Abstrak 22 - Again

Sudah hampir setahun Diandra tinggal di negara menara kembar. Meski dulu Darryl mengajaknya untuk berlari jauh. Tapi Diandra tak ingin pergi terlalu jauh dari keluarganya. Akhirnya negara tetangga lah yang menjadi pilihan dan tujuan Diandra. Selain karena jaraknya yang tak jauh dari Indonesia, Diandra juga enggan pergi terlalu jauh. Ia merasa tak akan ada gunanya berlari menjauh jika Diandra tak ingin menata kembali hati dan pikiran.

Di Kuala Lumpur Diandra tinggal seorang diri. Darryl membantunya menemukan sebuah apartemen untuk Diandra huni. Jika awalnya Diandra berada di sana demi menenangkan diri. Namun sudah beberapa bulan dirinya mulai bekerja. Tentu saja semua tak lepas dari campur tangan Darryl dan Devan. Diandra bekerja di sebuah kantor yang bergerak di bidang IT milik sahabat mereka. Hanya sebagai staf biasa. Tapi paling tidak dengan bekerja, Diandra bisa perlahan membangun kembali kepercayaan dirinya. Ia butuh bersosialisasi kembali agar tak terpuruk dan mengurung diri.

Hubungannya dengan Maria berjalan lancar. Meski berbeda negara, komunikasi mereka tetap lancar. Sahabatnya itu selalu melaporkan apa yang terjadi di kantor sepeninggal Diandra. Meski Diandra sesungguhnya tak ingin mendengar apapun lagi. Terurama perihal Shaun. Tapi Maria selalu menekankan, bahwa dengan mendengar apa yang terjadi pada Shaun dan kantor akan bisa membuat Diandra bangkit kembali. Dan memang terbukti, setelah mendengar apa yang terjadi pada Shaun, Diandra pelan-pelan mulai kembali menata hidupnya.

Kabar terakhir yang Diandra dapatkan dari Maria perihal pria itu adalah bahwa Shaun, tetap menjadi Shaun yang biasanya. Bekerja seperti biasa tanpa memperlihatkan lukanya. Satu sisi Diandra merasa lega. Tapi di sisi lainnya, Diandra merasakan perih. Karena ternyata Shaun bisa tetap melanjutkan hidupnya. Sedang Diandra harus merasakan jatuh dan terpuruk. Meski pun tak akan ada yang tahu seberapa terpuruknya Shaun di dalam.

"Diandra ... can you copy this document?" pinta Ashar, salah satu senior Diandra di kantor.

"How much?"

"Fifty. For the next meeting."

Meski terkejut, namun Diandra dengan patuh mengerjakan apa yang diperintahkan Ashar. Setelahnya gadis itu membawa lembaran-lembaran tersebut ke ruang rapat. Tak banyak yang berubah dari kehidupan Diandra. Meski masih terkesan monoton tapi Diandra bersyukur ia bisa pelan-pelan membangun dunianya.

Setelah jam kantor usai, Diandra memilih langsung kembali ke apartemennya. Ia tak memiliki keinginan untuk menikmati kehidupannya di sana. Diandra hanya ingin langsung berbaring di ranjangnya. Mengistirahatkan tubuhnya setelah lelah bekerja seharian.

Setiba di apartemen, panggilan masuk langsung menyapa ponselnya. Sejenak Diandra tersenyum saat melihat nama pemanggil yang tertera di layar. Langsung saja Diandra menjawab panggilan telepon tersebut.

"Masih betah di sana, Di?" tanya Darryl setelah sang adik mengucap salam.

Pertanyaan Darryl memberikan sedikit rasa rindu di hati Diandra pada rumah. Ia merindukan keluarganya. Suasana rumah. Terutama pelukan dan kebersamaan mereka.

"Mas, aku sudah boleh pulang?" akhirnya Diandra mengutarakannya.

"Kamu siap?"

Diandra menarik napas panjang. "Aku siap, Mas."

Dan di sini lah, Diandra berada sekarang. Bandara. Ia menanti kedatangan Darryl yang mengatakan sedang mencari tempat parkir. Selama menunggu, Diandra hanya duduk dan mengedarkan pandangan. Merasa bosan, akhirnya gadis itu menggeret kopernya. Mungkin lebih baik jika ia berjalan-jalan sejenak selagi Darryl.

Takdir memang kadang senang bermain dengan manusia. Seperti yang kini sedang terjadi pada Diandra. Di saat dirinya merasa sudah hampir melupakan segalanya tentang Shaun, mereka kembali dipertemukan. Tak sengaja ketika Diandra tengah memilih cokelat di salah satu toko, ia dipertemukan dengan Shaun.

Selama sepersekian detik, Shaun dan Diandra hanya mampu berdiri sambil saling menatap. Tak ada kata yang terucap dari bibir keduanya. Diandra ingin sekali menyapa, untuk memutus kecanggungan yang ada di antara mereka. Tapi lidahnya seperti terkunci mantra. Hingga akhirnya Shaun lah yang lebih dulu buka suara.

"Apa kabar, Diandra?"

Mendengar suara pria itu setelah sekian lama seperti memberi kejutan memori bagi Diandra. Suatu rasa seakan mendesak keluar dari rongga dadanya. Ia ingin menggapai rasa itu. Namun semua keinginan seketika pudar kala seorang wanita tiba-tiba merangkul lengan Shaun.

"Sudah dapat?" tanya wanita cantik di hadapan Diandra. Wajahnya memancarkan rasa yang dulu pernah Diandra rasakan kepada Shaun.

"Oh, belum." Suara Shaun mengalun lembut menjawab pertanyaan perempuan tersebut.

Mata Diandra memanas. Ia harus mengontrol dirinya untuk tak menangis. Terlebih, ia harus segera keluar dari zona berbahaya tersebut.

"Aku bantu cari ..."

Detik berikutnya seakan perempuan tersebut tersadar jika ada sosok Diandra di antara mereka. Senyum ramah langsung tersimpul di wajah cantiknya.

"Kenalan kamu, Shaun?" tanya perempuan itu pada Shaun.

Menunggu jawaban Shaun, dada Diandra berdebar. Ia sangat ingin tahu apa jawaban yang akan diberikan pria itu. Akankah Shaun mengatakan pada wanitanya saat ini bahwa mereka dulu pernah bersama.

"Kami pernah bekerja di perusahaan yang sama."

Dada Diandra sesak. Jadi sebatas itukah hubungan mereka bagi Shaun? Mengapa Shaun tak mengatakan bahwa mereka pernah menjadi sepasang kekasih. Meski untuk waktu yang sangat singkat.

Matanya Diandra yang mulai memerah jelas tak lepas dari perhatian Shaun. Bukan ia sengaja ingin menyakiti gadis itu. Tapi ia harus bertahan. Setidaknya itulah yang dulu diinginkan Diandra saat meminta perpisahan. Dan pria itu mengabulkannya. Meski dengan cara terkejam seperti tak ingin mengingat kembali secuil kenangannya akan kebersamaan mereka dulu.

Tapi lagi-lagi, Shaun bisa apa. Tak hanya Diandra yang butuh pelampung bertahan agar tak tenggelam dalam rasa sakit. Meski Shaun adalah pria dewasa, tapi ia butuh hal yang sama layaknya Diandra. Karena mereka berdua tahu, hati adalah bagian tubuh paling sensitif. Dan bicara tentang perasaan, jelas tak ada yang ingin merasakan kembali sakit tersebut.

"Ka ..." perempuan yang bersama Shaun tak bisa melanjutkan ucapannya karena suara nyaring yang tiba-tiba menggema.

Diandra terselamatkan saat ponselnya berdering. Nama Darryl terpampang di layar. Tanpa berucap apapun gadis itu segera menjawab panggilan sembari menarik kopernya menjauh. Sebuah pelampung penyelamat dari Tuhan membuat Diandra bertahan.

Sedang Shaun masih memandangi sosok gadis itu hingga menjauh. Ada kenangan dan rasa sakit di matanya yang tak bisa Shaun sembunyikan. Tapi sebuah pergelangan yang memeluk erat lengannya, menyadarkan Shaun bahwa ia harus beranjak dari sana. Dari kedalaman kenangannya.

...

Seperti ada yang salah dalam diri Shaun. Sekembalinya Shaun ke rumah, pria itu tak bisa berhenti memikirkan Diandra. Hampir setahun mereka tak bertemu. Bahkan saling mengetahui kabar masing-masing pun tak pernah. Dan kini, mereka kembali dipertemukan kembali.

Lagi. Rasa yang pernah ada di antara dirinya dan Diandra seakan merambat keluar melalui celah hati yang telah ditutup Shaun. Yang tak akan pernah pria itu buka kembali. Meski kini Shaun memiliki seseorang di sampingnya. Tapi sayangnya Shaun tak pernah melibatkan hati di dalamnya.

Pria itu mengakui dirinya memang brengsek. Tapi bukan Shaun tak mengatakan pada kekasihnya saat ini bahwa ia tak ingin melibatkan hati dalam hubungan mereka. Tak ada komitmen. Dan wanita bernama Bianca tersebut tak mempermasalahkannya. Ia menyukai Shaun. Dan menyukai hubungan yang mereka jalani saat ini. Meski tanpa melibatkan hati Shaun. Tapi keberadaan pria itu di sampingnya saja sudah membuat Bianca bahagia. Wanita itu percaya, suatu saat nanti, Shaun akan menetapkan diri bersamanya. Berkomitmen dengannya. Meski entah kapan hal itu akan terealisasi.

"Perempuan tadi bukan cuma sekedar mantan rekan kerja kan?" Bianca bertanya saat mengantarkan kopi ke ruang kerja Shaun.

Shaun mengalihkan tatapannya pada wajah Bianca. Pria itu tahu ia tak mungkin bisa membohongi Bianca.

"Ya. Diandra ..."

"Jadi namanya Diandra? Nama yang cantik," senyum cantik tak pernah lepas dari wajah Bianca. "Dia perempuan yang bikin kamu nggak ingin melibatkan hati dalam hubungan kita, kan?"

Tepat! Tanpa perlu mengucapkan kata itu, raut wajah Shaun sudah memberikan jawabanya. Bianca bukan gadis belia yang baru mengenal cinta. Ia cukup berpengalamaa. Karena itu itu ia tak akan pernah mengedepankan emosi dan perasaannya dalam menghadapi hal seperti itu. Terutama yang berhubungan dengan hati dan perasaaan. Ia yang tetap ingin bertahan di sisi Shaun. Artinya ia siap dengan konsekuensi ketika sang kekasih kembali terjebak nostalgia.

"Kamu keberatan?"

Bianca mengendikkan bahu. "Enggak akan. Diandra masa lalu kamu. Dan selama ini kita berhubungan, kamu tahu gimana aku kan."

Shaun tersenyum tenang. Tentu saja ia mengenal watak Bianca. Itulah yang membuat hubungan mereka tetap bertahan sampai saat ini.

"Masih banyak yang harus aku kerjakan. Kamu bisa istirahat duluan."

Bianca mengecup sekilas bibir Shaun. Kemudian perempuan itu berlalu dari ruang kerja Shaun. Memberikan waktu bagi pria itu untuk sendiri. Sepeninggal Bianca, Shaun kembali melanjutkan kerjanya. Ia tak ingin lagi larut dalam pikirannya akan Diandra. Sudah cukup, ia harus bisa membatasi dirinya. Jangan sampai tenggelam lagi dalam perasaan yang sama.

Di sudut lain sebuah ruangan, Diandra tak mampu memejamkan matanya. Pikirannya masih berkutat pada pertemuannya dengan Shaun. Diandra tak bisa membohongi hatinya. Peretemuannya dengan Shaun masih menimbulkan getaran seperti dulu. Tapi rasa sakit pun menjadi bagian dari perasaan itu. Terlebih saat melihat Shaun ternyata sudah menemukan penggantinya.

Diandra tahu ia tak berhak lagi akan Shaun. Ia yang memutuskan semua. Maka ia yang harus menanggung sendiri sakit hatinya. Dan pelampiasan yang bisa dilakukan Diandra tak lain hanya menangis.

Di saat seperti ini Diandra sangat butuh seseorang untuk berbagi perasaannya. n Entah mengapa ia tak ingin menangis sendiri. Maka yang gadis itu lakukan selanjutnya adalah menghubungi sang sahabat.

Tak butuh waktu lama, setengah jam kemudian Maria sudah hadir di kamarnya. Sahabatnya sangat bisa diandalkan. Tanpa perlu Diandra bercerita panjang lebar, melihat mata sembab gadis itu saja Maria tahu apa yang terjadi.

"Ketemu Om Shaun lagi?"

Diandra mengangguk. "Nggak sengaja."

"Lalu?"

"Masih sakit di sini." Diandra menunjuk ke rongga dadanya.

"Memang harus sakit. Kalau nggak sakit, lo nggak akan belajar."

Lugas seperti biasanya seorang Maria. Tapi itu yang Diandra sukai dari sahabatnya. Maria bukan tipe sahabat yang akan mendukung semua keputusan Diandra. Ia tak akan segan menentang jika memang apa yang dilakukan Diandra bertentangan dengannya.

"Kamu tahu siapa perempuan yang sekarang bersama dengan Shaun?" tanya Diandra selanjutnya.

"Kamu ketemu Om Shaun sama Bianca?" Maria mengernyit bingung. Tak menyangka.

"Namanya Bianca?"

"Iya. Pacarnya Om Shaun sudah hampir setengah tahun. Cukup bertahan lama. Bahkan dari yang aku dengar mereka sekarang tinggal bersama."

Mata Diandra membelalak. "Hah?"

"Enggak usah kaget gitu. Bukannya lo tahu banget gimana Om Shaun?"

"Tapi ..."

"Ya emang. Ini di luar kebiasan banget kan. Biasa dia cuma cari kesenangan sama perempuan. Enggak ada yang sampai tinggal bareng. Tapi kayaknya kali ini ... serius."

Dindra bungkam. Tanpa bisa disembunyikan, Maria tahu sahabatnya pasti merasakan sakit. Tapi apa boleh buat, sakit pun tak akan ada gunanya. Diandra dan Shaun memang mungkin tak ditakdirkan untuk bersama.

"Gue tahu lo masih sakit hati. Tapi tolong Di, itu sudah keputusan terbaik buat kalian. Jangan lagi lihat ke belakang. Jangan lagi bikin khawatir keluarga lo, Didi."a

Kata-kata Maria menampar Diandra tepat sasaran. Tak seharusnya gadis itu kembali berkubang dalam kesedihan. Jika Diandra kembali terjatuh, untuk apa perjuangannya selama ini meninggalkan keluarga. Akan sia-sia jika Diandra tak lagi bangkit. Seperti Shaun yang ternyata baik-baik saja dengan hidupnya. Diandra pun harusnya akan baik-baik saja.

"Aku beruntung punya kamu sebagai sahabat."

"Lucky you!" balas Maria. Keduanya kemudian tertawa bersama.

Diandra memang beruntung. Adanya Maria di dalam hidupnya membuat ia bisa tetap berpikir jernih dengan tetap mengandalkan realita. Dan sebagai bentuk pembuktian tersebut, Diandra bertekad bahwa esok, di hari baru, ia akan menjadi pribadi yang baru.

...

Note : etto ... gak tahu mau nulis apa. Selamat membaca. Dan cerita ini akan berakhir mungkin dalam 2-3 part lagi, hehehe. Seperti judul, endingnya pun mungkin akan seabstrak itu. Lalu ... didi bakal begitu aja? Dewa kemana? Hahahah. Ya itulah, mereka hanya objek pelengkap. Sudah ya, wkwkwk

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : dengerin lagu di mulmed, lagu favorit dari salah satu ost anime favorit jaman dulu yang diremake. Dan suara Beverly juga ... eugh, keren banget. Aku nulis part ini sambil dengerin lagu itu berulang-ulang, bahkan judul juga ambil dari judul lagunya, hahahha.

Rumah, 02/19/07

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top