Abstrak 12 - Menenangkan Hati

Menjauh dari Shaun, Diandra segera mengubungi Maria. Ia meminta pada sahabatnya itu untuk memintakan izin padanya tak masuk kantor hari ini. Diandra tak sanggup rasanya bekerja dengan kondis yang jauh dari kata baik.

Maria sendiri tahu ada yang aneh dengan gadis itu. Tapi ia memilih bungkam untuk saat ini. Ia meluluskan saja permintaan Diandra. Dan berjanji sore nanti akan menemui gadis itu. Untuk mencari tahu apa yang terjadi padanya.

Gadis itu menghentikan motornya di taman kota. Suasana pagi yang tak begitu ramai membuat Diandra merasakan sedikit ketenangan. Ia memarkirkan kendaraannya kemudian menjauh ke lokasi taman yang jauh dari jalan utama. Sampai ia menemukan sebuah bangku kayu di bawah pohon rindang.

Diandra menyandarkan tubuh pada bangku taman. Kepalanya menengadah dengan wajah menatap langit yang terhalangi dedaunan. Dadanya sesak. Tapi entah mengapa belum ada setetes airmata pun yang mengalir. Mungkin Diandra terlalu lelah menangis. Atau memang ia sudah mengantisipasi hal seperti ini.

Ia pun tahu. Tidak akan mungkin Shaun yang menyetujui menjalin hubungan dengannya langsung berubah seratus persen. Kebiasaan lama tak akan mungkin hilang dalam semalam. Harusnya Diandra tahu itu. Ia kecewa, tapi tak ada yang bisa Diandra lakukan.

Atau mungkin ada?

Shaun yang terbiasa menghabiskan waktu dengan para wanita. Tak mungkin pria itu bisa menghentikan kesenangannya hanya karena seorang Diandra. Godaan itu terlalu berat bagi Shaun. Tapi bukankah pria itu berjanji bahwa tak akan ada wanita lain selain Diandra.

Tiba-tiba selintas pemikiran hadir di kepalanya. Apa jika Diandra bersedia tidur dengan Shaun, pria itu tak akan mencari wanita lain?

Namun cepat-cepat Diandra mengenyahkan pikiran tersebut. Ia tak mungkin melakukannya. Jika ia berani berbuat begitu, maka apa yang akan terjadi pada kedua orang tuanya. Kedua kakak lelakinya sudah pasti akan murka. Tak menutup kemungkinan jika mereka akan membuat perhitungan pada Shaun. Meski ide gila itu datangnya dari Diandra. Dan juga, ia belum sanggup mellihat kedua orang tuanya hancur dengan mengkhianati kepercayaan mereka.

“Sissy...” teriakan seorang gadis kecil mengejutkan Diandra.

Gadis itu segera menegakkan tubuhnya. Terlihat seorang anak yang mungkin berusia 10 tahun tengah kebingungan. Sesekali gadis itu meneriakkan nama Sissy. Hingga ketika gadis itu kecil itu menghampiri Diandra.

“Tante lihat kucing putih di sekitar sini?” tanya si gadis kecil.

Diandra menggeleng. “Enggak.”

Wajah anak itu perlahan mendung. Membuat Diandra tak tega. Ia pun berdiri kemudian mengulurkan tangannya pada si gadis kecil.

“Apa?” tanya anak itu bingung.

“Ayo cari Sissy sama-sama. Tante bantu.”

Perlahan wajah manis itu kembali cerah. Ia menyambut uluran tangan Diandra. Bersama mereka mulai mencari keberadaan kucing bernama Sissy. Tak sia-sia pencarian mereka. Karena keduanya berhasil menemukan Sissy di bawah sebuah bangku taman yang letaknya berseberangan dari tempat Diandra duduk tadi.

“Makasih ya Tante. Sudah bantuin Fika cari Sissy,” ucap gadis kecil itu sembari mengelus Sissy di pangkuannya.

“Sama-sama. Jadi nama kamu, Fika?” tanya Diandra kemudian.

Fika mengangguk. “Iya. Ini namanya Sissy. Ayo Sissy, kasih salam sama Tante ...”

“Diandra. Kamu bisa panggil Tante Didi.”

“Tante Didi,” ulang Fika mengikuti ucapan Diandra. Keduanya tersenyum satu sama lain. Kemudian larut bermain bersama Sissy.

“Fika sama siapa di sini?” tanya Diandra akhirnya. Ia penasaran sejak tadi mengapa ada anak kecil berkeliaran di taman. Dan lagi, mengapa Fika tak berada di sekolah seperti anak lain di jam seperti ini.

“Sendiri.” mata Diandra membulat.

“Sendirian? Anak kecil sendirian di taman kan bahaya. Memang orang tua kamu ke mana?” tanya Diandra lagi.

Wajah Fika yang tadinya cerah kembali mendung. Sepertinya Diandra melakukan hal yang salah.

“Fika, maaf ya kalau Tante, nggak sopan. Tante cuma khawatir. Nanti kalau ada apa-apa sama kamu, keluarga kamu pasti cemas.”

Gadis kecil itu mengangguk perlahan. “Iya, Tante. Fika tahu. Tapi Mama sama Papa sudah nggak ada.”

“Maaf,” ucap Diandra lirih. “Lalu, saat ke sini ada yang tahu?”

Fika kembali mengangguk. “Ada. Om Dewa.”

Dahi Diandra mengernyit. “Om Dewa?”

“Iya, Om Dewa tahu Fika sering main ke taman ini sama Sissy.”

“Sekarang Om Dewa di mana?”

“Di toko.” Diandra makin bingung. “Tante Didi mau ketemu Om Dewa?” tawar Fika tanpa tedeng aling.

“Di mana?”

Fika berdiri. Mengajak Diandra untuk ikut bersamanya. Tanpa ragu Diandra mengikuti langkah gadis kecil itu. Keluar dari pelataran taman. Hingga sampai di sebuah toko bunga yang jaraknya tak jauh dari lokasi taman. Afika Florist, nama yang terpampang di depan toko.

“Ayo Tante ...”

Fika menarik tangan Diandra. Keduanya masuk ke dalam toko. Ruangan penuh bunga langsung menyambut mereka begitu masuk ke dalam. Juga empat orang perempuan yang tengah bekerja. Yang Diandra yakin adalah pegawai di toko tersebut.

“Om Dewa di mana, Tante?” tanya Fika pada salah seorang wanita tersebut.

“Om Dewa ada di kantornya.” Wanita tersebut menjawab sambil memerhatikan Diandra lekat.

“Terima kasih, Tante.”

Fika kembali menarik Diandra untuk mengikutinya. Keduanya menaiki tangga yang membawa mereka ke lantai atas. Di lantai itu ada tiga pintu yang mungkin saja adalah ruangan kamar. Juga ada sofa dan ruang televisi yang dibuat tanpa sekat dengan satu set sofa yang ada di tengah ruangan.

Fika mengetuk satu dari tiga pintu tersebut. Hingga sebuah suara mengizinkan mereka untuk masuk. Ragu-ragu Diandra mengikuti langkah kecil gadis itu.

Seorang pria tengah berkutat dengan laptop di atas meja. Wajahnya seketika menoleh saat melihat keponakan kecilnya memasuki ruang kerjanya. Tatapan Dewa terkejut saat melihat seseorang hadir bersama keponakannya tersebut.

“Ini, Om Dewa, Tante,” ucap Fika menunjuk pada sosok Dewa yang masih menatap Diandra dengan bingung.

Fika kemudian menyingkir sebentar. Gadis itu bergerak ke sudut ruangan di mana terdapat kandang kucing. Dan meletakkkan Sissy di dalam ruamhnya. Kemudian gadis kecil itu mendudukkan dirinya di kursi yang ada di depan meja kerja Dewa.

“Ayo duduk, Tante.”

Melihat Diandra yang masih terpaku, Dewa pun bersuara. “Silakan duduk.”

Dengan canggung Diandra pun akhirnya ikut duduk di kursi sebelah Fika.

“Tante Didi tadi bantuin Fika cari Sissy, Om,” jelas Fika hingga Dewa akhirnya mengerti mengapa keponakannya itu membawa orang asing ke kantornya.

“Terima kasih karena sudah membantu Fika. Saya Dewa, Om-nya anak kecil ini.” Dewa mengulurkan tangannya. Yang akhirnya disambut Diandra sambil menyebutkan namanya.

“Jadi, kalian ketemu di taman tadi?” tanya Dewa kemudian.

“Iya. Tadi Tante Didi bantu Fika cari Sissy yang kabur.”

Cerita itu kembali berulang dari bibir mungil Fika. Sesekali Dewa menimpali dengan tanya dan senyuman. Pria itu juga beberapa kali melirik Diandra yang hanya diam mendengarkan celoteh gadis kecil tersebut.

“Sebagai tanda terima kasih karena sudah bantu Fika mencari Sissy, bagaimana kalau Om traktir Fika dan Tante Didi makan es krim di kafe.”

“Tante Didi, mau?” Fika bertanya penuh semangat pada Diandra yang sejak tadi diam.

“Eh? Apa enggak merepotkan?” tanya Diandra kemudian.

“Kafenya ada di sebelah florist. Jadi nggak akan merepotkan sama sekali.”

Mendengar penjelasan Dewa, Diandra akhirnya mengangguk. Ketiganya lantas turun ke lantai bawah. Dengan berjalan beberapa langkah mereka sudah tiba di kafe yang memang merupakan bagian dari usaha florist milik Dewa juga. Suasana kafe didominasi dengan tema dan ornamen bunga. Mungkin bunga-bunganya pun diambil dari florist sebelah. Berada di tempat itu serasa berada di taman bunga. Sejenak Diandra merasa pikirannya teralihkan. Paling tidak dengan keberadaannya di sini, ia bisa melupakan rasa sakitnya karena Shaun. Meski hanya untuk saat ini.

...

Shaun tahu Diandra tak mungkin bisa bekerja dengan suasana hatinya yang kacau. Meski begitu pria itu tetap berusaha menghubungi Diandra. Bukan perkara sulit baginya mendapatkan kontak Diandra. Ia bisa meminta dari bagian HRD untuk mengetahui data diri gadis itu. Namun berapa kali pun Shaun menghubungi, Diandra tetap tak menjawab panggilannya. Mungkin karena gadis itu tak mengenal nomor yang menghubunginya. Atau memang gadis itu sengaja tak mengangkat panggilan dari Shaun karena masih sakit hati.

Hingga jam kerjanya berakhir, Shaun belum beranjak dari ruangannya. Ia masih terus berusaha menghubungi gadis itu. Ada keinginannya untuk bertanya pada Maria. Tapi ia pun ragu gadis itu akan membantunya untuk mencari tahu bagaimana keadaan Diandra. Mengingat betapa Maria sangat menyayangi sahabatnya. Dan ia jelas akan menentang keras hubungan Shaun dan Diandra.

Akhirnya Shaun memilih berhenti. Ia pun mengemas barang-barang miliknya untuk segera kembali ke rumah. Selama perjalanan, ia kembali berpikir. Bukankah ini pertanda baik. Diandra menyerah dan ia tak perlu lagi menahan gadis itu. Tak akan lagi menyakiti Diandra dengan kelakuannya.

Tapi separuh dirinya tak rela. Shaun tetap menginginkan Diandra. Keinginan yang bertentangan dengan seluruh akal sehatnya. Tapi sejak gadis itu hadir di hidupnya, Shaun benar-benar menginginkannya.

“Rinka?” panggil Shaun saat menyadari Rinka sudah kembali berada di depan pintu unitnya.

Wanita cantik itu tersenyum lebar. “Hai.”

“Apa yang kamu lakukan di sini?”

“Nunggu kamu?” Rinka menjawab dengan nada tanya yang kentara. Apa kehadirannya mengganggu Shaun? Sejak kapan Shaun menolak dirinya?

Menghela napas lelah, Shaun akhirnya mempersilakan wanita itu kembali masuk. Keputusan yang harusnya tak dilakukan Shaun. Karena dengan begitu artinya ia mengizinkan Rinka kembali menggodanya. Dan Shaun yang sangat mengenal dirinya takut ia tak akan mampu menghindar.

“Sudah makan malam?” tanya Rinka ketika keduanya berada di dapur. Shaun menggeleng. “Mau aku buatkan sesuatu?”

“Yang mudah saja.”

Tanpa menunggu, Rinka mulai membuatkan masakan yang paling mudah dan tak membutuhkan waktu lama. Kurang dari setengah jam kemudian sepiring spagetti sudah terhidang di meja makan. Shaun langsung menyantap makanan yang dibuatkan Rinka untuknya.

“Kenapa kamu bisa terlambat makan?” tanya wanita itu selagi menemani Shaun menghabiskan makan malamnya.

“Kerjaan di kantor menumpuk.”

“Ah, bukan karena kamu banyak pikiran?”

Shaun berhenti menyuap, mengalihkan tatapannya pada Rinka. “Maksudnya?”

“Aku lihat seorang gadis di apartemen kamu tadi pagi. Siapa dia?”

Shaun tak menjawab. Memilih menandaskan sisa makannya. Beralih mencuci piring bekas makannya. Kemudian melangkah ke ruang depan meninggalkan Rinka yang tersenyum di tempatnya.

Sudah wanita itu duga. Shaun terlihat berbeda dengan Shaun yang dulu dikenalnya. Dan Rinka bisa menebak semua itu ada hubungannya dengan gadis kecil yang tadi pagi ia lihat keluar dari apartemen Shaun. Rinka bukannya sengaja bertemu dengan Diandra. Tapi ia ingin mengambil arlojinya yang tertinggal di kamar Shaun.

“Shaun? Siapa dia?” tanya Rinka yang sudah menyusul Shaun ke sofa di ruang tamu.

Namun Shaun tak menjawab. Pria itu malah menyandarkan kepalanya pada punggung sofa. Dengan wajah menengadah ke langit-langit dan mata tertutup rapat. Seperti ada beban berat yang kini ditanggung pria itu.

Rinka mendekat. Tangan lentik wanita itu perlahan memijat lembut dahi Shaun. Membuat pria itu tersentak dan menegakkan tubuhnya.

“Kamu seperti punya beban berat sekali. Apa ada hubungannya dengan gadis itu?” tanya Rinka menyelidik.

“Lebih baik kamu kembali, aku butuh istirahat, Rin.”

Shaun beranjak menuju kamarnya. Tapi bukan Rinka namanya jika wanita itu menyerah. Ia tahu gadis itu adalah penyebab Shaun yang mulai berubah. Tapi Rinka bukan anak kemarin sore yang tak tahu bagaimana menghadapi pria. Ia wanita berpengalaman.

Karena itu dengan cepat Rinka menyusul Shaun ke kamarnya. Tepat sebelum Shaun masuk ke kamar mandinya, Rinka menarik tubuh Shaun hingga berhadapan dengannya. Dalam hitungan detik, bibir Rinka sudah mendarat sempurna di bibir Shaun. Tak ada waktu bagi pria itu menghindar. Karena seperti biasa, ciuman wanita itu mampu menghanyutkan Shaun.

Ciuman yang kini menjadi lumatan penuh gairah hampir membawa tubuh keduanya terbaring di ranjang. Apalagi dengan sikap agresif Rinka yang sempat membuat Shaun kewalahan. Namun saat wajah Diandra yang terluka melintas di pikirannya, dengan seluruh akal sehatnya, Shaun menjauhkan tubuh Rinka darinya. Membuat wanita itu terperanjat karena penolakan Shaun. Ini yang pertama. Jelas Rinka merasa terkejut.

“Shaun?”

“Aku sedang tidak ingin melakukannya. Jadi lebih baik kamu pergi dan biarkan aku istirahat,” pinta Shaun. Suaranya sarat akan ketegasan.

Rinka berdiri, merapikan dirinya yang agak berantakan. Ia bukan wanita yang ingin harga dirinya diinjak-injak oleh pasangannya. Dalam kesepakatan mereka, tak ada yang namanya pemaksaan. Jadi jika Shaun menolaknya, artinya Rinka harus berhenti. Jika tak ingin Shaun murka dan mengusirnya dengan kasar.

“Oke, aku pergi. Telepon aku kapanpun kamu butuh teman bicara.”

Sekali lagi Rinka mencium cepat bibir Shaun. Wanita itu kemudian pergi meninggalkan Shaun seorang diri.
Di tengah kesendiriannya, Shaun kembali berpikir. Mengapa ia menolak Rinka. Bukankah itu sesuatu yang begitu diinginkannya. Namun saat terbayang wajah Diandra, ia mampu menolaknya. Mengapa saat ini. Mengapa bukan kemarin ia menolak Rinka. Sehingga ia tak perlu membuat gadis malang itu terluka.

Tapi nasi sudah menjadi bubur. Tak ada yang bisa Shaun lakukan untuk mengubah masa lalu. Yang saat ini perlu ia lakukan adalah memantapkan hatinya. Jika ia memang masih menginginkan Diandra, maka hal yang harus ia lakukan adalah mendapatkan maaf gadis itu. Berusaha membuat Diandra memberikan kesempatan kedua padanya.

...

Note : hayo mana yang mau menghajar si kambing. Kira-kira Dewa bisa nggak ya bikin Didi berpaling dari si kambing, hahaha.

Note : makasih untuk koreksi typo dan lainnyan

Rumah, 22/19/02

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top