Diantara Dua Doa
Di lehernya memang tak tergantung kalung salib, dan begitupula dengan jari-jariku yang tidak tergulung tasbih.
Tapi, tempat kami melakukan budi pekerti di sekolah saja berbeda. Dari kelasku, kami memang berjalan ke satu arah pada awalnya. Dan berpisah di satu persimpangan. Dia belok kiri ke sanggar, dan aku masih harus lurus sedikit lagi untuk menggapai musala.
Terkadang, saat hari jum'at tiba, kami menghampar di segala penjuru lapangan basket, membaca yasin. Sementara mereka menyanyikan mazmur puja-puji.
Dalam tas yang ia bawa setiap hari, terdapat sebuah alkitab tebal, dan kecil. Wujudnya sama seperti Al-Qur'an yang kubawa setiap hari dalam tasku. Bedanya yang mutlak tentu saja pada isi. Juga warnanya. Punyanya berwarna hitam sedangkan punyaku berwarna merah jambu.
Dalam waktu yang sama, dan ruang berbeda, kami berdoa setiap pagi. Aku menengadahkan tangan dan sedikit melengkungkan jari-jariku. Dia menjalin jari-jarinya dan melipat kedua tangannya.
Terkadang saat kulantunkan salawat nabi, terdengar darinya lantunan rosario dari bibirnya.
Aku jadi semakin ragu. Apakah aku salah bila menganggapmu (lebih dari sekedar) sahabat? Apakah aku salah bila aku diam-diam menganggapmu sebagai (lebih dari) temanku?
Entahlah. Jika semua jawabannya salah, bagaimana jika aku menyayangimu?
Maret, 2014
-[Ly]-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top