Bab 9
Di dalam ruang kelas tertata kursi dan meja, gantungan-gantungan terpasang pada jendela nako, berbagai tempelan kreatif menghiasi dinding. Masuklah seorang pria petugas kebersihan yang membawa tongkat pel dan ember berisi suatu cairan. Tangannya terulur ke tombol, mata tertuju lampu di tengah langit-langit, tetapi benda itu tidak berhasil menyala. Mulutnya mengutuk akan penerangan yang gelap, meski begitu dia tetap bekerja dengan cepat, menyapu lantai hingga bersih, selanjutnya mengepel sampai kinclong.
Betapa terkejutnya pria tersebut manakala terjadi fenomena yang mengejutkan. Seisi kelas mendadak bergetar, kursi meja terguling, jendela berguncang dan pecah, beberapa pajangan terjatuh, plafon lepas-lepas hancur.
Lalu semuanya kembali tenang.
Pria itu buru-buru mengambil semua perlengkapan lalu berlari keluar kelas menyelamatkan diri.
Tanpa seorang saksi mata pun yang mengetahui, semua keadaan di dalam kelas normal, benda-benda yang jatuh dan bergeser balik ke posisi semula, kembali sebagaimana sedia kala. Seolah-olah peristiwa barusan tak pernah ada sama sekali.
Fajar menyingsing seiring kejadian misterius terselubung dengan sempurna.
Jalanan pagi tampak sibuk dipenuhi remaja sekolahan. Dimulailah hari dengan suasana terburu-buru. Salah satu siswa di antara remaja yang lalu-lalang ialah Ren. Dia mengendarai motor memboncengkan adiknya. Adiknya itu tampak masih kecil, mengenakan seragam cokelat kotak-kotak.
Sesampai di sebuah taman kanak-kanak yang tersembunyi di balik pepohonan, turunlah adiknya itu. Setelah bersalaman dicium tangannya, Ren melajukan motor.
Namun sesudahnya, di persimpangan gang kecil menuju gang agak besar, seseorang hampir ditabrak Ren, dan ternyata itu adalah remaja sekolahan sama sepertinya, yaitu Will.
Will memasang muka penuh tanda tanya. "Lo? Tumben kamu lewat sini?"
Ren yang ditanyai balas kebingungan. "Aku memang biasa antar adikku dulu. Kamu yang kenapa lewat sini?"
Will yang ditanya malah tiba-tiba terdiam, menimbulkan teka-teki.
"Ya ampun. Pasti pacar," tebak Ren, terlihat hafal.
Yang diajak bicara hanya terkekeh-kekeh.
"Eh, bonceng, dong!"
"Motormu di mana?"
"Kutinggal di parkiran belakang sekolah karena mau kupakai jalan-jalan sama dia!" seru Will.
Ren mengerlingkan mata dan geleng-geleng, lalu menyalakan mesin motor. Setelahnya dia mengedikkan kepala lalu Will membonceng. Keduanya melalui jalanan nan ramai, banyak kendaraan lain baik itu pelajar belum cukup umur seperti mereka, pelajar yang diantar, maupun pekerja kantoran.
Sesampai di parkiran belakang sekolah, sudah penuh akan sepeda-sepeda motor. Ren memilih letak terisolasi di dekat beringin, kemudian berjalan menuju gerbang besar, yang Will sudah menunggu dia di sana. Ternyata banyak yang rajin berangkat pagi, sebab di jam tangan Ren masih menunjukkan jarum panjang pada enam.
Tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Ren yang keluar dari kelas, seperti biasa menuju belakang gedung terbengkalai, tempat lelaki itu mengurus kandang burung.
Matanya menampak suatu gumpalan hitam di sudut kandang, tetapi tak dia pedulikan. Barangkali itu tumpukan kotoran. Ren mengambil pakan lalu menuangkannya ke wadah, kemudian mengisi tempat air minum. Burung-burung di kandang langsung menyerbu dengan rakus.
Kemudian datang Will dan dia memamerkan ekspresi berseri-seri.
"Kenapa senyum-senyum?" Ren bertanya ketus setelah melirik sekilas.
"Enggak apa-apa," balas Will cepat.
Merasa ada yang mencurigakan dari gelagat kawannya, Ren bisa langsung menyimpulkan.
"Oke, cerita."
Will langsung antusias. "Tadi dia kasih aku permen kopi, katanya biar enggak mengantuk pas pelajaran olahraga. Ah! Rasanya senang sekali diperhatikan sama pacar!"
Ren mengerling dan memutar bola mata, beralih membereskan
"Sudah mau pulang?"
"Hari ini adikku tidak ada ekskul, jadi dia pulang cepat. Kasihan kalau menunggu lama."
"Oke, hati-hati di jalan." Will melambaikan tangan.
Laki-laki itu mengendarai motor dengan awas, sampai di taman kanak-kanak. Di sana sudah sepi, semua murid telah pulang. Ren melihat adiknya yang langsung berlari seketika Rei memanggilnya.
"Kamu enggak nakal 'kan di sekolah?"
"Enggak!" Adiknya menjawab dengan gemas. Melihat tingkahnya yang imut itu menbuat Ren tersenyum simpul, tangan terulur mengelus-elus kepala nan mungil.
Setelah menjemput adiknya, Ren merapikan rumah, memasak makan malam dibantu adiknya. Menyantap masakan dengan lahap, mereka memanfaatkan waktu. Mencuci piring, membersihkan kamar.
Malam tiba dengan cepat. Ren beserta adiknya belajar bersama di kamar nan sempit. Ruang belajar jadi satu dengan kamar tidur, ambang tanpa daun pintu di tengah.
Ketika adiknya sibuk mengisi jawaban pekerjaan rumah, Ren melirik gawainya masuk notifikasi. Pesan dibuka, lelaki itu tahu siapa si pengirim. Dia kenakan baju kasual, memakai jaket denim dan celana jin. Setelah pamit ke adiknya untuk segera tidur begitu dia selesai belajar, Ren pergi ke luar. Udara malam begitu dingin, sembari berjalan kaki dia menggigil. Sandal japit bergema di tengah kesunyian.
Ren bertemu dengan Will di sebuah jembatan sepi dekat taman. Banyak lampu bulat di sekitar sehingga terang, cocok untuk menongkrong. Temannya itu memakai jas biru yang necis, celana bahan berwarna senada, tampak begitu modis. Apalagi model rambut seakan habis dari salon.
"Mana pacarmu?" tanya Ren agak sinis, geli dengan penampilan temannya.
"Eh, kenapa?" Will pun bingung ditanyai demikian.
Ren mengingat Will pernah bilang dia meninggalkan motornya, untuk digunakan bepergian dengan sang pacar. "Katanya habis jalan-jalan."
Will membuka mulut, terdiam, lalu menggeleng. "Kesampingkan saja itu dulu, sebab ada hal yang jauh lebih penting. Mas Seng bilang ini misi darurat."
Ren ikut memasang wajah serius. "Misi apa itu?"
Ren tidak mengetahui hal tersebut. Sebab, memang Ren tidak pernah mengikuti perkumpulan, Ren tidak pernah menginjakkan kaki ke Ruang Iblis atas alasan tertentu.
Raut muka temannya itu begitu dalam, kegelapan malam melahap ekspresi nan kelam. Alis mata tertaut, kelopak tak menutup, pipi mengerut akan kata-kata yang diisap lalu hendak dipaksakan keluar. Hidung berkedut menahan napas, bibir gemetar dan gigi bergemeletuk. Garis-garis pada dahi serta kantung mata menandakan keadaan nan lelah.
Meski Will tidak berniat demikian, walau Ren tahu pada keadaan aslinya bukan begitu, dia tetap merasa ada yang janggal dari muka Will.
"Penyelamatan anak TK," ungkap Will.
***
Malang, 12 Juli 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top