part. 2
Dengan hati berdegup kencang, Naima berbalik. Suara panggilan yang sangat dia kenal. Dan suara dari seseorang yang sangat dia rindukan.
"Marvin." Gadis itu perlahan menangis. Serak yang tak bisa dia tahan lagi akhirnya ditunjukkan. Pemuda berkemeja putih panjang, bercelana katun panjang itu muncul di depan gerbang. Naima dengan senyum riang berlari menuju pintu gerbang tinggi.
"Marvin, aku kira kamu tidak akan menemui aku lagi," ucap Naima lirih. Mereka berhadapan dengan gerbang tinggi yang memisahkan mereka. "Ayo, masuklah, aku akan memasak kue kesukaanmu dan bermaim seperti tiga tahun yang lalu."
Marvin dengan senyum dingin hanya menghela nafas pelan. Dia menggeleng dengan pandangan yang tak lepas dari Naima. "Tidak bisa."
Naima memiringkan kepala menatap intens. "Kenapa?" untuk sejenak gadis bergaun sederhana itu berpikir lalu tersenyum sendu. "Ayah?"
Marvin memegang tangan halus Naima yang berlabuh pada tiang pagar. Dari celah pagar mereka bertatapan. "Aku mungkin masih takut pada ayahmu, namun kamu yang menjadi alasanku membuat rasa takut itu berkurang."
Bulan muncul sempurna di langit malam, hawa dingin berhembus. Hanya dua pasang yang saling berpandangan dengan rindu tak mempan dengan dingin. Pertemuan mereka membangkitkan rindu lama.
Naima tersenyum, genggaman tangan Marvin membawa kehangatan tersendiri untuk dirinya. Tak berapa lama dia merasakan hal aneh. Kulit tangan dalam genggaman Marvin terasa panas dan seperti membakar.
Naima meringis. Ada asap yang mulai mengepul. Marvin segera tersadar dan langsung melepas genggaman tangannya. Walau hatinya ingin, dia tak boleh egois. "Maaf, maaf, Nai. Aku tidak bisa lama-lama." Marvin semakin ketakutan setelah melihat ke arah rumah Naima. Dengan wajah sendu dia pergi. Berjalan mundur walau berat. Tersenyum pahit menghiasi wajah tampan dengan garis kokoh itu.
"Marvin, kenapa tiba-tiba? Aku masih ingin bersamamu. Apakah kamu akan menemuiku lagi? Aku akan bicara pada ayah," teriak Naima yang sudah tak bisa menahan gejolak rasa rindu, sedih, dan kecewa dalam hati.
Gadis itu kalap dan berusaha membuka gerbang. Tapi, gemboknya terasa kuat. Dia sulit membuka gerbang itu sendiri tanpa seizin ayahnya. "Marvin! Marvin!" teriaknya lagi sambil tetap bersikeras membuka gemboknya.
Akhirnya dia lelah sendiri. Dan menangis lemah. Memeluk buku harian bersampul maroon itu. Dia terus memandang punggung tegap Marvin yang menjauh lalu menghilang dalam gelap malam. Naima mengusap airmatanya.
Berjalan perlahan masuk ke dalam rumah besar itu. Tanpa dia sadari, dibalik gerbang ada Marvin yang mengintip lagi dari celah pagar. Merutuki dirinya. Dia masih bertekad untuk tetap seperti ini.
...................................
Di dalam kamar dengan nuansa klasik. Ranjang bertudung kain renda. Kursi sofa bercorak bunga-bunga, lalu lampu minyak menyala. Naima melihat tangan dengan bekas terbakar. Ada jejak telapak tangan Marvin disana.
"Akhhh!" Rasa sakit itu keluar juga setelah lama dia tahan. Penerangan dalam kamar sangat temaram. Naima mengabaikan tangannya yang terluka sebentar. Kembali mengambil pena berbulu putih lalu menulis buku hariannya.
Untuk sahabatku, Marvin Van Scoth. Hari ini kebahagian berbeda aku dapatkan dengan bertemu lagi dengammu. Setelah ibu meninggal. Atau pertengkaran ayah dan paman di hari yang sama. Suara mesiu melaju. Hanya abstrak... Hidupku berbeda setelah peristiwa itu. Mungkin Batavia mampu menyembuhkan kami.
Tapi, aku takut, takut melupakan orang-orang yang aku sayang.
Batavia kota yang nyaman tapi tak luput kebisingan. Aku jadi terbiasa. Terbiasa melihat ayah yang semakin bersikap dingin dan lebih senang di ruang kerjanya. Adikku, Jantira masih bisa ceria seperti biasa.
Yang paling menyebalkan dia suka mengusikku. Tunggulah sebentar lagi dia pasti datang.
Oh, Ibu, paman Amar dan Marvin. Aku merindukan kalian.
Naima tersenyum. Kenangan itu kembali menghampirinya. Marvin dan dirinya yang berteman sedari kecil. Bermain di perkebunan teh atau menaiki trem yang lewat di daerah jalan mulus perkebunan. Berkumpul bersama para anak pribumi dan londo menaiki trem.
Berbagi makanan dan berebut mainan. Lalu ibu Naima yang selalu cantik tertawa melihat tingkah mereka. Ayah Naima dan tuan Deran Van Scoth yang berbincang di ruang tamu sambil menyeduh teh dalam cawan keramik.
Bayangan itu perlahan pudar. Berganti pertengkaran Paman Amar dan ayah. Ibunya yang tadi tersenyum memperhatikan mereka bermain tiba-tiba berdarah hingga menyebar ke wajahnya. Raut cantik itu berubah tangis. Lalu tembakan...
Naima membuka matanya dengan keringat dingin. Ketukan pintu terdengar. Gadis itu mengusap peluh dan mengatur nafas.
Ketukan pintu kamar semakin terdengar keras. Naima mendengus. Dia segera meminum air yang selalu ada di samping meja tulisnya.
Dan benar saja ada Jantira yang berpakaian gaun tidur tersenyum manis. "Aku masih ingin mengajakmu." Jantira yang masih berusia lima belas tahun tampak polos.
............................
Di ruangan kerja yang suram. Pria tampan dewasa dengan rambut gondrong terkuncir itu. Selesai melakukan kegiatannya. Dengan peluh bercucuran. Sendu menatap pada foto hitam putih wanita cantik yang sangat dia cintai. "Aku masih berharap kamu ada."
Raut pria itu tersenyum dalam pahit. Dia kembali berlutut dan memejamkan mata.
___________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top