menjadi duri, dan perasaan ini mengakar. Biarkan mereka tumbuh dalam kalbu ini dengan sendirinya, dan meliliti seluruh bagian, lalu musnah dengan sendirinya.
Asal itu tak merusak semuanya.

Dalam keramaian yang serupa sunyi.
Salam hangat,
Seseorang yang tak berarti.
Kamis, 27 Februari 2014.

-[Ly]-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top