Abstrak 10 - Backstreet
Makanan malam sederhana sudah terhidang di meja makan. Hanya tersedia nasi, tumis sayuran dan ayam goreng. Namun begitu saja sudah membangkitkan selera makan Diandra. Terlebih semua makanan itu adalah hasil olahan tangan Shaun. Membuat gadis itu tak bisa menahan senyumnya sejak tadi.
Shaun sendiri hanya menggelengk kecil. Ia tahu sejak tadi Diandra tak henti tersenyum. Entah itu karena Shaun yang mulai menerimanya. Atau karena pria itu mau memasak untuknya.
Selama proses memasak Shaun terus berpikir, inikah jalan terbaik bagi mereka. Jujur, Shaun lelah harus terus berbohong pada hatinya. Ia juga tak munafik bahwa ia tertarik pada Diandra. Terlebih pada kegigihan gadis itu dalam menunjukkan perasaannya. Membuatnya lelah untuk menghindar. Dan akhirnya ia sampai pada satu kesimpulannya sendiri.
“Masakan kamu enak.”
Shaun berhenti menyuap. Pria itu meletakkan sendok dan garpu di piringnya. Kemudian menatap tajam ke arah Diandra.
“Kamu?” tanya Shaun.
Diandra berhenti mengunyah. Gadis itu melakukan hal yang sama dengan Shaun. Meletakkan peralatan makannya di piring. Sebelum menjawab.
“Iya. Kamu. Memangnya kenapa?”
“Saya itu atasan kamu, Diandra. Dan saya jelas lebih tua dari kamu.”
Diandra berdecak kesal. “Kamu... atasan saya kalau di kantor.”
Diandra bosan dengan Shaun yang terus mengingatkan tentang perbedaan umur mereka. Tanpa perlu dikatakan berulang-ulang ia juga tahu bahwa Shaun jauh lebih tua darinya. Tapi ia tak peduli. Baginya Shaun adalah pria yang dicintainya. Dan Diandra tak akan menyertakan embel-embel ‘Bapak’ jika mereka berada di luar kantor. Terlebih dengan penerimaan Shaun saat ini padanya. Bukankah ia boleh berharap jika Shaun sudah melunak padanya.
“Habiskan makanan kamu.”
Shaun menyerah. Ia kembali fokus pada makanannya. Begitu juga Diandra. Ketika mereka sudah menyelesaikan makan malamnya, gadis itu berinisiatif untuk mencuci peralatan makan mereka. Sebagai ucapan terima kasih karena Shaun sudah mengizinkannya makan malam. Setelahnya ia menyusul Shaun yang sudah berada di ruang televisi.
Rasanya ia ingin melonjak kegirangan ketika mendapati Shaun yang sudah duduk dengan tenang di sofa ruang tv. Pelan-pelan Diandra mendekat dan duduk di samping pria itu. Namun Shaun sama sekali tak menggubris kehadirannya. Seolah Diandra makhluk tak kasat mata. Membuat gadis itu mencebikkan bibir karena Shaun lebih perhatian pada tayangan tv dibandingkan dirinya.
“Aku mau pulang!” ucap Diandra tiba-tiba. Namun tak ada reaksi apapun dari Shaun.
Gadis itu pun kembali mengerang kesal. Ia berdiri tergesa dan berniat pergi. Tetapi gerakan tangan Shaun lebih cepat menahan Diandra. Hingga gadis itu kembali duduk di sofa.
“Nanti saya antar.”
Jelas bukan jawaban santai seperti itu yang ingin didengar Diandra. Ia ingin mendengar Shaun membahas tentang hubungan mereka sekarang. Jika pria itu berniat mempermainkannya, Diandra bersumpah ia akan membuat Shaun menyesal. Entah bagaimana caranya.
Beberapa saat Diandra memilih duduk diam di samping Shaun. Tapi kesabaran gadis itu tak sebanyak yang dimiliki Shaun. Tanpa peringatan Diandra lantas mengambil remote dari meja kopi di depan mereka dan mematikan tv. Hingga Shaun kini mengalihkan tatapan padanya.
“Kita ini apa sekarang?”
Katakan Diandra gadis tak tahu malu. Tapi ia tak akan menarik kembali semua yang sudah ia ucapkan. Sebut ia gadis nekat dan tolol. Tapi hal itu tak akan pernah memundurkan langkahnya untuk mendapatkan kepastian dari Shaun.
“Kamu tahu keadaan kita seperti apa. Lantas apa yang kamu inginkan?” Shaun balas bertanya. Membuat Diandra mengernyit bingung.
“Aku... aku mau kita pacaran. Seperti orang lain yang saling jatuh cinta. Memangnya salah?”
Shaun tersenyum saat melihat kegugupan Diandra mengungkapkan keinginannya.
“Pacaran? Hubungan seperti itu tidak cocok untuk saya, Diandra. Kamu pasti tahu seperti apa hubungan saya dengan perempuan selama ini. Apa kamu mau menjadi salah satu dari mereka?”
Spontan Diandra menggelengkan kepalanya. Yang benar saja. Menjadi salah satu wanita yang menghangatkan ranjang Shaun, Diandra tak akan pernah sudi. Ia ingin Shaun dan dirinya menjalin hubungan romansa yang bersih. Bukan hanya demi kepuasan hasrat semata. Jikapun mereka akan melakukannya, Diandra ingin itu dilakukan dalam ikatan yang sakral.
Tapi Diandra juga sadar. Mana mungkin Shaun yang terbiasa hidup bebas mau terikat dalam hubungan konyol bernama pacaran dengannya. Shaun benar, hubungan bernama pacaran tak pantas untuk seorang Shaun. Dan kenyataan tersebut jelas menampar Diandra.
Gadis itu menarik kedua lututnya ke atas sofa. Kemudian membenamkan wajah dikedua lutut. Menyembunyikan airmatanya yang perlahan mengalir. Diandra benar-benar merasa kalah dengan kenyataan yang menamparnya. Tak yakin mampukah ia mewujudkan rasa cintanya.
Shaun bukannya tak tahu gadis itu sedang menangis. Perlahan pria itu mengelus puncak kepala Diandra. Ada rasa bangga dalam dirinya karena rasa cinta yang ditunjukkan Diandra benar-benar tulus untuknya. Pria itu langsung menarik Diandra ke dalam pelukannya. Membuat gadis itu langsung mengeratkan lengannya ke tubuh Shaun. Terisak di dada pria itu.
“Apa yang harus saya lakukan sama kamu, Diandra?” desah Shaun dengan nada lelah.
Diandra tetap bergeming dalam tangisnya. Hingga Shaun mengurai pelukan mereka. Pria itu menghapus jejak airmata di wajah Diandra.
“Kamu, perempuan muda yang benar-benar nekat. Kamu benar-benar bikin saya pusing tapi juga merasa tersanjung karena bisa dicintai perempuan muda seperti kamu. Semakin saya mendorong kamu menjauh, kamu malah bersemangat mendobrak tembok itu. Saat saya sendiri bingung apa yang harus saya lakukan, kamu malah menawarkan hubungan itu pada saya. Kamu sadar itu berat, Diandra?” tanya Shaun. Napas hangatnya menerpa wajah Diandra.
“Aku nggak peduli. Aku cuma mau kamu, bukan yang lain.”
“Kamu yakin?”
Diandra mengangguk pasti. “Kalau kita nggak bisa menunjukkan hubungan kita sama semua orang, kita bisa merahasiakannya.”
“Backstreet?” tanya Shaun. Kembali Diandra mengangguk.
“Iya. Kita bisa backstreet. Nggak perlu ada yang tahu. Cukup kita.”
Tawa Shaun menggema kala Diandra mengajukan penawaran tersebut. Sungguh tak ia duga jika Diandra akan menyarankan hal tak masuk akal seperti hubungan backstreet padanya. Bahkan itu lebih dulu daripada mereka berhubungan diketahui oleh orang lain. Backctreet, terdengar lebih remaja daripada ajakan berpacaran Diandra tadi.
“Jangan tertawa. Itu solusi terbaik saat ini,” omel Diandra karena Shaun menertawakan idenya.
“Memangnya apa yang bisa kita dapatkan dari hubungan backstreet?” tanya Shaun akhirnya.
“I got you!” ucap Diandra dengan berani. Kali ini gadis itu melingkarkan lengannya ke leher Shaun.
Alis Shaun terangkat sebelah. Takjub akan keberanian Diandra. Terlebih saat gadis nakal itu dengan berani mencuri kecupan di bibir Shaun. Membuat pria itu kehilangan kata-kata untuk menggambarkan kepribadian Diandra saat ini. Seolah Diandra si anak manis lenyap entah ke mana. Dan digantikan oleh sesosok gadis berani yang kini duduk di pangkuannya.
“Jadi, kamu ingin kita menjalani hubungan backstreet?” tanya Shaun sekali lagi.
Diandra mengangguk. “Ya. Tapi aku mau kamu, hanya berhubungan sama aku. Enggak ada perempuan lain.”
“Itu sama sekali tidak menguntungkan buat saya, kamu tahu itu.”
“Please...” mohon Diandra dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Jika sudah begitu, mana mungkin Shaun tega menolak gadis itu.
“You got me, lilttle girl!” desah Shaun sambil mencium Diandra.
Gadis itu bersorak dalam hati. Membalas ciuman Shaun tak kalah bersemangat. Bahkan ia hampir kehilangan kendali saat Shaun memperdalam ciuman mereka. Untunglah akal sehat mengambil alih kesadaran Shaun. Alih-alih membaringkan gadis itu di sofa, ia malah melepas ciuman mereka. Membuat Diandra merasa kehilangan tapi juga lega karena mereka tak sampai melewati batas.
“Lebih baik sekarang saya antar kamu pulang sebelum kita melakukan hal yang lebih lagi.”
Shaun berdiri lebih dulu. Lalu mengulurkan tangannya yang disambut cepat oleh Diandra. Pria itu merapikan tatanan rambut Diandra yang terlihat berantakan. Kemudian mengambil tas gadis itu di sofa lainnya. Diandra sendiri memilih mengikuti perintah Shaun. Tapi sepanjang jalan, ia tak henti tersenyum. Karena akhirnya berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya.
...
Shaun meneguk anggurnya. Setelah mengantarkan Diandra kembali ke rumahnya, pria itu memilih untuk berkumpul dengan sahabatnya di kelab yang biasa mereka datangi. Meski malam belum terlalu larut, namun tempat tersebut sudah dipenuhi para pengunjung yang mencari kesenangan dari dunia malam. Dan Shaun salah satunya.
Pria itu kembali memikirkan apa yang terjadi antara dirinya dan Diandra tadi. Masih tak percaya ia akhirnya meluluskan keinginan gadis itu untuk menjalani hubungan rahasia. Hanya mereka yang tahu. Tapi ia juga tak bisa menampik bahwa dirinya pun senang dengan apa yang ia dan Diandra akan jalani nanti. Gadis itu seperti candu. Meski Shaun tahu tak akan bisa menikmati apa yang biasa ia dan para wanitanya lakukan. Tapi berciuman dengan Diandra saja sudah membuatnya begitu puas. Meski tak dipungkiri ada hasrat dalam dirinya yang meminta lebih. Tapi ia cukup tahu diri untuk tak melampiaskannya. Gadis itu masih terlalu polos untuk diajari hubungan seperti apa yang Shaun mau.
“Hei, sudah lama menunggu?” tanya Adrian yang baru tiba menyapa Shaun dan Jeremy. Kedua pria itu hanya balas mengangguk.
“Kenapa telat?” tanya Jeremy.
“Biasa. Ada makan malam keluarga,” jelas Adrian. Pria itu kemudian melambaikan tangan pada sang bartender. Memesan satu minuman yang biasa ia konsumsi. “Tadi ketemu sama Erina. Dan dia bilang kalau Shaun, sedang mengencani gadis kecil. Apa itu benar?”
Mata Jeremy membulat. Ia menoleh ke arah Shaun yang terlihat santai dengan minumannya. “Serius? Gadis kecil? Semuda apa?” desak Jeremy.
Namun lagi-lagi Shaun memilih diam. Membuat kedua sahabatnya itu semakin penasaran. Tapi mereka juga tak ingin memaksa Shaun bercerita. Mereka cukup tahu batasan masing-masing. Jika memang perlu bercerita, tanpa diminta, Shaun pun pasti akan mengatakannya pada mereka.
Malam makin larut membuat ketiga pria itu juga makin larut dengan kesenangan mereka. Tapi ketiganya tetap bertahan di tempatnya. Dan hanya menikmati minumannnya tanpa berniat bersenang-senang dengan hal lainnya. Jeremy yang biasanya gencar berburu wanita pun tampak tak ingin mencari mangsa malam itu. Hingga ketiganya memilih mengakhiri kebersamaan mereka dan kembali ke kediaman masing-masing.
Baru saja tiba di apartemennya, Shaun dikejutkan dengan kedatangan perempuan lainnya. Jika sore tadi ada Erina, kali ini ada Rinka. Perempuan yang sempat menjadi teman berbagi kesenangan dengan Shaun saat pria itu masih tinggal di luar negeri.
Senyum Rinka mengembang kala Shaun memaku pandangan padanya. Tanpa ragu wanita itu berjalan cepat ke arah Shaun. Dan tanpa aba-aba langsung mencium Shaun. Membuat pria itu terkesiap dan melepaskan diri dengan hati-hati agar tak menyinggung perasaan Rinka.
“Aku kangen kamu!” ucap Rinka saat Shaun agak menjauhkan tubuh mereka berdua.
“Kapan kamu pulang?” tanya Shaun bingung. “Dan darimana kamu tahu aku tinggal di sini?”
“Bukan hal sulit mencari tahu tempat tinggal kamu.” Rinka menjawab santai. “Enggak mau mengizinkanku masuk? Sampai kapan kita di sini?” tanya Rinka kemudian.
Shaun menghela napas pelan. Namun kemudian membuka pintu apartemennya. Membiarkan Rinka melangkah ringan memasuki tempat tinggalnya. Sejenak Rinka meneliti sekeliling ruangan. Sampai wanita itu menggeleng puas akan penataan ruangan tersebut yang terkesan rapi untuk seorang pria single tinggali.
“Kapan kamu kembali?” pertanyaan Shaun membuyarkan konsentrasi Rinka.
“Seminggu lalu.”
“Bagaimana dengan suami kamu?” tanya Shaun kemudian.
Meski sudah bertahun tak saling bertemu, tapi Shaun tahu jika Rinka menikah dengan seorang pria berkebangsaan Amerika tepat sebelum pria itu memutuskan kembali ke Indonesia. Itu pula yang menjadi alasan bagi mereka untuk mengakhiri hubungan friend with benefit yang selama ini mereka lakukan.
“Aku sudah bercerai.”
“Kapan?” ada nada terkejut dalam suara Shaun.
“Setahun lalu.”
Begitu mudah Rinka menjawab seolah perceraiannya bukanlah hal yang besar. Padahal bagi Shaun, perceraian itu sebuah bencana. Itulah titik awal di mana ia tak lagi percaya pada komitmen dan memilih untuk menjalani hidupnya seperti selama ini. Bebas dan tanpa beban.
Jujur Shaun akui, dari banyaknya wanita yang menjalin hubungan dengannya, Rinka adalah salah satu perempuan yang bertahan cukup lama dengannya. Selain itu, Rinka adalah pribadi yang mampu mengimbangi Shaun dengan segala kebutuhannya. Karena itu, saat Rinka memutuskan menikah, ada sedikit kesedihan yang Shaun rasakan karena akan kehilangan partner terbaiknya.
Tapi saat ini, wanita itu ada di hadapannya. Ada di depan matanya. Dan dengan status yang sama-sama bebas sepertinya. Shaun tak yakin mampu menahan godaan yang mungkin ditawarkan Rinka. Rinka yang tiba-tiba muncul di depannya jelas memberi pertanda bahwa wanita itu pun mungkin menginginkan Shaun kembali dalam hidupnya. Menjalin hubungan yang sama seperti dulu. shaun tak yakin ia akan bisa menahan godaan sebesar itu.
Diandra!
Tiba-tiba satu nama itu menyentak Shaun dengan segala pikirannya. Bagaimana mungkin ia lupa bahwa ia sudah memiliki hubungan dengan gadis itu. Meski mereka harus merahasiakannya. Tapi gadis itu sudah berjuang dengan segenap hatinya untuk mendapatkan Shaun. Terlebih pria itu sendiri yang sudah menerima Diandra. Tegakah ia mengkhianati kepercayaan dari gadis itu?
“Shaun...” Rinka sudah berdiri di hadapannya. Membuat Shaun sedikit teralihkan dari pikirannya akan Diandra. “Bisakah kita kembali seperti dulu?”
Sudah Shaun duga, Rinka tak akan datang tanpa tujuan mencarinya. Pria itu gamang. Terlebih saat Rinka mulai mengalungkan lengannya pada leher Shaun. Wanita itu perlahan menciumnya. Ciuman yang sama rasanya dengan terakhir kali mereka lakukan. Ciuman yang selalu mampu membuai Shaun dan membakar pria itu. Tak butuh waktu lama bagi Rinka untuk membuyarkan segala akal sehat yang dimiliki Shaun. Karena detik berikutnya mereka sama-sama terbakar gairah.
Persetan dengan janji! Nyatanya Shaun belum bisa menahan godaan sebesar ini. Ia masih menjadi pria brengsek yang tak mampu berkomitmen. Tak mampu menahan diri dari godaan wanita. Tak peduli apa yang akan terjadi esok. Yang ada di pikiran kedua makhluk yang makin lama makin bergerak intens itu hanya ada hari ini. Kenikmatan mereka saat ini. Yang membawa tubuh keduanya berakhir di ranjang empuk. Siap terbakar gairah sepanjang malam.
...
Note : cut! Hahahha tolong jangan hujat aku karena ini. tolong jangan minta sesuatu yang panas membakar karena kalian teman pembaca lama pasti tahu gimana ceteknya aku untuk nulis yg anu-anu, wkwkwk. Kalau mau yang panas begitu, duduk aja di atas kompor sambil pegang hape dan baca cerita ini. di jamin PANAS hahhaha.
Dan kumohon, jangan hujat aku karena om shaun the sheep. karena kebrengsekannya. Kutahu dia brengsek. Dan dia mungkin tokoh laki paling brengsek yang pernah kuciptakan. Tapi mana mungkin dia bisa berubah sekilat itu kan hanya karena Diandra. Ada proses yang harus dilalui semua orang yang ingin berubah. gak bisa instan. Yang bisa instan itu rasa pedas kalau makan cabe, wkwkwk
Ps : makasih untuk koreksi typo dan lainnya
Rumah, 15/19/02
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top