Abstrak 3 - Fall For Him
Begitu jam kerja berakhir, Diandra bergegas membenahi meja kerjanya. Ia ingin cepat-cepat segera menemui Maria yang sudah dua hari tak masuk ke kantor. Sahabat Diandra itu jatuh sakit hingga harus izin dari pekerjaan. Dari kemarin Diandra memang berencana untuk menemui Maria di rumahnya. Tapi tugas dari senior menahan gadis itu untuk keluar kantor lebih awal. Jadilah ia baru bisa menemui Maria hari ini.
Dua hari tanpa kehadiran Maria, Diandra merasa kesepian. Biasanya keseharian gadis itu selalu diramaikan dengan kecerewetan Maria. Meski ada rekan kerja lainnya, namun tanpa Maria semua terasa berbeda. Terlebih lagi dua hari ini pun Diandra tak melihat kehadiran Shaun sekalipun. Membuat hari Diandra makin terasa sunyi. Meski hanya mampu melihat sosok Shaun dari jauh, itu lebih dari cukup memberi semangat untuk Diandra bekerja.
Setelah memastikan tak ada pekerjaan yang tertinggal, Diandra bergegas menuju basemen di mana mobilnya terparkir. Bukan tanpa sebab gadis itu membawa mobil ke kantor. Itu belakangan ini kedua kakak lelakinya tak bisa menjemput Diandra. Sedang Maria juga sedang absen dari kantor. Jadilah ia membawa mobil milik mamanya yang memang sudah biasa Diandra gunakan.
Baru saja Diandra tiba di depan mobil, matanya menangkap sebuah pemandangan yang membuat jantungnya kembali hampir copot. Bukan ingin menjadi penguntit, tapi pemandangan tak pantas itu tersaji di depan matanya. Membuat tubuh Diandra membeku seketika.
Di dalam mobilnya yang terparkir tak jauh dari milik Diandra, Shaun tengah mencium seorang wanita dengan begitu intim. Keduanya seperti tak bisa lagi menahan hasrat hingga tak memikirkan bahwa mereka masih berada di basemen. Tak ingin melihat lebih jauh lagi, Diandra segera masuk ke mobilnya. Menyalakan mesin dan segera melarikan diri dari tempat tersebut.
Selama perjalanan menuju rumah Maria, otak Diandra berulang kali memutar kejadian yang baru saja disaksikannya. Beberapa kali gadis itu berusaha menyingkirkan gambaran tersebut dengan menggelengkan kepalanya. Tapi tetap saja, kejadian laknat itu masih membayangi benaknya.
Bukan Diandra terkejut mendapati hal tersebut. Hanya saja ia begitu tak menyangka jika dengan mata kepalanya sendiri yang akan menyaksikan adegan itu. Seketika dada gadis itu terasa sesak. Seakan ia merasa terkhianati. Padahal ia dan Shaun tak memiliki hubungan apapun.
"Ini ya namanya sakit tapi tak berdarah?" keluh Diandra kala mobil berhenti saat lampu menyala merah.
Mata gadis itu memandangi sekeliling jalanan. Hingga tatapannya tertumbuk pada sepasang kekasih yang tengah berboncengan mesra di atas motornya. Kedua sejoli itu tampak bercengkerama sembari menungu lampu berubah hijau. Membuat Diandra meringis miris. Mengasihani dirinya yang menyedihkan.
"Sial amat sih, Di. Jatuh cinta kok sama..."
Diandra tak sempat melanjutkan ucapannya karena dari arah belakang bunyi klakson sudah bersahutan. Gadis itu menggeram kesal. Menyumpah serapah para pengemudi di belakang sana yang tak sabar. Kemudian melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Beruntung kemampuan mengemudi Diandra cukup mumpuni hingga gadis itu bisa tiba di rumah Maria dengan aman.
"Maria..." teriak gadis itu begitu menginjakkan kaki di rumah sahabatnya. Namun saat melihat Bi Pon yang menyambutnya membuat Diandra meringis malu. "Maria di mana, Bi?"
"Mbak Maria ada di kamarnya, Mbak Didi."
"Yang lain ada di rumah?" tanya Diandra lagi.
"Bapak sama Ibu mungkin pulang telat. Kalau Mas Brian baru pergi dijemput temannya."
"Kalau gitu aku ke kamar Maria dulu ya Bi."
Wanita paruh baya yang sudah bekerja bertahun di keluarga Maria tersebut hanya mengangguk. Diandra pun melanjutkan langkahnya ke kamar Maria. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Diandra langsung masuk ke kamar tersebut. Membuat Maria yang tengah menonton drama di laptopnya terlonjak kaget.
"Didi! Bangke lo ya, ngagetin gue aja!" teriak Maria seraya melemparkan sebuah boneka ke arah Diandra. Tapi dengan sigap gadis itu menangkisnya hingga boneka malang tersebut tergeletak mengenaskan di lantai.
"Maria, aku mau bicara serius sama kamu."
Mendengar nada suara Diandra yang tak biasa membuat Maria tahu sahabatnya itu ingin membicarakan hal yang benar-benar serius. Maria segera menyingkirkan laptop dari hadapannya. Dan memasang sikap siap mendengarkan.
"Mau cerita apaan sih, Di?"
Diandra menimbang-nimbang apa harus dirinya mengatakan yang sejujurnya pada Maria. Tapi menyimpan semua seorang diri membuat gadis itu cukup tertekan. Dia menginginkan seseorang yang bisa diajaknya bertukar pikiran. Walau mungkin Maria bukanlah pilihan yang tepat. Mengingat siapa orang yang membuat Diandra jadi seperti ini.
"Didi!" desak Maria karena Diandra tak juga bicara.
"Janji satu hal sama aku," pinta Diandra ragu.
"Iya, apaan?"
"Jangan menghakimi dan jangan ngamuk, oke?"
Maria menghela napas. Gadis itu menaikkan sebelah tangannya ke atas. "Gue janji, nggak akan ngamuk dan nggak akan menghakimi. Puas?"
"Jangan marah, aku..."
"Didi cukup! Ngomong aja apa susahnya sih?" Maria benar-benar gemas pada sahabatnya ini.
"Oke dengar, Aku jatuh cinta sama Pak Shaun!"
Atmosfir di antara mereka seketika berubah. Diandra membeku menunggu respon dari Maria. Sedang gadis yang ditunggu reaksinya juga sama membekunya. Merasa ada yang salah dengan pendengarannya.
"Hah? Apa Di?"
"Aku jatuh cinta sama Pak Shaun. Om Shaun-nya kamu!"
Satu detik, dua detik, hingga beberapa detik berlalu tak ada reaksi apapun dari Maria. Gadis itu seolah masih berusaha mencerna informasi yang baru saja diberikan Diandra padanya. Hingga kemudian mata gadis itu melebar. Lalu menatap tajam sahabatnya.
"Diandra!" pekik Maria. Yang disebut namanya bersiap menerima amukan dari Maria. "Lo... itu..."
Diandra mengangguk perlahan. Sampai Maria tiba-tiba bergerak cepat ke arahnya. Membuat Diandra memasang postur siaga. Terlebih saat sang sahabat meremas pundaknya, membuat Diandra meringis.
"Bilang itu bohong, Di!"
"Tadi kamu janji untuk nggak marah." Diandra mengingatkan.
Maria melepas remasan di pundak Diandra. Gadis itu kemudian berbalik membelakangi Diandra. Kemudian berbalik lagi menghadapnya hingga Didi terkesiap.
"Lo... serius, Di?" tanya Maria, wajahnya tak bisa dikatakan santai.
"Kapan aku pernah bohong sama kamu, coba."
"Di, yang kita omongin ini Om Shaun, Di. Bukan orang lain."
Diandra mengangguk lemah. Gadis itu juga sadar siapa yang menjadi objek pembicaraan mereka kali ini. Tapi memangnya Diandra bisa mengendalikan perasaannya?
"Aku tahu. Sangat tahu siapa orang yang saat ini kita bicarakan. Bahkan tadi di basemen aku lihat Om Shaun..."
Maria mengernyitkan dahinya. Tampak penasaran dengan apa yang ingin dikatakan Diandra. Meski bisa menebak walau tak secara pasti. Tapi Maria yakin apa yang ingin disampaikan Diandra tak akan jauh-jauh dari kehidupan yang dijalani Shaun.
"Om Shaun kenapa, Di?"
"I saw him kissed a woman."
Benar bukan apa yang dipikirkan Maria. Ia sudah bisa menduganya. Tapi masih tetap tak mengerti mengapa sahabatnya yang terkenal baik ini harus jatuh cinta pada pria seperti Shaun. Maria sangat tahu sejarah romansa Diandra. Gadis itu akan menjadi kekasih yang sangat baik bahkan menjurus tolol menurut Maria jika sudah berhadapan dengan perasaan. Dan demi Tuhan, Maria tak akan rela melihat Diandra harus merasakan sakit karena mencintai pria seperti Shaun.
"Di, gue janji nggak mau menghakimi lo. Tapi sungguh untuk kali ini, tolong. Lupakan perasaan lo untuk Om Shaun. Please?"
Diandra menatap lembut sahabatnya tersebut. Andai Diandra bisa mengendalikan hatinya, ia pasti akan mengikuti saran Maria. Tapi lagi-lagi gadis itu selalu kalah dari logikanya karena ia tak sanggup untuk menghilangkan perasaannya. Padahal rasa itu baru bertumbuh tak lama dalam hatinya. Tapi Diandra tetaplah seperti yang Maria selalu katakan, menjadi tolol jika berurusan dengan cinta. Itu sebabnya meski diizinkan berpacaran, Diandra tak benar-benar lepas dari pengawasan keluarganya.
"Aku nggak tahu. Aku nggak yakin aku bisa. Kamu tahu akan kan, Maria?"
"Di, lo tahu orang seperti apa Om Shaun itu? Dia nggak pantas untuk orang sebaik lo, Didi."
Belum sempat Diandra membalas sahabatnya, ponsel gadis itu berdering. Panggilan dari rumah langsung menyambutnya. Tak ingin membuat keluarganya cemas, Diandra mengabarkan bahwa dirinya sedang berada di rumah Maria. Dan berencana untuk menginap. Setelahnya Diandra menutup panggilan.
"Aku punya waktu untuk dengar semua hal tentang Rashaun Sekala," ucap gadis itu kemudian.
Maria menyerah. Ia hanya bisa menghela napas pertanda kalah. Meski terkenal sebagai anak manis, bukan berarti Diandra tak bisa berubah menjadi sosok keras kepala paling menjengkelkan. Dan malam ini sepertinya gadis itu akan menjadi sosok yang paling Maria benci.
...
Shaun melajukan mobilnya ke salah satu kelab yang biasa ia datangi. Pria itu mendapat panggilan dari teman-temannya untuk berkumpul di sana. Jika saja bukan karena ingin menghilangkan pikiran penatnya, mungkin Shaun akan menolak. Pria itu mungkin akan memilih mengistirahatkan tubuhnya yang baru kembali dari luar kota. Tapi jika ia mengurung diri di kamarnya, tak menjamin juga bahwa Shaun akan bisa menghilangkan gadis itu dari kepalanya.
Diandra, staf baru satu itu masih menyita perhatiannya. Terlebih saat Shaun menyadari Diandra tak sengaja memergokinya tengah berciuman intens dengan salah seorang teman wanitanya. Bukan keinginan Shaun sampai tak bisa menahan diri. Tapi Erina yang langsung menerjang Shaun ketika mereka bertemu. Wanita itu bahkan tak bisa dihentikan bahkan ketika Shaun berusaha menjauh darinya sejenak. Tapi memang Shaun mengakui dirinya bukanlah orang suci, ia malah terbuai dengan godaan wanita itu. Yang justru menjadi sesuatu yang fatal baginya.
Sial karena Diandra memergokinya. Bukan Shaun tak tahu gadis itu membeku menyaksikan Shaun berciuman di mobil. Tapi pria itu juga tak bisa menahan hasratnya kala Erina ada dihadapannya. Menawarkan kenikmatan yang biasa menjadi candu dalam hidupnya. Dan mereka berakhir di sebuah kamar hotel terdekat sore tadi.
Kini, dalam perjalanan menuju tempat tujuannya, Shaun kembali terngiang-ngiang wajah gadis itu. Double shit! Karena nyatanya ia juga mulai tertarik pada Diandra. Bukan sekedar ketertarikan sesaat tapi ketertarikan yang lebih dalam. Gadis manis itu seakan membakar seluruh tubuhnya dengan hasrat menggelora hanya dengan tatapan. Tapi Shaun harus menahan diri karena tak mungkin ia menerjang gadis itu di depan semua orang.
"Lama banget sampainya?" Adrian menepuk pundak Shaun kala pria itu baru tiba dan langsung mendudukkan diri.
"Ada urusan mendadak tadi."
Para rekannya tertawa mendengar jawaban Shaun. Mereka jelas tahu urusan mendadak apa yang dimaksudkan Shaun. Saling mengenal selama bertahun-tahun membuat mereka tahu tabiat masing-masing.
"Sedikit gerak badan nggak ada salahnya kan?" timpal Jeremy.
Shaun tak menghiraukan ejekan Jeremy, memillih memesan minuman pada bartender di depan mereka. Memang setiap kali berkumpul di kelab ini, Shaun dan teman-temannya lebih suka duduk di depan meja bartender. Daripada harus menempati meja-meja di tengah ruangan. Selain lebih mudah untuk memesan, tempat itu juga memberi mereka akses untuk mengamati wanita-wanita yang bisa menjadi teman berbagi kesenangan.
"Ada masalah di kantor apa gimana, Shaun. Jarang banget kamu kumpul sama kita di sini."
Shaun meneguk martini pesanannya. Haruskah dia bercerita bahwa bukan hanya pekerjaan yang membuatnya tak bisa berumpul dengan mereka akhir-akhir ini. Tapi juga karena gadis kecil yang menyita perhatiannya. Atau Shaun tetap merahasiakannya seorang. Lagipula apa kata mereka jika tahu seorang Shaun tertarik pada gadis yang lebih pantas menjadi anaknya.
"Pekerjaan dan lain-lain," jawab Shaun singkat.
"Lain-lain? Wanita?" tebak Adrian sambil menyeringai. Jeremy menggelengkan kepalanya karena tebakan Adrian biasanya selalu benar.
Shaun ikut menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul. Tapi pria itu tak berniat menjawab. Memilih menikmati minumannya sembari menyaksikan sajian yang ditampilkan di atas panggung sana. Tampak beberapa wanita berpakaian seksi menampilkan tarian-tarian yang terbilang erotis. Tentu saja mata para pria brengsek seperti mereka tak akan pernah lepas dari godaan sebesar itu. Bahkan Jeremy pun sudah turun dari kursinya untuk mendekat ke arah panggung.
"Ingat istri di rumah, hei!" teriak Adrian tapi seolah tak peduli, Jeremy hanya mengacungkan jari tengahnya pada kedua sahabatnya yang masih bertahan di kursinya.
"Nggak ikut turun?" tanya Adrian kemudian pada Shaun.
Shaun menggeleng. Memilih kembali meminta bartender meracikkan minuman lain padanya. Hingga beberapa saat lamanya kedua pria itu hanya menikmati minuman sembari berbincang. Sampai Jeremy datang kembali dengan seorang wanita bersamanya.
"Jer, serius?" tanya Adrian tak habis pikir.
"Asal jangan ketahuan istri kan?" seringai licik Jeremy tercetak jelas di wajahnya.
Pria itu menarik wanita yang datang bersamanya menjauhi kedua temannya. Sebelum benar-benar menjauh, sang wanita justru mengedipkan matanya pada Shaun dan Adrian. Membuat keduanya hanya bisa tertawa.
Hampir dua jam Shaun menikmati waktunya di kelab bersama Adrian. Tahu bahwa Jeremy tak akan kembali keduanya memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing. Jalanan yang mulai tampak lengang mengiringi laju kendaraan Shaun menuju apartemen tempat tinggalnya. Dan tak butuh waktu lama bagi pria itu untuk tiba di kediamannya. Petugas keamanan yang sudah sangat mengenal Shaun, menyapanya dengan ramah. Yang dibalas pria itu juga dengan sapaan tak kalah ramah.
Lift yang membawa Shaun ke lantai tempat tinggalnya seakan bergerak lambat. Meski tak memiliki batas toleransi terhadap alkohol, tapi Shaun sudah menerapkan bahwa dirinya tak boleh sampai mabuk setiap kali berkumpul bersama teman-temannya. Karena itu ia selalu membatasi diri untuk tak minum lebih dari tiga atau empat gelas. Bel berdenting menandakan Shaun sudah tiba di lantai kediamannya.
Baru pria itu keluar dari lift, Shaun sudah disambut dengan senyuman hangat Erina. Padahal baru tadi sore mereka menghabiskan waktu bersama. Tapi malam ini wanita itu malah kembai mendatanginya. Tanpa banyak bicara, Erina melemparkan diri pada Shaun. Mencium pria itu dengan penuh hasrat. Shaun tak akan pernah menolak, tapi saat ini mereka masih berada di uar apartemennya. Jadi pria itu menjauhkan Erina dan segera membuka pintu apartemennya.
"Kamu habis darimana?" tanya Erina ketika mereka berdua sudah masuk ke dalam apartemen.
"Ketemu sama teman. Mau minum?" tawar Shaun basa-basi.
Erina tak menjawab. Wanita itu kembali menerjang tubuh Shaun dengan pelukannya. Mencium pria itu dengan gairahnya yang seperti biasa. Shaun bukan pria awam yang tak tahu apa yang wanita itu inginkan. Tanpa basa-basi Shaun membawa tubuh Erina ke dalam kamarnya. Kembali mereka mengulang apa yang sore tadi keduanya lakukan. Mengisi malam ini dengan kegiatan ranjang yang panas.
...
Note : oke, cut! Hahahahha.. you know me so well, guys. Aku gak akan berani membuat adegan yang lebih eksplisit dari itu(Atau mungkin gak bisa, hehe) segitu aja cukup ya ahahaha. Fokus utama kisah ini bukan adegan ranjang panas si om Shaun the sheep yang bergoyang. Tapi perasaan Diandra dan si Om, oke. jadi marilah kita nikmati sama-sama saja gimana Didi dan perasaannya terhadap si Om serigala berbulu domba ini.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Rumah, 19/19/01
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top