Bartender

Suara air yang beradu dengan gelas kaca terdengar begitu khas di ruangan bercahayakan lampu remang-remang. Lagu jazz yang menenangkan, membuat orang semakin nyaman berada di dalam sana. Terlebih lagi Perancis yang saat ini tengah diguyur hujan, membawa keinginan untuk mendapat kenikmatan daru apa yang disuguhkan oleh Bartender di balik meja dengan botol-botol yang berjejer rapih di atas rak.

Pria jangkung berbalut kemeja abu dengan lengan sesiku, serta rompi dan celana panjang hitam tengah sibuk mengelap salah satu gelas saat suara lonceng pintu terdengar. Ia baru saja selesai menyuguhkan minuman pada pengunjung yang datang setengah jam lalu, dan pengunjung lain sudah datang lagi.

Sepertinya banyak orang yang butuh penenang hari ini.

"Bagaimana hari Anda, Tuan?" tanya pria itu berbasa-basi. Walau mata hijau terangnya dapat dengan jelas melihat wajah frustrasi dan depresi si pengunjung langganan tersebut.

Tak ada jawaban. Lelaki yang terlihat lebih muda dari dirinya itu hanya menatap kosong ke atas meja penyajian. Seperti tengah memperhatikan alur kayu dari meja bar tersebut.

"Berikan aku minuman," kata si pemuda tiba-tiba. "Berikan aku minuman. Cepat!" Si pemuda berseru penuh emosi.

"Anda ingin minum apa, Tuan?"

"Apa sajalah, terserah kau! Yang penting cepatlah! Aku benar-benar lelah!"

Dengan sigap, sang pramutama bar menyiapkan sebuah rock glass ke atas meja, lantas menyambar botol kaca berwarna hijau dari rak, dan meletakkannya di samping gelas tadi.

Selagi pria bersurai coklat dengan gaya Man bun itu membuka tutup yang menyegel minuman, ia bertanya, "Apa ada sesuatu yang terjadi, Tuan? Anda terlihat kesal sekaligus frustasi."

Poni hitam legam berbelah samping itu jatuh menutupi mata, kala si pemuda melirik sedikit ke atas. Dilihatnya sang penanya yang kini dengan perlahan menuang isi dari botol hijau ke dalam gelas hingga mengisi seperempatnya.

"Aku membenci hidup ini."

Perkataan si pemuda membuat uap air panas yang tertuang di atas sendok berlubang berisi gula balok berhenti menguar. Pria berjanggut cambang tipis itu berhenti beberapa detik ketika mendengar jawaban tersebut.

"Apa yang membuat Anda membenci hidup Anda sendiri? Bukankah tidak baik jika Anda tidak mensyukuri hidup Tuan?" tanyanya.

Si pemuda mendengus dengan senyum pahitnya. "Untuk apa aku mensyukuri hidup sialan ini?!" serunya kesal. "Keluargaku hancur. Ibu dan Ayahku selalu membuat kericuhan di rumah. Membuat aku dan adik perempuanku tidak pernah bisa tenang di tempat yang bahkan aku ragu bisa disebut rumah."

Bartender di hadapannya terlihat kembali melakukan aktifitas. Melihat pria yang sepertinya masih memasang telinga padanya, ia melanjutkan, "Sekolahku berantakan. Aku ragu bisa melanjutkan hidupku di penjara suci itu. Memuakkan."

"Bagaimana dengan teman Anda? Sepertinya Tuan tidak pernah menceritakan masalah Anda pada orang lain. Dan, malah lari ke bar ini," sahut Bartender.

Lagi-lagi si pemuda mendengus. "Teman katamu? Omong kosong," cibirnya. "Yang aku tahu, orang-orang yang berkata dirinya teman adalah sampah. Mereka hanya seorang penghianat yang terselimuti dalam balutan kebaikan yang menjijikkan."

"Bahkan kekasihku yang selalu baik dan berkata akan setia selalu berselingkuh dengan anak basket yang berengsek dan populer di sekolah." Koga berbisik, "Dasar pelacur sialan!"

Tangan si pemuda mengepal. Rahangnya mengeras dengan alis yang bertaut di tengah. Kepalanya berasa panas, begitu pula hatinya. Lagu yang diputar di tempat ini tidak sedikitpun memberi ketenangan pada raga dan jiwanya yang bergejolak.

Mengingat semua hal yang telah dilaluinya dari kecil hingga tahun terakhirnya sekolah, membuat amarahnya kembali meluap-luap. Ia ingat betul, bagaimana ramainya bangunan berisi keluarga yang selalu bertengkar. Ia ingat betul, bagaimana adiknya yang waktu kecil selalu menangis ketakutan, kini kerap mengurung diri di kamar sembari mengumpat kesal--persis seperti dirinya.

Sekolah pun tak ada bedanya. Pembullyan, pemerasan, perkelahian, pengucilan, penghianatan. Itu semua seakan menjadi santapannya sehari-hari.

Ia mulai muak. Dan, jadilah Fée Verte--salah satu bar di sudut kotanya menjadi tempat pelariannya. Meneguk dua atau lebih gelas berisi cocktail atau liquor sedikit membuat dirinya menjadi lebih tenang.

Walau pada nyatanya, minuman tersebut dilarang keras untuk dirinya yang belum cukup umur.

Bartender yang juga merangkap jabatan sebagai pemilik bar itu selalu setia mendengar keluh kesahnya. Aneh, memang. Bercerita masalah pribadi pada orang asing yang kau sendiri pun tidak yakin ia bisa memberi solusi, atau hanya sekedar memberi sajian yang memuaskan dahaga. Namun, si pemuda tetap saja mengutarakan apa yang mengganjal hatinya.

"Kalau begitu, Tuan Koga ..." Si pemuda yang namanya terpanggil mendongak dan menatap benda yang di sodorkan padanya." ... Minuman ini pasti sangat cocok dengan keadaan Anda. Silahkan dinikmati."

Koga memandang Rock glass yang tersaji di mejanya. Gelas kaca berisi cairan hijau tersebut memantulkan cahaya ruangan dengan indahnya. Uap hangat samar-samar terasa di kulit wajahnya. Memasuki rongga hidung hingga terasa hangat di tenggorokan.

"Apa ini?" tanya Koga.

"Minuman andalan kami. Khusus untuk momen-momen tertentu, Tuan," tutur Bartender. "Dan perlu Anda tahu. Saya tidak pernah salah menentukan minuman untuk tamu berharga Saya." Bartender itu mengedipkan sebelah matanya.

Acuh pada perkataan Bartender di sisi lain mejanya, Koga langsung menegak minuman di dalam gelas. Tidak seperti minuman lain, rasa manis dari cairan ini seketika menguasai lidahnya. Kehangatan dari alkohol dan air hangat yang tercampur memberi sensasi tersendiri pada tubuhnya.

Benar-benar nikmat. Rasanya tubuhnya menjadi lebih tenang, dan kepalanya menjadi lebih dingin.

Ia meneguk sekali lagi. Kali ini, ia melirik Bartender dari balik gelas kacanya. Memperhatikan pria dewasa itu dengan lebih seksama.

Lalu, sesuatu tertangkap mata Koga. Tata bergambar peri hijau cantik di lengan kiri Bartender yang tidak tertutup kain baju.

Koga tidak pernah tahu ada sebuah tato di lengan pria itu. Namun, yang membuatnya aneh adalah tato itu berpendar. Memancarkan sinar hijau di sekitarnya. Peri hijau yang terlukis itu nampak mengepakkan sayap di iris hitam Koga.

Apa ia sudah mabuk? Cepat sekali. Berapa persen alkohol di dalam minuman ini?

Baru ia akan bertanya pada sang pembuat, Koga terbelalak. Lelaki dewasa itu menatapnya. Matanya berkilat di bawah neon yang meneranginya. Menyorotnya tajam dengan manik hijau terang miliknya.

Pemuda berkaos hitam pendek berlapis jaket merah terlonjak dari kursinya. Kaki yang terbalut celana jeans panjang itu bergetar ketakutan. Kakinya lemas. Seakan dunia yang terasa berputar ini semakin kehilangan gravitasinya.

Laki-laki itu, dia menyeringai padanya! Bagaikan berhasil menjebak mangsa pada perangkap yang ada di balik kegelapan!

Apa-apaan ini!? Aura-aura aneh bermunculan di sekitar tubuh si bartender. Rambut man bun coklatnya tiba-tiba memunculkan warna hijau di ujung-ujungnya . Liak-liuk hijau aneh pun tahu-tahu muncul di seragam dan di kulit putih pria berumur kepala tiga tersebut.

"A--Apa... Apa yang terjadi!?" Koga mencengkram kepalanya sendiri. "Apa isi minuman itu, Sialan!?"

"Hanya liquor biasa, Tuan. Saya bahkan mencampurnya dengan gula--"

"Lalu mengapa seperti ini!?" Koga jatuh berlutut seraya menggeram. Sang Pemuda menahan sakit pada kepala yang bagai didera palu besar terus-menerus tanpa henti. Memicu dentuman bak tabuhan drum super besar.

Jantungnya berdegup kencang. Kian bertambah sampai-sampai ia bisa mendengar debaran bak pompa piston di sebuah mobil balap.

Pandangannya semakin memburam. Dunia semakin cepat berputar. Koga seolah-olah berada dalam pusaran tornado besar. Hingga bartender yang terlihat mendekat ke arahnya kehilangan wujudnya.

"Jangan khawatir, Tuan Muda." Bartender itu ikut berjongkok di depan Koga. Tangan kekarnya mengangkat dagu si pemuda perlahan. Memaksa manik hitam legam nan sayu itu untuk menatap manik hijau tajamnya. "Setelah melewati ini, Anda akan segera melihat dunia yang tidak pernah Anda bayangkan. Dunia yang akan mengalihkan Anda dari hidup yang memuakkan."

Satu hal yang bisa Koga ingat sebelum warna hitam menyelimuti penglihatannya adalah seulas senyum dan suara Bartender yang berkata, "Bukankah itu yang Anda inginkan?"

***Tbc***

Bandung, 6 Mei 2019

Selamat menunaikan ibadah puasa!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top