Abstrak 8 - Patah Sebelum Berkembang
Menyambut hari dengan hati tak karuan bukan pertama kali Diandra rasakan. Hal itu pernah terjadi saat ia pertama kali mengalami patah hati. Namun karena saat itu hanyalah sebatas cinta remaja, Diandra tak terlalu merasakan sakitnya. Berbeda dengan yang kini ia rasakan. Sakitnya begitu berbeda. Saat ia mengingat kembali bagaimana passionate-nya ciuman antara Shaun dan teman wanitanya. Dan hal itu sukses membuat Diandra kembali menitikkan airmata.
Beruntung gadis itu sekarang cukup mahir menggunakan peralatan make up. Jadi Diandra mampu menyamarkan wajahnya yang sembab dengan sapuan alat kecantikan tersebut. Ia sangat tak siap jika harus mendapatkan cercaan dari keluarganya. Terutama Devan, sang kakak yang begitu mudah menebak apapun yang terjadi pada adik perempuan satu-satunya itu.
“Pagi...” sapa Diandra dengan suara seceria mungkin.
“Hari ini berangkat sama siapa, Di?” papanya bertanya. Karena selama ini Diandra memang terbiasa dijemput Maria atau diantarkan salah satu kakak lelakinya.
“Hari ini aku mau naik motor lagi boleh, Pa?”
Seisi ruang makan tampak terkejut. Saat kuliah saja bahkan Diandra memilih naik angkutan umum daripada harus mengendarai motornya. Terakhir kali gadis itu rutin memakai kendaraan roda duanya adalah saat masih duduk di bangku SMA.
“Memang kenapa nggak mau diantar lagi?” tanya Darryl menyuarakan keingin tahuan semuanya.
“Aku nggak mau bikin Mas Devan, Mas Darryl, Papa atau Maria repot lagi. Kalau ada kendaraann kan, kalau aku harus ke mana gitu nggak perlu repotin orang lain lagi.” Diandra beralasan.
“Tapi, kamu masih mahir naik motor begitu?”
Gadis itu tertawa mendengar pertanyaan mamanya. “Ma, naik motor itu kan sama naik sepeda. Sekali kita bisa nggak akan mungkin lupa.”
“Tapi kamu sudah lama nggak naik motor, Di.”
“Aku biasa naik motor kok kalau kepengin jajanan di luar komplek.”
Mama Diandra akhirnya menyerah. Tak lagi mempertanyakan keinginan sang putri untuk mengendarai motornya ke kantor. Keluarga kecil itu pun akhirnya memilih untuk menikmati sarapan pagi mereka.
Tak ada kendala yang berarti bagi Diandra sepanjang perjalanannya menuju kantor. Ia juga tak terjebak kemacetan seperti biasa jika pergi dengan mobil. Diandra bisa sampai di kantor tepat waktu.
Namun tiba di kantor kembali mengingatkan Diandra akan sakit hatinya. Bagaimana tidak jika harinya dimulai dengan bertatap muka dengan sang penyebab sakit hati. Diandra sebisa mungkin menekan perasaannya. Mencoba mengabaikan rasa cintanya pada Shaun. Meski sulit tapi gadis itu berusaha untuk mengabaikan keberadaan Shaun.
“Di, mau makan siang di mana?” tanya Maria kala waktu makan siang akan tiba.
“Em, seperti biasa aja deh. Di kantin.”
Maria mengangguk. Gadis itu seolah lupa dengan kemarahannya kemarin karena kebohongan Diandra. Bahkan ia tak mengungkit apapun saat mereka bertemu pagi tadi. Hingga jam kantor usai, Maria dan Diandra beraktivitas seperti biasanya.
“Lo beneran naik motor?” tanya Maria menyakinkan diri sekali lagi.
Pagi tadi ia terkejut saat mendapati Diandra sudah berada di kantor lebih awal darinya. Memang jika Diandra tak menumpang di mobilnya, gadis itu akan diantarkan oleh salah satu kakaknya. Tapi yang mengejutkan karena Maria mengetahui bahwa Diandra kembali mengendarai motor matic-nya. Kendaraan zaman dulunya yang gadis itu gunakan saat mereka SMA.
“Iya. Memang kenapa kalau aku naik motor?”
“Ya, nggak biasa aja. Emang lo masih bisa naik motor?”
Diandra menatap Maria jengkel. “Bahkan aku masih bisa ngebut di jalanan!”
Maria tertawa. Mereka berpisah di basement parkiran. Maria menuju parkiran mobilnya. Sementara Diandra menuju ke parkiran motornya. Diandra lalu melajukan motornya meninggalkan pelataran parkir. Di perjalanan tak ada kendala yang berarti kecuali kemacetan. Untungnya gadis itu mengendarai motor, hingga ia bisa menyelip ke celah manapun yang bisa dilaluinya.
Saat melewati gedung apartemen tempat tinggal Shaun, sejenak Diandra berhenti. Gadis itu memandangi gedung tinggi di hadapannya. Kemudian hela napas Diandra keluarkan. Bukankah ia memilih untuk menyerah. Mengapa ia kembali mendatangi kediaman pria itu. Bagaimana Diandra bisa mengikis perasaannya pada Shaun jika ia masih terus mengingat segala hal tentang pria itu. Sadar dari tindakan bodohnya, Diandra kembali memacu kendaraannya.
Namun nahas baginya. Ketika gadis itu berbalik kecelakaan itu tak dapat dihindarkan. Entah mungkin Diandra kurang fokus hingga ia menabrak sebuah mobil yang melaju dari arah berlawan dengannya. Untung kedua kendaraan itu melaju dalam kecapatan rendah. Jadi hanya benturan kecil yang terjadi. Jika tidak, entah bagaimana nasib gadis itu sekarang.
Tetapi bukan itu yang Diandra khawatirkan. Ia tak peduli jikalau dirinya terluka atau motornya rusak parah. Tapi mobil yang berbenturan dengannya adalah jenis mobil mewah. Bagaimana Diandra bisa mengganti ruginya. Itu yang saat ini ia pikirkan. Terlebih saat sang pemilik mobil keluar dengan wajah yang cukup menyeramkan. Membuat gadis itu ingin menangis saat itu juga.
“Kamu tahu apa yang baru kamu lakukan?” cerca si pemilik dengan nada menahan amarah.
Diandra hanya mengangguk. Ia tak sanggup bersuara. Andai saja ia tak datang ke tempat itu, mungkin kesialan seperti ini tak akan menimpa Diandra. Sekarang gadis itu makin merutuki kebodohannya. Saat sang pemilik kembali mencercanya panjang lebar, Diandra sama sekali tak fokus pada apa yang pria itu bilang. Seolah telinganya tersumbat. Gadis itu hanya bisa mengangguk dan menunduk menahan tangisannya.
“Kamu dengar tidak apa omongan saya? Dari tadi cuma angguk-angguk saja!” bentak si pemilik membuat Diandra makin ketakutan. “Sekarang bagaimana denga ganti rugi ini?”
“Sa... saya telepon orangtua saya dulu,” ucap Diandra terbata.
Tangan gadis itu bergetar kala mencoba mengambil ponsel di tasnya. Rasanya kakinya sudah tak sanggup lagi menopang beban tubuhnya. Seketika Diandra langsung berjongkok. Menyembunyikna wajah tangisnya di kedua lutut. Sedang si pemilik mobil makin bingung dengan gadis muda di hadapannya ini.
“Diandra?”
Suara yang cukup familiar menyapa gendang telinganya. Diandra mendongakkan kepalanya menatap Shaun yang sudah berdiri di hadapannya. Entah harus bersyukur atau merutuk, tapi sat melihat Shaun Diandra merasa lega luar biasa. Seakan pria itu adalah dewa penyelamatnya. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan Shaun. Membuat Shaun juga pemilik mobil terkejut.
“Diandra?” Shaun kembali memanggil namanya. Gadis itu menggeleng di pelukan Shaun sembari terisak.
Shaun yang tahu tak mungkin bertanya kala gadis itu masih dalam kondisi ketakutan pun akhirnya bertanya pada si pemilik mobil. Pria itu menjelaskan sedikit kronologi dari kecelakaan kecil tersebut. Tak lupa pria itu juga menuntut pertanggung jawaban dari Diandra. Shaun akhirnya mengerti mengapa Diandra begitu ketakutan. Pria itu menyodorkan kartu namanya pada si pemilik mobil. Mengatakan bahwa pria itu bisa menghubunginya perihal ganti rugi. Pemilik mobil akhirnya merasa tenang setelah mendapatkan kartu nama milik Shaun yang ternyata juga penghuni apartemen yang sama dengannya. Setelahnya pria itu pergi dari hadapan keduanya.
“Diandra? Kamu bisa dengar saya?” Shaun berbisik di telinga gadis itu. Dijawab dengan anggukan samar oleh Diandra. “Sekarang kita bicara di apartemen saya, oke?”
Diandra menjauhkan wajahnya sedikit dari dada bidang Shaun. “Lalu motornya?” tanya gadis itu bingung.
“Bisa minta petugas keamanan yang urus.”
Isak tangis gadis itu masih tertinggal, membuat Shaun hanya bisa menggelengkan kepala kecil. Namun begitu pria itu tetap membawa Diandra ikut bersamanya. Keduanya kembali berjalan beriringan menuju apartemen Shaun. Sebelumnya Shaun meminta bantuan petugas keamanan untuk mengamankan kendaraan Diandra. Sang petugas tampak memerhatikan Diandra dengan intens. Membuat gadis itu menunduk malu. Terlebih saat mengingat kejadian kemarin. Wajar saja si petugas keamanan merasa heran. Kemarin gadis itu tampak sedih meninggalkan apartemen. Tapi hari ini keduanya bersama sambil bergandengan tangan.
...
Pada akhirnya Diandra kembali lagi ke tempat itu. Kediaman Shaun. Sejak tadi gadis itu hanya diam. Menunggu Shaun yang sedang membuatkan minuman untuknya. Sampai kemudian pria itu kembali ke ruang tamu. Menyerahkan segelas air jeruk untuk Diandra habiskan.
Meski enggan, tapi Diandra tetap menerima sodoran gelas buah tersebut dari tangan Shaun. Ia meminum beberapa teguk di bawah tatapan Shaun. Kemudian meletakkan gelas yang masih terisi tersebut ke atas meja.
“Kenapa kamu bisa sampai kecelakaan di pelataran tempat tinggal saya?” tanya Shaun kemudian.
Bukannya pria itu tak tahu kehadiran Diandra kemarin di kediamannya. Meski tak melihat langsung, tapi laporan dari petugas keamanan sudah cukup membuat Shaun tahu bahwa gadis itu menyaksikan Shaun bersama seorang teman wanitanya kemarin. Dan hal itu tentu saja menjadi beban pikiran Shaun juga. Demi apapun, sebagai pria dewasa ia memiliki ketertarikan yang sama dengan yang Diandra rasakan. Tapi mengingat begitu berbedanya mereka, mana mungkin pria itu membiarkan Diandra terlibat dalam kehidupannya. Namun anehnya saat ia tahu Diandra melihatnya bersama wanita lain, ada setitik penyesalan dalam diri Shaun.
“Kamu tidak mau menjawab saya, Diandra?” tanya Shaun dengan suara lebih lembut.
Kembali Diandra memilih menundukkan pandangannya. Mata gadis itu entah mengapa kembali berkaca-kaca. Kembali ingatan tentang kebersamaan Shaun dan wanita lain melintas di kepalanya. Diandra sadar dirinya tak memiliki hak untuk mengatur dengan Shaun berhubungan. Tapi tetap saja, sakit di hatinya tak bisa gadis itu bendung.
Hingga ketika ada pergerakan di sampingnya, membuat Diandra menolehkan kepalanya. Harusnya Diandra tahu bahwa itu Shaun yang kini duduk di sampingnya. Tapi Diandra tak bisa mencegah kepalanya untuk mendongak. Hingga tatapan keduanya saling mengunci.
“Saya tahu kenapa kamu datang lagi.” Shaun mulai bicara. “Kemarin kamu lihat saya dan seorang wanita kan?”
Diandra akan memalingkan wajahnya namun segera di tahan Shaun. Pria itu mengunci wajah Diandra dengan kedua tangannya.
“Kamu tahu apa yang kamu inginkan itu akan sangat sulit, Diandra.” Shaun kembali bicara.
Ada rasa marah dalam diri Diandra. Ia tahu apa yang diinginkannya sangatlah sulit. Atau bahkan mustahil. Tapi pikiran gadis itu memberontak. Hatinya memberontak. Tak ada yang mustahil baginya di dunia ini jika itu menyangkut tentang cinta. Dan Diandra memilih untuk menuruti keras kepalanya.
Tanpa diduga gadis itu menarik wajah Shuan mendekat padanya. Lalu mendaratkan kecupan di bibirnya. Membuat Shaun terpaku seketika. Begitupun Diandra yang tersadar akan kelakuan nekatnya. Lama mereka saling berdiam dalam keterkejutan.
“Kamu...” Shaun kehilangan kata-katanya.
“I love you, Sir,” ucap Diandra lantang. Meski suaranya terdengar bergetar tapi gadis itu tak gentar tatapan dalam dari Shaun.
Rahang Shaun mengeras. Bukan karena dia marah pada tindakan Diandra. Tidak sama sekali. Ia marah karena sepertinya pria itu pun tak mampu mengendalikan dirinya. Terlebih keberanian Diandra seolah mendobrak harga dirinya sebagai seorang pria.
Karenanya ketika Diandra akan menjauhkan wajahnya dari Shaun, giliran pria itu yang bergerak. Ia menarik tengkuk Diandra. Balas mencium gadis itu. Bukan sekedar kecupan, tapi ciuman pelampiasan rasa frustrasinya akan perasaannya terhadap Diandra.
Gadis itu sendiri begitu terkejut. Matanya membuka lebar saat Shaun dengan rakus mencoba menguasai bibirnya. Membuat Diandra tak tahu harus bertindak apa selain memukul-mukul dada lelaki itu pelan. Berusaha membebaskan dirinya karena pasokan udaranya yang kian menipis.
Shaun bukannya tak menyadari perlawanan gadis itu. Ia tahu Diandra mulai kesulitan bernapas karena ciumannya. Tapi sayangnya Shaun belum puas melampiaskan rasa frustrasinya. Ketika ia melepas ciumannya dari gadis itu, napas keduanya sama-sama memburu. Shaun menyatukan kedua dahi mereka. Membuat tak hanya napas Diandra yang menderu, tapi juga kerja jantungnya.
“Kamu benar-benar sudah kelewat batas, Diandra,” desah Shaun putus asa.
“Kenapa?” tanya gadis itu setelah berhasil menguasai diri.
“Kamu benar-benar membuat saya gila!”
Bukannya marah, Diandra justru mengulum senyum. Nada suara Shaun yang putus asa sudah menjadi sinyal bagi Diandra bahwa pria itupun merasakan hal yang sama dengannya. Rasanya segala tindakan nekatnya tak sia-sia kala mendapati kenyataan bahwa Shaun juga mungkin mencintainya.
“Tapi kamu tahu, itu sulit.” Diandra mengeleng. Membuat Shaun menahan kepala gadis itu dengan kedua tangannya.
“Saya nggak peduli. Saya cuma tahu saya cinta sama Bapak.”
“Kadang cinta saja tidak cukup, Diandra. Dunia bisa menjadi lebih kejam dari yang kamu bayangkan. Kata-kata dari orang-orang bisa membuat kamu terpuruk.”
Sekali lagi Diandra menggeleng dengan keras kepalanya. “Saya tetap nggak peduli.”
“Tapi saya peduli!” ucap Shaun tegas.
Diandra menjauhkan tubuhnya hingga kini berhadapan dengan Shaun. Gadis itu menatap tajam pada Shaun. Ada rasa tak suka terpancar dari matanya. Setelah Shaun menciumnya. Menunjukkan pria itu juga mempunyai rasa yang sama dengannya. Dan kini Diandra dihantam kenyataan kalau pria itu tak akan berjuang bersamanya. Semua hanya karena pandangan orang-orang.
Diandra bangkit dari duduknya dengan tergesa. Mengambil tasnya yang berada di sofa tunggal. Gadis itu menatap tajam Shaun sekali lagi sebelum beranjak pergi. Membuat Shaun terperanjat atas sikap yang ditunjukkan Diandra.
Lekas pria itu mengejar gadis yang sudah sedikit lagi mendekati pintu keluar. Secepatnya Shaun menarik pergelangan Diandra hingga gadis itu kini berada di pelukannya.
“Lepasin saya!” berontak Diandra.
“Kamu tidak akan pergi dengan keadaan emosi seperti ini. Tidak akan saya izinkan.”
“Apa peduli, Bapak? Saya mau pulang, lepasin!”
Diandra masih berusaha melepaskan diri dari rengkuhan Shaun. Tapi sia-sia saja karena tenaga gadis itu tetap kalah dari Shaun. Sampai akhirnya Diandra menyerah dan menumpahkan tangisnya di pelukan Shaun. Apa gunanya Shaun menciumnya tadi. Menunjukkan perasaannya jika akhirnya pria itu tetap saja menyerah. Isakan Diandra makin kencang kala Shaun justru memberikan kecupan-kecupan ringan di puncak kepalanya. Tak bisakah pria itu berjuang bersamanya untuk perasaan cinta mereka?
...
Note : nah makan dah tuh si om shaun the sheep. Seenaknya aja nyuri kesempatan dari anak gadis orang hahahah. Yang mau hujat ayo mana suaranya?
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 03/19/02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top