Abstrak 11 - Kembali Patah
Saat membuka mata yang pertama kali Shaun lihat ada sebuah lengan putih milik Rinka yang bertengger manis di perutnya. Shaun tidak akan lupa apa yang ia dan wanita itu lakukan sepanjang malam. Segunung rasa bersalah menumpuk di hatinya. Hal pertama yang dipikirkannya ketika bangun pagi ini adalah Diandra.
Entah bagaimana reaksi gadis itu jika tahu Shaun sudah mencuranginya. Tapi Shaun bisa apa. Dia bukan orang suci. Dia bukan malaikat yang tak mempan pada godaan duniawi yang dihadirkan Rinka. Hingga akhirnya mereka kembali berkubang dalam dosa.
Persetan dengan dosa! Bahkan sejak dulu ia sudah hidup dengan dosa yang menumpuk. Apa lagi yang perlu dilakukannya dalam hidup? Menebus dosa? Bahkah Shaun tak ingat kapan terkahir kali ia mengingat Tuhan. Dan mana mungkin hanya karena seorang gadis seperti Diandra, ia lantas berubah menjadi ornag suci tanpa tumpukan dosa.
“Pagi?” suara serak milik Rinka membuyarkan lamunan Shaun.
Pria itu lantas bangkit. Mencari sesuatu yang bisa ia pakai untuk menutupi ketelanjangannya. Rinka sendiri hanya bisa memerhatikan Shaun dengan posisi berbaring menyamping. Wanita itu tak bisa menutupi kekagumannya. Meski sudah berumur matang, pesona Shaun tak pernah luntur di matanya. Malah kematangan pria itu terlihat berkali lipat lebih seksi baginya. Dengan tubuh tinggi yang tetap terjaga bentuknya. Perempuan mana yang tak akan terjerat pada pesona pria itu.
“Buatkan aku sarapan ya?” pinta Rinka dengan suara manja.
Shaun hanya menggumam. Kemudian menghilang di balik pintu kamar mandi. Rinka sendiri juga akhirnya bangun. Wanita itu mengenakan kemeja Shaun kemarin malam untuk menutupi tubuhnya. Sembari menunggu Shaun keluar dari kamar mandi, ia mengutak-atik ponselnya. Hingga tak lama Shaun yang sudah segar keluar hanya dengan handuk yang melingkar di pinggulnya. Jika saja tak mengingat bahwa pria itu harus bekerja, Rinka sudah pasti akan menggoda Shaun dan menghabiskan waktu berdua dengan pria itu seharian. Tapi ia sangat tahu, Shaun tak akan pernah mau mengabaikan pekerjaannya hanya demi kesenangan keduanya.
Setelah memilih berpakaian, Shaun keluar dari kamarnya untuk membuatkan sarapan sementara Rinka sedang membersihkan diri di kamar mandi. Pria itu hanya menyiapkan sandwich dan kopi. Ia bergegas menyantap sarapannya tanpa menunggu kehadiran Rinka.
“Hanya ini?” tanya Rinka ketika wanita itu sudah bergabung dengan Shaun di meja makan.
“Hm. Aku harus ke kantor.”
Rinka hanya bergumam pelan. Kemudian mulai menikmati sarapan sederhana yang disiapkan Shaun. Selama makan, mata wanita itu tak lepas dari melirik Shaun yang tampak gagah dengan kemeja kerjanya.
“Kamu bekerja di mana? Masih di perusahaan yang lama?” tanya Rinka yang tak ingin mereka hanya diam saja.
“Hm.”
“Kenapa daritadi jawaban kamu cuma gumaman doang?”
“Sudah selesai kan sarapannya? Aku harus segera ke kantor.”
Shaun berdiri lebih dulu. Membawa peralatan bekas makannya ke wastafel. Tentu saja sikap Shaun yang pagi ini begitu berbeda memberikan tanda tanya besar di kepala Rinka. Tapi wanita itu tak ingin berdebat dengan Shaun sekarang. Dan menghancurkan pagi pria itu dengan suasana hati yang buruk.
“Nanti malam kita bisa ketemu lagi kan?” Rinka bertanya saat keduanya sudah berada di basement parkiran apartemen.
“Sepertinya tidak.”
“Kenapa?” dahi Rinka mengernyit mendengar jawaban Shaun.
“Mungkin hari ini aku lembur di kantor.”
“Oke. See you soon!”
Rinka mengecup cepat bibir Shaun hingga pria itu tak sempat menghindar. Wanita itu kemudian masuk ke mobilnya dan berlalu pergi meninggalkan Shaun yang masih terpaku di tempatnya berdiri.
Shaun mengusap kasar wajahnya. Hatinya bergemuruh tak tenang. Tak pernah ia merasa seperti ini. Selama ini ia bebas melakukan apapun yang diinginkannya. Tanpa perlu memikirkan ada hati yang harus terluka karena ulahnya. Tapi jika ia mengingat Diandra, hatinya menjadi tak tenang. Entah ia bisa berhadapan dengan gadis itu atau tidak nanti.
Begitu tiba di kantor, Shaun mulai menyibukkan dirinya. Ia bekerja seharian di ruangannya. Bahkan melewatkan jam makan siang karena tak ingin bertemu muka dengan Diandra. Ia belum siap jika harus melihat wajah gadis itu. Wajah semringah yang pasti akan membuat rasa bersalahnya semakin menjadi.
Hingga jam kerja usai, Shaun masih bertahan di ruangannya. Sampai waktu menunjukkan pukul delapan malam, barulah pria itu mengakhiri pekerjaannya. Suasana kantor yang sepi menyambutnya kala Shaun keluar dari ruang kerjanya. Pria itu kemudian bergegas kembali ke apartemennya. Tak menghiraukan pesan atau telepon dari sahabat yang mengajaknya berkumpul. Ia hanya ingin segera tiba di apartemen dan tidur.
Namun alangkah terkejutnya Shaun kala ia baru tiba di unitnya. Seseorang yang sangat ia kenali sedang duduk di lantai di samping pintu apartemennya. Gadis yang seharian ini dihindarinya. Membuat pria itu terpaku sejenak. Kemudian meneruskan langkahnya mendekati Diandra.
Mendengar bunyi sepatu beradu dengan lantai, Diandra langsung menengadah. Ia tersenyum saat melihat siapa yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Senyum tulus yang membuat sudut hati Shaun serasa dihantam palu raksasa.
Akal sehat Shaun berteriak memakinya. Mengutuk pria itu mengapa bisa berlaku kejam terhadap gadis polos seperti Diandra. Mempermainkan kepercayaan gadis naif itu.
“Kenapa di sini?” tanya Shaun dengan nada datar.
Bukannya merasa tersinggung, Diandra kembali menyunggingkan senyum manisnya. Gadis itu berdiri dari duduknya dengan menenteng satu plastik berisi makanan di tangan kanannya. Dengan ceria menunjukkan apa yang ia bawa pada Shaun.
“Ayo makan sama-sama!” ujar Diandra ceria. Wajahnya tak lepas dari senyuman. Membuat Shaun makin dilanda rasa bersalah.
“Diandra, ini sudah malam. Mengapa kamu ada di sini?” Shaun kembali bertanya. Tak menjawab pertanyaan gadis itu.
“Seharian kita nggak ketemu. Aku rindu. Karena itu aku datang ke sini.”
Jangan salahkan Diandra. Karena seperti inilah gadis itu mencinta. Ia tak akan pernah segan menyerahkan segenap hatinya pada pria yang dicintainya. Cara mencintai paling tolol menurut Maria. Tapi tidak bagi Diandra yang memang hidupnya selalu dihujani dengan cinta dan kasih sayang orang-orang terdekatnya.
Bagaimana hidup gadis itu jelas berbeda dengan Shaun. Pria itu terbiasa hidup sesukanya. Bahkan saat masih remaja. Kedua orang tua yang terlalu sibuk seolah menjadi pembenaran bagi Shaun untuk hidup sesuai kemauannya. Mengizinkan seseorang seperti Diandra masuk ke dalam hidupnya jelas menjadi sesuatu yang baru bagi Shaun.
“Pulanglah Diandra. Orang tuamu pasti khawatir padamu.”
Bukan itu yang diinginkan Diandra sebagai jawaban. Ia ingin Shaun menyambutnya dengan bahagia. Sama bahagianya dengan gadis itu ketika memutuskan untuk mendatangi kediaman Shaun. Tapi sepertinya harapan itu tak akan menjadi kenyataan.
Baru sehari Diandra merasakan kebahagiaan kala Shaun bersedia menerima dirinya. Tapi hari ini semua itu sirna. Gadis itu bisa melihat ada keengganan dalam diri Shaun akan keberadaannya. Padahal Diandra sudah meluangkan waktu untuk pria itu. Tapi mengapa jawaban Shaun tak membuatnya bahagia. Diandra merasa pria itu menyesali keputusannya.
Tentu, mana mungkin pria dewasa seperti Shaun berniat serius pada gadis kecil sepertinya. Harusnya Diandra sadar itu.
Diandra menatap Shaun dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tatapan yang tak sanggup dierima Shaun hingga pria itu memalingkan wajahnya.
“Ini, mungkin kamu belum makan malam.”
Gadis itu menyerahkan bungkusan yang tadi dibawanya ke tangan Shaun. Tanpa mengatakan apapun lagi, Diandra beranjak pergi. Dengan kepala tertunduk menyembunyikan airmatanya yang mulai menetes. Dadanya sesak menahan sakit karena sambutan Shaun tak seperti yang ia bayangkan. Sambil mempercepat langkahnya, Diandra mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya. Hingga gadis itu sampai di depan lobi apartemen. Dan menghentikan sembarang taksi yang melintas untuk segera pergi dari tempat itu.
...
Shaun menatap nanar bungkusan yang tadi diserahkan Diandra yang ia letakkkan di atas meja makan. Pria itu menyandarkan punggungnya ke kursi. Menghela napas yang sejak tadi terasa sesak perlahan-lahan.
Ia tahu sikapnya begitu kejam pada Diandra. Tapi rasa bersalah karena mengkhianati gadis itu masih bertumpuk di dadanya. Ia belum sanggup berhadapan dengan Diandra. Atau bahkan ia tak sanggup berhadapan dengan gadis itu.
Meski ia bisa saja tak perlu mengatakan pada Diandra apa yang telah ia lakukan bersama Rinka. Tapi rasa bersalah itu akan selalu membayangi. Satu sisi ia begitu ingin bersama gadis itu. Tapi di sisi lain, ia pun belum bisa sepenuhnya menghilangkan kebiasaan yang sudah bertahun-tahun menjadi bagian hidupnya.
Kembali wajah sendu Diandra terbayang di benak Shaun. Pria itu ingin menghajar dirinya sendiri karena sudah menjadi sumber kesedihan gadis tak berdosa itu. Tapi lagi-lagi Shaun tak tahu apa yang harus dilakukannya. Mengusir mundur Diandra? Secepat itu ia berhasil mematahkan hati gadis malang itu.
Pria itu akhirnya memilih untuk menyantap makanan yang diberikan Diandra. Tak ingin menjadi lebih brengsek dengan membuang makanan yang sudah diberikan untuknya. Malam itu Shaun tidur dengan gelisah karena rasa bersalah.
Sementara Diandra sendiri juga tak bisa tidur di kamarnya. Sepanjang malam ia terus terjaga. Mencoba berpikir apa yang sudah terjadi pada dirinya dan Shaun. Tapi berkali-kalipun berpikir, Diandra tidak menemukan di mana salahnya. Apa yang membuat Shaun memperlakukannya seperti itu. Mengabaikan dan mengusir dirinya secara halus. Diandra tak menemukan jawabannya.
Maka pagi itu, dengan kenekatan yang ia miliki, Diandra sudah berada di depan pintu apartemen Shaun. Memencet bel pria itu dengan sengaja. Hinga wajah lusuh Shaun yang dipaksa bangun terpampang di hadapannya. Sejenak Diandra terpaku. Tapi gadis itu segera menyingkirkan wajah terkejutnya. Tanpa izin gadis itu langsung mendorong Shaun yang tak siap dan menutup rapat pintu.
“Katakan salahku apa?” tuntut Diandra sementara Shaun berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Diandra? Apa yang kamu lakukan pagi-pagi di sini?” tanya Shaun tak kalah terkejut.
“Aku salah apa sampai kemarin harus diusir?” Diandra tetap menuntut tanya.
Shaun menghela napas gusar. Tak menyangka akan mendapatkan serangan pagi seperti ini. Memang ia tak bisa meremehkan seorang Diandra. Gadis itu selalu punya cara nekat yang tak akan pernah terpikirkan oleh Shaun untuk mendesaknya.
“Tunggu di sini, saya membersihkan diri dulu.”
Pria itu masuk kembali ke kamarnya. Meninggalkan Diandra seorang diri di ruang tamu apartemennya. Tapi bukannya menunggu, Diandra malah menuju dapur. Gadis itu mulai membongkar isi kulkas Shaun. Mencoba mencari bahan apa yang bisa ia gunakan untuk membuat sarapan.
Meski bukan ahlinya, tapi Diandra bisa memasak. Terlebih hanya masakan sederhana berupa nasi goreng untuk sarapan. Sebelum pria itu keluar dari kamarnya dengan rapi, dua piring nasi goreng dan dua gelas kopi sudah tersedia di meja makannya. Membuat Shaun terpaku kala menghampiri gadis itu di meja makan.
“Kamu yang masak?”
Pertanyaan Shaun mendapat jawaban berupa tatapan mata jengkel dari Diandra. Memangnya siapa lagi yang memasak jika bukan gadis itu. Mana mungkin gadis itu repot-repot memesan makanan di pagi seperti ini dari jasa pesan antar.
“Makan dulu. Keburu nasi gorengnya dingin,” ajak Diandra.
Shaun tak menolak. Pria itu duduk di kursinya. Kemudian mulai menikmati sarapan buatan Diandra. Shaun akui gadis itu pintar memasak. Nasi goreng masakan Diandra sesuai dengan seleranya. Terlebih kopi buatan Diandra sesuai takaran. Padahal pria itu tak pernah meminta dibuatkan kopi oleh Diandra. Selama sarapan, keduanya kerap mencuri pandang satu sama lain.
Hingga sarapan berakhir dan Diandra berniat mencuci piring bekas makan mereka. Namun Shaun melarangnya. Karena jelas mereka tak punya banyak waktu. Selain harus ke kantor, mereka juga harus bicara.
“Diandra...”
“Jawab pertanyaanku tadi. Apa salahku sampai kemarin malam aku diusir.” Diandra memotong ucapan Shaun.
“Maaf,” pinta Shaun dengan kepala menunduk. Mereka kini duduk berhadapan di sofa ruang tamu.
“Bukan maaf yang aku butuh. Alasan kenapa aku diusir. Itu yang aku butuhkan.”
Shaun sempat terperanjat. Gadis yang ia kenal lembut ini bisa berucap tegas seperti tadi. Membuat Shaun kembali takjub akan sisi lain dalam diri Diandra. Tapi lebih dari itu, apa yang akan ia sampaikan nanti, jelas akan menjadi ledakan bom bagi gadis itu.
Semalaman Shaun sudah memikirkannya. Ia akan jujur pada Diandra. Tak ada gunanya ia menutupi semua. Jika memang gadis itu ingin pergi darinya, mungkin memang itu yang terbaik bagi mereka. Meskipun Shaun tetap berharap Diandra akan bertahan. Meski kecil kemungkinannya saat gadis itu tahu kenyataannya.
“Diandra, apa yang nanti akan saya sampaikan, mungkin akan membuat kamu kembali berpikir apakah pria seperti saya pantas untuk kamu.”
Diandra mengernyit, belum mengerti dengan arah pembicaraan Shaun. “Maksudnya?”
“Setelah saya mengatakan ini, mungkin kamu boleh memaki dan pergi dari saya.”
“Mengatakan apa?” tanya Diandra perlahan. Hatinya mulai tak tenang kala Shaun bersuara dengan nada serius.
“Saya mengkhianati kepercayaan kamu.”
“Hah?”
“Saya tidur dengan wanita lain.”
Diandra terpaku. Matanya mengerjap berulang kala menatap Shaun. Pria itu bahkan sama sekali tak memalingkan wajah dari tatapannya. Seolah membuktikan kebenaran dari ucapannya barusan.
“Kapan?” suara Diandra terasa jauh. Ia sendiri berusaha untuk menenangkan jantungnya yang bergemuruh.
“Tepat setelah saya mengantarkan kamu pulang.”
“Siapa?”
Diandra tahu dia gila. Bisa-bisanya ia bertanya siapa wanita yang tidur dengan Shaun. Padahal dikatakan pun ia tak mungkin mengenal wanita itu. Satu dari sekian banyak wanita yang berhubungan dengan Shaun dan menghangatkan ranjangnya.
“Namanya Rinka. Dia salah seorang wanita yang pernah menghabiskan banyak waktu dengan saya saat masih tinggal di luar.”
Tiba-tiba Diandra berdiri. Shaun pun ikut berdiri dan berusaha mendekat padanya. Namun tangan Diandra mengisyaratkan agar pria itu tetap di tempatnya.
“A... kayaknya aku harus ke kantor. Nanti terlambat.”
Pikiran gadis itu entah berada di mana. Tapi Diandra mampu menggerakkan tubuhnya. Memasang sepatunya dengan tergesa. Dan meninggalkan Shaun yang kembali terduduk di tempatnya. Pria itu mengerang kesal pada dirinya. Tidak seharusnya ia menyakiti Diandra. Dan harusnya ia mengejar gadis itu. Tak membiarkan Diandra yang tengah kalut pergi begitu saja.
Tapi melihat bagaimana terpukulnya wajah Diandra tadi, keberanian Shaun menguap. Pria itu merasa tak pantas untuk mengejar gadis itu. Yang ia lakukan saat ini hanya duduk sembari mengutuki kebodohannya. Dan berharap Diandra akan baik-baik saja meski saat ini hatinya mungkin tengah berdarah-darah.
...
Note : yeay... mulai bisa ngetik lagi. Tapi ya begitu, modenya lambat. Jadi update-an juga molor. Harap maklum ya. yang mau menghujat si om shaun the sheep dipersilakan dengan segala hormat. Hahahahah
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.
Rumah, 20/19/02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top