Abstrak 21 - Keputusan Sulit
Shaun sudah berpikir matang. Apapun yang terjadi, ia tak akan mundur. Berkali pria itu menelaah langkahnya untuk bersama Diandra. Dan pria itu tetap teguh dengan langkah yang akan diambilnya. Shaun akan menemui orang tua Diandra. Tak peduli jika ia akan mendapat penolakan keras. Ia tak akan tahu hasilnya jika tak mencoba.
Maka di minggu siang yang tenang, Shaun sudah tiba di kediaman keluarga Diandra. Sebelum melangkah masuk, Shaun menarik napas panjang. Berdoa dalam hati semoga usahanya dilancarkan. Hingga ia bisa bersama dengan gadis yang dicintainya.
Namun belum lagi Shaun menginjakkan kaki di teras rumah orang tua Diandra, gadis pujannya muncul. Diandra yang berniat membuang sampah begitu terkejut mendapati keberadaan Shaun di rumahnya. Gadis itu bahkan membeku sejenak. Hingga suara Shaun membuyarkan keterpakuannya.
"Diandra," panggil Shaun. Nada suaranya sarat akan kerinduan.
Bukan Diandra tak merindukan pria di hadapannya itu. Tapi gadis itu tak bisa melampiaskannya. Ada ganjalan dalam hatinya untuk membalas rasa rindu Shaun.
"Kenapa, kamu di sini?" Diandra akhirnya bisa bersuara.
"Saya rindu kamu."
Rasanya hati Diandra remuk redam mendengar pengakuan pria itu. Demi Tuhan, Diandra pun merindukannya. Tapi lagi-lagi gadis itu ingat akan keluarganya. Terutama kondisi Papanya ynag perlahan mulai membaik.
"Kenapa, Pak Shaun ada di sini?" Diandra kembali bertanya.
Seperti ada belati yang menikam tepat ke ulu hati Shaun kala mendengar gadis itu memanggilnya dengan sapaan 'Pak'. Apa gadis itu tak merasakan hal yang sama dengannya? Apa selama perpisahan mereka, hati gadis itu berubah? Semua itu menjadi tanda tanya bagi Shaun.
"Saya ingin bertemu orang tua kamu."
Mata Diandra membelalak. "Buat apa?"
"Saya ingin meminta restu pada orang tua kamu. Saya ingin menjalani hubungan yang serius dengan kamu."
Diandra makinn dibuat terperangah. Ia tak menyangka Shaun akan mengambil keputusan itu tanpa persetujuan darinya.
"Tapi ..."
"Di!"
Teriakan dari dalam rumah menginterupsi keduanya. Diandra kembali dilanda panik ketika mendengar suara Darryl. Ia takut Darryl memergoki mereka. Dan berakibat pada kesehatang sang papa.
"Tunggu di sini!" pinta Diandra. Gadis itu kemudian berlari masuk ke dalam rumah.
Shaun yang dilanda kebingungan hanya diam membatu di tempatnya. Tak menyangka kedatangannya tak disambut dengan antusias dan rasa rindu yang sama dari gadis itu.
Sedang Diandra yang sudah berada di rumah, menarik Darryl menuju dapur. Setelah memastikan tak ada keberadaan yang lainnya di sekitar mereka, Diandra memberanikan diri untuk berkata jujur pada kakak tertuanya tersebut.
"Dia datang," ucap Diandra.
"Dia siapa, Di?" tanya Darryl bingung.
"Shaun. Dia datang."
Raut terkejut tak bisa disembunyikan Darryl. "Untuk apa?"
"Mas, untuk kali ini saja, tolong izinkan aku pergi. Untuk menyelesaikan semuanya."
Ada nada tak setuju di wajah Darryl. "Tapi, Di ..."
"Aku janji. Ini yang terakhir kali aku ketemu dia. Aku mohon, Mas."
Ada yang tersayat di dalam hatinya kala Diandra mengatakan kalimatnya barusan. Bahkan pelupuk matanya hampir basah. Baru kali ini Darryl menyaksikan adik kecilnya begitu terluka. Sesungguhnya ia tak tega pada Diandra. Tapi ia juga tak ingin menyakiti kedua orang tua mereka jika memberikan restunya pada Diandra untuk berhubungan dengan Shaun. Karena itu, Darryl akhirnya mengangguk, menyetujui permohonan Diandra.
"Bawa ponsel, Mas. Kalau-kalau kamu butuh Mas jemput." Darryl menyerahkan ponselnya pada Diandra.
Sejenak Diandra hanya memerhatikan ponsel yang diulurkan Darryl. Sampai kemudian gadis itu mengambilnya. Sebelum pergi, sekali lagi Diandra mengamati sosok Darryl. Membuat pria itu tiba-tiba memeluk adiknya.
"Terima kasih, Di," bisik Darryl. Meski ada yang berdarah-darah di dalam sana, tapi Diandra mengangguk kecil.
Tak ingin membuat Shaun menunggu berlama-lama, juga menunjukkan kelemahannya pada Darryl, Diandra segera bergegas pergi. Menyusul Shaun yang ternyata masih berdiri dengan beribu tanya di kepalanya.
"Ayo pergi. Kita harus bicara, tapi nggak di sini," pinta Diandra lagi.
Meski masih belum sepenuhnya mengerti, Shaun menurut saja. Ia dan gadis itu berkendara entah ke mana. Sampai Diandra meminta Shaun berhenti di sebuah lokasi taman yang rindang.
"Mau bicara di sini, atau di luar?" tanya Shaun setelah mematikan mesin mobilnya.
Sejenak Diandra memerhatikan keadaan sekeliling. Karena hari masih siang, keadaan taman itu cukup sepi. Hanya ada beberapa orang yang juga sedang duduk-duduk menikmati angin. Mata Diandra lantas tertuju pada sebuah bangku panjang di ujung taman.
"Kita bicara di sana," tunjuk Diandra pada bangku tersebut.
Tanpa kata, Diandra keluar dari mobil Shaun. Diikuti pria itu yang tak juga bicara. Tapi dalam hati, Shaun sudah mampu menebak apa yang akan dibicarakan gadis itu. Meski masih berharap bukanlah perpisahan yang diinginkan Diandra. Shaun merasa tak akan sanggup. Ia ingin berjuang dan memiliki gadis itu.
Keduanya sudah duduk bersisian di bangku. Detik demi detik berlalu, belum ada yang membuka pembicaraan. Diandra dan Shaun masih larut dalam pikiran masing-masing. Hingga akhirnya Shaun bisa mendengar gadis di sampingnya menarik napas panjang.
"Maaf." Satu kata itu yang terucap dari bibir Diandra.
"Untuk apa?" Shaun menimpali.
"Maaf ... karena kita nggak bisa melanjutkan hubungan ini."
Saat mengatakan itu Diandra tak sanggup menatap Shaun. Ia tak yakin akan bisa mengucapkannya jika harus melihat wajah terluka Shaun. Meski bukan hanya Shaun yang terluka, tapi juga dirinya.
"Tapi kenapa, Diandra?" tanya Shaun, masih tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
"Terlalu banyak yang menentang. Dan ..." Diandra tak sanggup melanjutkan.
"Diandra, jangan menyerah. Kita pasti bisa menghadapi semua tantangan ini. Tolong, jangan menyerah untuk berjuang bersama saya."
Diandra menggeleng. Meski sakit, tapi keputusan itu sudah gadis itu pikirkan matang-matang. Ia ingin egois. Tapi Diandra juga tak ingin menyakiti hati kedua orang tuanya. Orang tua yang melahirkan dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang.
"Aku nggak bisa. Kita nggak bisa ..."
Kalimat yang keluar dari bibir Diandra bagai vonis final kehidupan Shaun. Melihat gadis itu yang juga terpuruk dalam kesedihan membuat Shaun tak bisa berkata-kata. Sesulit itukah cinta?
Shaun yang telah menutup hatinya untuk cinta mencoba percaya ketika gadis itu mendobrak masuk dinding pertahanannya. Tapi lagi-lagi, kenyataan membuktikan bahwa cinta hanya sekedar omong kosong. Paling tidak itulah yang bisa Shaun simpulkan.
Kenyataannya, sekeras apapun ia dan Diandra ingin berusaha, tak akan semudah itu bagi mereka. Gadis itu menyerah, di saat Shaun siap menerjang badai apapun yang akan mengampiri mereka. Satu kali lagi, hidup Shaun kembali dihempas ke dasar jurang bernama cinta.
"Kamu yakin ini keputusan terbaik?" akhirnya Shaun bertanya. Nada kalah dan lelah jelas terdengar dari suaranya.
Pelan, Diandra mengangguk. Meski hatinya pun kini teriris. Tapi Diandra sudah bertekad tak akan mundur dari keputusannya. Hatinya masih bisa disembuhkan. Diandra yakin itu. Ia hanya perlu menyerahkannya pada sang waktu.
Tapi satu yang mungki luput dari keputusan Diandra, bahwa ia juga telah mematahkan hati yang satunya lagi. Milik Shaun.
Pria itu terpaku sejenak di tempatnya. Kemudian menghela napas pelan. Lelah, pasrah.
"Terima kasih untuk beberapa waktu yang kita miliki. Saya yakin kamu tidak akan sanggup bersisian lebih lama lagi bersama saya. Jadi, semoga ini menjadi pertemuan terakhir kita."
Shaun pergi. Diandra tahu itu. Tapi gadis itu tak sanggup berbalik. Air mata kembali mengalir deras membasahi wajahnya. Ia sudah sangat kejam pada pria itu. Wajar saja jika Shaun mengatakan bahwa ini adalah pertemuan terakhir mereka. Lagi pula pria mana yang ingin berhadapan lagi dengan sumber lukanya.
Entah untuk berapa lama, Diandra menangis. Sampai sebuah dekapan menghangatkannya. Membuatnya semakin melampiaskan kesedihannya di dada bidang sang penopang.
"Dia sudah pergi, Mas ..." isak Diandra.
Devan tak berkata apapun. Ia yang sengaja mengikuti keduanya hanya menjadi penonton dari kejauhan atas keputusan besar sang adik. Memang menyakitkan, tapi Devan sangat mendukung penuh keputusan adiknya. Daripada menghancurkan lebih banyak hati, lebih baik Diandra dan Shaun berhenti.
...
Orang bilang, luka itu bagian dari hidup. Shaun sangat tahu. Ia pernah terluka sekali karena cinta. Dan kini, ia kembali terluka untuk kedua kali. Dengan alasan yang sama. Jika dulu, Shaun yang labil bisa dengan mudah mencari pelampiasan, tapi tidak untuk saat ini. Ia tak sanggup bertingkah gegabah dengan mencari kesenangan demi mengobati lukanya.
Apa yang ia alami dan Diandra jelas membekas di hatinya. Ia kecewa. Sangat kecewa bahkan hampir marah pada keputusan Diandra. Tapi dengan usianya yang cukup matang, Shaun berusaha menjernihkan pikirannya. Sangat sulit bagi gadis itu pasti mengambil keputusan. Ia tak ingin menyakiti keluarganya. Jadi Diandra mengambil keputusan dengan mengorbankan cinta mereka.
Shaun pikir ia akan berhasil kembali percaya pada cinta. Tapi kenyataaan yang ada malah membuat pria itu jatuh ke lubang yang sama. Dan Shaun sudah memutuskan bahwa ia tak akan lagi mengenal cinta. Sejak meninggalkan Diandra seorang diri di taman kemarin, Shaun bertekad dirinya tak akan lagi kalah. Ia berjanji pada dirinya, tak akan lagi mengizinkan secuil rasa bernama cinta menghancurkan hidupnya.
Berbeda dengan Shaun, Diandra masih terus terpuruk dalam keputusannya. Sejak kepulangannya bersama Devan, gadis itu lebih memilih mengurung diri di kamar. Dengan alasan tak enak badan. Tentu saja seisi rumah tahu apa yang terjadi sebenarnya pada gadis itu. Tapi mereka memilih bungkam. Bukan hal mudah bagi Diandra untuk langsung menerima dan kembali menjadi Diandra yang dulu sebelum ia bertemu dengan Shaun. Atau memang Diandra tak akan pernah kembali seperti dulu.
Berminggu setelahnya, kehidupan kedua manusia itu terus berjalan. Shaun yang menyibukkan dirinya dengan pekerjaan. Dan Diandra yang mencoba kembali menata hidupnya. Meski tak akan semudah yang dikatakan orang-orang. Karena nyatanya Diandra benar-benar tak bisa sepenuhnya lepas dari bayang-bayang Shaun. Bahkan tiap malam, gadis itu masih menangis ketika mengingat semua kebersamaan mereka. Tentu saja hal itu membuat orang tua dan kedua kakak lelakinya khawatir. Darryl sebagai anak tertua tak tahan lagi melihat keadaan adiknya akhirnya mengambil inisiatif.
"Kemasi barang kamu, Di," perintah Darryl malam itu ketika tiba-tiba saja ia masuk ke kamar Diandra.
Diandra yang kala itu memandangi langit malam di balkon kamarnya seketika dibuat terkejut. Gadis itu berbalik menatap Darryl bingung.
"Hah?" tanyanya.
"Kemasi barang-barang kamu, ikut Mas pergi."
"Ke mana?"
"Ke tempat yang jauh. Tempat di mana kamu bisa menata kembali pikiran dan hidup kamu."
"Maksud Mas Darryl apa? Aku baik-baik saja kok."
Darryl berdecak pelan. "Kamu nggak baik-baik saja, Di. Kamu cuma terlihat berusaha baik-baik saja. Semua mata di rumah ini nggak buta untuk melihat keadaan kamu yang sebenarnya."
Diandra hanya bisa bungkam sambil menundukkan wajahnya. Darryl yang melihat adiknya tampak kembali terluka, menghampirinya. Dipeluknya tubuh Diandra yang sudah bergetar.
"Mas cuma ingin bantu kamu, Di. Pergilah sejauh mungkin untuk menyembuhkan luka hati kamu. Mas nggak akan bisa bantu kamu kembali sama laki-laki itu. Tapi Mas akan usahakan agar Didi yang kami kenal kembali seperti semula. Meski kami semua tahu itu nggak akan mudah. Tapi paling tidak, kamu bisa bangkit perlahan-lahan."
Diandra mengeratkan pelukannya pada tubuh Darryl. Ia ingin berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Tenggorokannya terasa tersumbat. Yang bisa gadis itu lakukan akhirnya hanya menangis sesenggukan di pelukan Darryl.
...
Note : finaleee hahaha. Akhirnya kelar dengan draft baru. Ini draft part yang beda dari draft lama, heheh. Soalnya lenny masih mati suri dulu, belum sempat ke medan buat ganti adaptornya. Gantian dulu sama nyonya meneer yang kudu ke medan karena sesuatu hal, dan saya harus jaga rumah. Takut rumahnya kabur kalau gak dijagain, hahahah. Selamat membaca aja deh, dan semoga gak kecewa dengan part baru ini yang aku buat karena bolak-balik ngecek draft yang ada di versi wattpad. Siapa yang turut sedih buat Didi? Jangan ... karena mungkin memang itu yang terbaik buat mereka *ketawa setan abis ramadan sudah lewat, mwahahahah*
Eit, satu lagi, ucapin lagi boleh ya, mumpung syawal belum berakhir, Minal aidin wal faidzin, semua. Mohon dimaafkan lahir dan batin jika ada sikap, silap, kata yang gak berkenan di hati selama kita berbalas komentar di dunia orange ini. Sayang kalian semua
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 19/19/06
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top