Part. 4

Biasanya klo yg bca sepi endnya cepet... Wkwk. Nah dsini udh mulai ada clue2nya.

.......................

Awan hitam masih menutupi langit. Terdengar suara tangis wanita dalam danau semalam. Tak lama seorang pria bertubuh tegap dengan rambut bergelombang sebahu berjalan mendekat. Sosok itu masih bersembunyi di balik kabut tebal taman luas bagai hutan itu.

Perlahan sosok tegap, tinggi itu mulai muncul menampilkan wajah tampannya. Dia tiba dengan cepat di permukaan danau itu. Pria itu tersenyum dengan wajah pucat.

Terlihat wanita cantik dalam danau yang masih menangis. Dengan suara parau, dalam, sedikit bergema dalam danau. "A.. mar.... Tolong..."

Pria tampan yang bernama Amar itu tersenyum sedih. "Ternyata kamu ada di sini. Kamu juga menyayangi mereka, bukan? Maafkan aku, Violet," ucap Amar dengan lirih dan berat. Pria itu membelai wajah wanita itu atau lebih tepat wanitanya dalam danau. "Aku tak tahan dengan semua ini."

....................................

Dengan mudah, Naima ikut pergi bersama Marvin menaiki sado yang sama saat terakhir pemuda itu meninggalkannya. Gadis itu tersenyum memandang sahabat lamanya itu. "Aku pikir tanganku akan terbakar lagi."

Naima tersenyum riang sambil melihat Marvin yang memacu kudanya. Hingga pemuda itu melepaskan tali kekangnya dengan mudah. Naima terkejut. Namun, Marvin segera memegang pundaknya dan tersenyum menenangkan. "Pino sudah hafal jalan menuju gereja. Aku sudah sering berkunjung ke Batavia, kamu tentu tahu."

"Tapi, ini terasa ajaib." Naima masih gamang. Dan usapan lembut Marvin di tangan dan pundaknya perlahan melunturkan rasa takut itu sendiri.

"Percayalah padaku, Naima. Demi kebaikanmu dan keluargamu," ucap Marvin lembut. Mata biru laut itu seolah menyelami beningnya mata Naima.

Mereka pun menikmati perjalanan dengan bahagia sambil terbayang kenangan saat mereka kecil. Yang naik sado bersama tuan Van Scoth kala itu dalam canda dan tawa. Namun, sekarang sudah berbeda. Saat Naima bertanya tentang ayah Marvin, pemuda itu mengatakan," Ayahku kecelakaan saat di Amsterdam dan meninggal."

Naima mengucap maaf pelan. Tapi yang dia lihat Marvin mengatakannya dengan mudah. Tak ada sendu di wajahnya.

Perjalanan menelusuri jalan mulus kecil dengan pepohonan tinggi atau rumah-rumah sederhana bergaya klasik berbaris di pinggir jalan. Hingga mereka sampai di sebuah gereja kecil tapi tampak rapi dan indah. Atap segitiga dengan salib di puncaknya terlihat kokoh. Marvin turun lebih dulu dari sado lalu membantu Naima turun.

....................................

Mereka duduk di kursi yang dekat pada mimbar gereja besar. Setelah Naima berlutut dan selesai berdoa. Dia melihat Marvin yang masih menatapnya dengan pucat.

"Kamu tidak berdoa?" Naima menyipitkan matanya.

Marvin hanya menggeleng pelan. "Jika ini dunia nyataku, berdoa adalah kewajibanku. Tapi, ini bukan duniaku lagi dan juga duniamu. Aku hanya ingin menyelamatkanmu."

Naima mengerutkan dahi bingung. Lebih dari melihat gereja dalam keadaan sepi. Baru saja dia ingin menceritakan wanita dalam danau. Namun, kembali Naima merasa takut saat perlahan wajah tampan Marvin berubah pucat, bola matanya berubah hitam dan muncul garis-garis halus yang terlihat kasar di wajahnya.

"Marvin, kamu..." Naima mundur perlahan seiring pemuda itu mendekatinya tertatih. Urat-urat biru menjalar dari leher ke wajahnya.

Naima berdiri dan hampir tersandung keluar dari deretan kursi. Gadis itu menggeleng cepat. Dia sungguh takut. "Maaf, Marvin aku harus pergi. Pasti Jantira dan Bi Sasmi mencariku," ucap Naima dengan suara bergetar dan berjalan mundur.

Naima langsung berlari meninggalkan Marvin yang berusaha menggapainya. Pemuda itu berteriak lirih dan bergema di ruang gereja itu. Pemuda itu berjalan tertatih sambil merogoh sakunya mencari sesuatu. Tapi, Naima sudah menghilang.

Marvin hanya berteriak melihat punggung Naima yang menjauh. Rautnya semakin keriput. Ekspresi sedih dengan lingkar mata memerah tercetak jelas di wajahnya. "Ini bukan duniamu lagi, Nai! Dia egois!"

..................................

Sungguh semua seperti di luar nalar Naima. Tanpa sadar dia sudah berada di dalam mobil klasik itu. Tepat Jantira dan Bi Sasmi membawa kantung belanja. Supir keluarga mereka tersenyum ramah.

"Teteh, sudah tak mau belanja lagi?" tanya Jantira yang duduk di sampingnya.

Naima masih merasakan sisa-sisa ketakutannya. Tak peduli jika nanti adiknya itu curiga melihat raut berantakannya. Dia langsung memeluk adiknya. Saat ini,Seandainya dia bisa setegar Jantira yang bisa melupakan kejadian wanita di danau itu.

Adiknya sempat bingung. Tapi, dia balas memeluk kakaknya sayang yang Jantira pikir masih merindukan ibunya.

...................................

Malam kembali datang. Terkadang Naima mulai merasa tak bisa mengerti kehidupannya sekarang. Gadis itu menangis mengingat Marvin di meja belajar dekat jendela besar kamarnya. Ini lebih parah saat melihat ibunya yang meninggal bersimbah darah dalam pelukan sang ayah. Dalam tangis dia kembali menulis buku hariannya.

Aku seperti terjebak dan tersesat. Marvin, sahabatku dan kesayanganku menjadi hal menakutkan buatku. Aku pikir dia pasti masih membenciku. Paman Amar, paman Daren membenci ayah.

Wanita dalam danau itu juga baru aku ingat. Dia juga sempat menangis sebelum berubah mengerikan. Dia... Dia wanita yang dulu bersama paman Amar.

Sungguh aku tak mengerti. Ini semakin abstrak.

Satu tetes air mata di kertas coklat itu menandai akhir tulisannya. Gadis itu menutup buku bersampul kulit warna Maroonnya. Dia mendengar bunyi ketukan di jendelanya.

Naima mulai kembali was was. Suara ketukan itu tampak pelan di awal. Lalu menjadi semakin nyaring dan seperti saling berbondong untuk mengetuk.

Tok.. Tok.. Tok.. Tok... Tok tok tok...

Naima menjadi pias, gemetar, degup jantungnya bertalu cepat. Nafasnya menjadi tak beraturan. Dia ingin menghindar dan berlari. Bahkan puplen berbulu putih dalam tangannya masih terpegang erat.

Jendela itu masih tertutup gorden merah muda tebal. Naima harus berlari, itu kata hatinya. Namun, saat mulai mendengar suara erangan pelan selain ketukan yang semakin intens. Dia mengurungkan niatnya berlari. Rasa takutnya ternyata kalah dari penasaran yang lekat.

Perlahan dia memajukan tubuhnya dengan gemetar. Tangannya juga bergetar siap membuka jendela kamarnya. Saat jendela terbuka lebar.

Naima melotot dan membuka lebar mulutnya. Dia ingin berteriak tapi hanya air mata ketakutan yang ada. Tenggorokannya terasa tercekik.

Di jendelanya terlihat banyak orang baik pribumi dan asing memukul jendela kamarnya dengan raut menyeramkan, berdarah, pucat dan bola mata hitam. Mereka saling berbondong seolah ingin masuk ke kamar Naima. Dan erangan itu semakin terdengar jelas dari mereka. Tangis, teriakan dan amukan saling bersahutan.

Gadis itu menutup mulutnya dengan bahu terguncang. Dia ingin berteriak.

................................

Di ruang kerja Sakala terlihat Amar tersenyum sinis. "Selamat malam, kakak ipar."

Sakala menatap tajam pria itu dengan rahang mengeras. "Sudah puas mengangguku?!

Amar yang berdiri di depannya hanya tersenyum tipis. Pria berompi hitam itu melipat tangan di atas meja. Jari panjang dan keras itu mengetuk meja. "Terima kasih membuka cagar untukku."

Amar melirik jendela besar yang terbuka. Dalam cahaya redup bulan, terlihat banyak warga yang memukul dan bertumpuk. Mereka pucat, berdarah dan ada yang berwajah mengerikan dengan luka.

Sakala terlihar mengepalkan tangannya menatap tajam adik iparnya itu.

___________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top