Abstrak 23 - Abstrak
Melangkah maju, adalah hal yang dilakukan Diandra. Tak mudah untuknya kembali berdiri tegak. Tapi Diandra akhirnya mampu melakukannya. Keluarga dan sahabat setianya selalu berdiri di sisinya. Mendampingi ketika gadis itu kehilangan arah untuk melangkah. Sisa cinta itu tentu saja tak sepenuhnya hilang dari hati Diandra. Tapi gadis itu mampu menguncinya di sudut terdalam. Hingga kini ia mampu menegakkan kepala dan tersenyum seperti Diandra sebelumnya.
Sudah setahun berlalu sejak terakhir kali ia bertemu dengan Shaun. Tak ada kabar apapun yang Diandra dengar. Dan memang gadis itu sendiri yang membatasi dirinya untuk tak mencari tahu. Meski mudah saja dengan perantara Maria. Tapi Diandra sudah bertekad tak akan terjebak lagi dalam perasaan yang ia sebut abstrak.
Bukan tanpa sebab Diandra menyebut perasaannya dahulu terhadap Shaun adalah sebuah bentuk abstrak. Cinta itu ada dan nyata. Hanya saja bagi Diandra itu seperti sebuah lukisan tanpa rupa yang Diandra pun tak mampu mengukir maknanya. Karena nyatanya baik ia dan Shaun, sama-sama tak bertahan dalam rasa cinta tersebut.
“Kamu sudah terima email dari klien kita kan, Diandra?” Dewa menghampiri Diandra yang sedang berkutat di depan meja kerjanya.
Diandra mengangkat kepala, menatap sang atasan. “Sudah. Nanti sore katanya klien akan datang untuk membahas lebih lanjut detailnya.”
Sudah beberapa bulan Diandra memang bekerja di florist milik Dewa. Secara tak sengaja gadis itu mengajukan diri kala datang berkunjung ke kafe milik Dewa. Awalnya pria itu pikir Diandra hanya bercanda. Karena menurutnya mana mungkin gadis seperti Diandra bersedia bekerja di sebuah florist kecil seperti miliknya. Tapi saat Diandra mengatakan bahwa saat itu dirinya adalah pengangguran, Dewa pun mengabulkan keinginan gadis itu. Terlebih saat mereka semakin dekat tak hanya sebagai rekan kerja, tapi juga sebagai teman. Dan Dewa pun tahu perjalanan cinta Diandra yang tak mulus dari bibir gadis itu sendiri. Itulah salah satu sebab Dewa mengizinkan Diandra bekerja di floristnya. Sebagai bentuk dukungan untuk membantu gadis itu memulihkan patah hatinya.
Kedekatan Diandra dan Dewa sempat menumbuhkan harapan pada keluarga Diandra. Terutama kedua kakak lelakinya. Tapi hingga saat ini pun, Diandra merasa nyaman bersama Dewa dalam hubungan pertemanan mereka. Begitu pun Dewa yang sama sekali tak menunjukkan tanda bahwa ia memiliki perasaan lebih terhadap Diandra.
“Sudah waktunya makan siang. Kamu nggak mau istirahat dulu?” Tanya Dewa saat melihat Diandra masih berkutat di meja kerjanya.
“Sebentar lagi.”
“Sebentar lagi tuyul kecil itu akan datang dan gangguin waktu makan siang kamu.”
Diandra tertawa. Sangat tahu siapa yang dijuluki sebagai tuyul kecil oleh Dewa. Siapa lagi jika bukan Fika, keponakan Dewa sendiri. Sejak mengetahui jika Diandra bekerja bersama pamannya, Fika sangat sering mengganggu Diandra. Meski Diandra sama sekali tak keberatan dengan gadis kecil itu. Tapi Dewa takut kehadiran Fika akan menghambat pekerjaan Diandra.
Benar saja, lima belas menit kemudian, teriakan menggema terdengar dari arah pintu masuk florist. Fika dengan kotak bekal makan siangnya segera menghampiri Diandra. Mengajak gadis itu untuk makan siang bersama. Dewa hanya bias menggeleng pasrah kala keponakannya menarik tangan Diandra untuk mengajaknya makan siang bersama.
Keduanya lantas menaiki tangga menuju atap florist yang diubah menjadi taman kecil oleh Dewa. Tempat paling nyaman yang menjadi pojok kesukaan Diandra dan Fika. Gadis kecil yang sebentar lagi beranjak remaja tersebut begitu senang setiap kali bersama Diandra. Mungkin karena Fika merasa kembali menemukan sosok ibu dalam diri Diandra.
“Hari ini Fika bawa bekal tempura sama chicken katsu, Tante Di,” ujar gadis kecil itu sembari membuka kotak bekalnya.
“Wah, enak banget. Ini siapa yang masak? Bibi?”
Fika mengangguk. “Iya. Tapi Fika ikut bantuin.”
“Lain waktu masak sama Tante Di ya.”
“Eung,” gumam Fika bersemangat.
Keduanya lantas menikmati makan siang mereka. Meski siang begitu terik, tapi angina yang berembus di atas memberi kesejukan. Keakraban kedua perempuan itu menjadi perhatian bagi Dewa yang diam-diam sering mengamati mereka. Dewa jarang ikut serta dalam kegiatan makan siang antara Diandra dan keponakannya tersebut. Tapi kehadiran Diandra pelan-pelan mampu mengusir kesepian yang dirasakan Fika sejak kehilangan kedua orang tuanya. Tentu saja hal itu membuat Dewa teramat bersyukur dengan kehadiran Diandra di antara mereka.
Sorenya Diandra dan Dewa bersiap menyambut kedatangan calon klien yang akan menggunakan jasa florist mereka untuk pesta pernikahannya. Seorang wanita bernama Ayu yang akan menjadi klien mereka datang tampak datang seorang diri. Diandra dan Dewa menyambut kedatangan wanita tersebut di ruang pertemuan.
“Maaf saya agak terlambat datang dari waktu yang ditentukan.” Ayu menyalami Diandra dan Dewa bergantian.
“Bukan masalah. Lagi pula kita tidak punya pertemuan dengan klien lain hari ini.” Dewa menjelaskan.
“Calon suami saya nggak bisa datang. Biasalah laki-laki, ada saja alas an sibuknya. Padahal kan ini pernikahan kami. Jadi saya saja yang diminta urus ini itu.”
Dewa dan Diandra hanya tersenyum maklum dengan penuturan Ayu. Kemudian ketiganya mulai membahas perihal pekerjaan mereka. Ayu menginginkan beberapa rangkaian bunga dari Afika florist untuk menghiasi resepsi pernikahannya. Wanita itu juga menginginkan buket bunga untuk pegangannya dirangkai secara khusus dengan bunga yang dipilihnya. Tak sulit bagi Diandra dan Dewa bekerja sama dengan wanita itu. Perbincangan perihal pekerjaan tersebut pun berlangsung begitu santai. Karena Ayu bukan tipe klien yang rewel dan keras kepala. Ia menerima saran dari Dewa dan Diandra dengan senang hati jika konsep yang ia inginkan dirasa tak sesuai.
“Jadi, semua sudah fix kan? Enggak ada yang akan diubah lagi?” Tanya Diandra setelah hamper dua jam mereka membahas pekerjaan.
“Sudah. Jangan lupa datang juga ke pernikahan saya ya. Undangan khususnya nanti saya kirim.”
Diandra dan Dewa hanya tersenyum maklum. Setelah mengantar kepergian sang klien, Diandra dan Dewa bersiap untuk kembali ke rumah masing-masing. Jam kerja mereka sudah berakhir. Dewa sering menawarkan tumpangan bagi Diandra. Tapi gadis itu sering menolak dan memilih pulang dengan kendaraan umum. Meski Darryl memberikan kendaraan baru bagi Diandra berupa mobil, tapi gadis itu jarang menggunakannya. Ia merasa lebih senang menggunakan angkutan umum. Mungkin terbawa kebiasaan saat Diandra dalam pelariannya di negeri jiran. Di mana gadis itu harus bepergian dengan kendaraan umum.
…
Diandra menatap puas pada dekorasi ruangan di mana bunga-bunga dari Afika florist menghiasi. Kerja keras yang mereka lakukan tak sia-sia. Ayu sangat amat puas dengan rangkaian bunga-bunga yang dikerjakan Diandra dan timnya. Bahkan para tamu yang hadir pun mengakui ruangan pesta begitu indah dengan adanya bunga-bunga tersebut.
Memenuhi undangan Ayu pun, Diandra dan Dewa bersedia datang. Tentu saja dengan membawa Fika, keponakan Dewa untuk menemani mereka. Meski pandangan orang-orang cukup membuat Diandra merasa tak nyaman. Mungkin mereka berpikir ia dan Dewa adalah sepasang suami istri. Dan Fika adalah putri mereka.
“Tante, sudah coba pudingnya? Enak sekali. Fika nggak bisa berhenti makan.” Fika tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapan Diandra. Sejak tadi gadis kecil itu memang sibuk berkeliling untuk mencoba berbagai hidangan dengan ditemani Dewa.
“Tante masih kenyang. Tadi baru cobain sate.”
“Kalau kamu sudah bosan berada di sini, kita bisa pamit pulang kok.” Dewa menawarkan. Sepertinya pria itu tahu Diandra sudah tak tahan berlama-lama berada di tempat tersebut.
“Ayo deh.”
Ketiganya lantas beriringan menghampiri pelaminan sekedar untuk berpamitan pada Ayu dan suaminya. Kemudian mereka meninggalkan ruangan pesta. Namun langkah Diandra terhenti kala matanya menemukan satu pemandangan tak biasa.
Di pintu masuk tampak Shaun berjalan bersama seorang wanita. Wanita yang dulu pernah Diandra lihat bersama Shaun. Ternyata mereka bertahan hingga saat ini. Tapi bukan itu yang membuat Diandra terkejut. Shaun bersama seorang wanita sudah bukan pemandangan asing bagi Diandra. Tapi hadirnya seorang bayi kecil digendongan Shaun lah yang menjadi pusat perhatian Diandra. Mata gadis itu melebar. Ia tak pernah tahu jika Shaun sudah memiliki seorang anak.
Kemudian Diandra tersadar. Tentu saja ia tak mengetahui perubahan yang terjadi dalam hidup Shaun. Bukankah ia sendiri yang memutuskan untuk tak menerima berita apapun perihal Shaun dari Maria. Diandra menundukkan kepalanya, kemudian tersenyum miris. Menertawai dirinya sendiri.
“Ada apa, Diandra?”
Suara Dewa mengembalikan kesadaran Diandra. Gadis itu kemudian menegakkan kepalanya. Bukan saatnya ia kembali jatuh. Dengan senyum yang dibuat setegar mungkin, Diandra kembali melangkah beriringan bersama Dewa dan Fika.
Tepat ketika mereka berpapasan dengan Shaun dan keluarganya, tak ada satu pun yang ingin menyapa. Shaun dan Diandra hanya bisa saling melirik. Kemudian masing-masing melanjutkan langkahnya.
“Kamu nggak sapa Diandra?” tanya Bianca kemudian. Ia bukan tak tahu bahwa mereka dan Diandra berpapasan di pintu masuk ruangan.
“Untuk apa?”
Bianca tak menjawab. Wanita itu hanya mengendikkan bahu perlahan. Ia hanya memancing saja apakah Shaun masih memiliki perasaan terhadap Diandra. Walau ia bisa menebak apa jawaban dari keingin tahuannya. Meski mereka sudah memiliki seorang putri kecil tapi ia tahu, Shaun bertahan bersamanya demi putri mereka.
Dua tahun sudah kebersamaan mereka, kehadiran Giza menjadi pengikat hubungan Shaun dan Bianca. Meski saat mengetahui dirinya hamil, tak ada niat Bianca untuk memaksa Shaun untuk tetap tinggal di sisinya. Tapi Shaun bukan pria tak bertanggung jawab. Ia menyayangi putrinya. Karena itu demi Giza, ia bersedia mengikat dirinya seumur hidup bersama Bianca. Meski hati Shaun belum diisi dengan nama Bianca. Pun begitu Bianca sangat mengerti. Ia tak pernah ingin memaksakan perasaan Shaun padanya. Biarlah ia seorang yang memiliki rasa cinta untuk pria itu. Dan kini ada Giza untuk mereka mencurahkan segala cinta dan kasih sayang.
“Ayu bilang, dekorasi bunga yang memenuhi ruangan ini, dikerjakan oleh Diandra.” Bianca memberi informasi. Padahal Shaun sama sekali tak ingin tahu. Tapi entah mengapa wanita itu ingin membagi informasi tersebut pada Shaun. “Menurut kamu, apa pria yang bersama Diandra tadi adalah pasangannya?”
Shaun menghela napas kasar. Sungguh ia tak ingin membahas apapun lagi perihal Diandra. Biarlah hubungan mereka menjadi masa lalu. Mereka tak harus melihat kembali ke belakang. Shaun ingin mereka melangkah maju untuk masa depan. Dan saat Bianca membawa topik perihal Diandra dan masa lalu mereka, sejujurnya Shaun cukup terganggu. Tapi sebisa mungkin pria itu menahan dirinya. Saat ini mereka sedang berada di tempat umum.
“Kita bicarakan hal itu tidak di sini!” tegas Shaun.
Bianca mengangkat kedua tangan. Pertanda menyerah akan perintah Shaun. Mereka pun mencoba menikmati pesta Ayu yang merupakan salah satu kerabat Bianca. Hingga saat melihat putri kecilnya sudah tak tahan berada di sana, Shaun mengisyaratkan mereka untuk segera pergi dari tempat tersebut.
Setelah meletakkan Giza di tempat tidurnya, Bianca menghampiri Shaun yang sedang berada di ruang kerjanya. Pria itu berdiri di depan jendela. Mungkin sedang memikirkan pertemuannya kembali dengan Diandra. Atau hal lainnya yang Bianca tidak tahu. Perlahan wanita itu menghampiri Shaun.
Belum lagi Bianca berhasil mencapainya, Shaun terlebih dahulu membalik tubuhnya. Hingga kini bertatapan dengan Bianca. Mata tajam pria itu mengamati wanita yang selama dua tahun ini sudah menemaninya. Bahkan sudah memberikan seorang anak perempuan yang cantik untuknya. Kehidupan mereka berjalan dengan baik. Meski hingga detik ini tak ada cinta yang bisa Shaun berikan sebagai balasan bagi Bianca. Shaun menyayangi Bianca. Namun untuk memberikan hatinya, pria itu tak mampu.
“Kenapa kamu harus bawa kembali nama Diandra dalam kehidupan kita? Kamu mau menggali luka di hati sendiri?” sindir Shaun.
Bukannya tersinggung, Bianca malah tertawa. “Aku cuma mau memastikan saja.”
“Kalau aku katakana sampai saat ini Diandra masih ada di sini …” Shaun menunjuk dadanya. “Apa yang akan kamu lakukan?”
Bianca tak menjawab. Wanita itu melangkah semakin dekat dengan Shaun. Kemudian melingkarkan kedua lengannya di sekeliling tubuh Shaun.
“Aku sakit hati, tentu saja. Tapi seperti yang sudah-sudah, nggak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah hati kamu.” Bianca mengeratkan pelukannya. “Tapi satu hal yang aku syukuri, kamu tetap ada di sini. Bersamaku. Meski karena Giza. Sepertinya itu cukup.”
Shaun kembali mengembuskan napas kasar. Tapi tak pelak ia membalas pelukan Bianca. Ia begitu salut pada kekuatan hati Bianca. Meski tahu ia tak akan mendapatkan tempat apapun di hati Shaun, wanita itu mencoba memahaminya.
Perasaan adalah hal yang rumit. Begitu tak jelas. Begitu sulit diraba seperti buramnya sebuah lukisan abstrak. Tapi manusia tak pernah bisa menghindari sebuah rasa bernama cinta. Karena Tuhan menciptakan hati manusia sesuai dengan fungsinya. Semua bergantung pada keinginan manusia itu sendiri. Masing-masing selalu punya pilihan untuk mengalami yang namanya jatuh cinta. Bersiap dengan resiko bahagia, jatuh dan terluka. Begitu pun yang dialami Shaun, Diandra juga Bianca. Mereka sudah memilih berada di bagian yang mana dalam permainan hati tersebut.
…
Note : Akhernyaaa … duh senangnya lenny sudah beroperasi lagi, hehehe. Maaf kalau updatenya lama ya. Soalnya disambi revisi buat naskah yang mau terbit juga, uhuuuyy. Insya Allah akhir bulan kalau gak ada kendala.
Wes kita sudah ada di ending cerita loh. Insya Allah besok, satu part terakhir ya. Tapi tolooooooong, jangan bully aku kalau endingnya gak jelas gini, wkwkwkwk.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 20/19/07
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top