Bab 5

Krista dan Bram bertemu di persimpangan gang. Ada masalah yang perlu mereka bahas.

"Menurutmu, bagaimana cara kita bisa mendekati telur raksasa itu?" tanya Krista.

"Memangnya benar itu telur? Lagi pula, aneh orang biasa bisa melihatnya. Soalnya kata Mas Seng itu adalah Ala."

"Jadi Ala sebenarnya bukan di telurnya?"

"Menurutku begitu," balas Bram.

Di sisi lain, Fina yang menyaksikan dukun melayangkan parang ke bayi syok seketika.

Dukun itu membelahnya menjadi dua, lalu mengambil salah satu bagian dan merogoh, hendak merontokkan isinya.

"Stop! Pembunuh!" Fina sontak menerjang masuk.

"Hm? Siapa di sana?" tanya dukun itu, santai.

"Eh?" Ternyata yang dipegang oleh dukun adalah nangka muda.

Selepas kejadian aneh tersebut, Fina disuruh duduk di ruang tamu. Kepalanya terasa pening. Sebuah gelas berisi air putih disodorkan kepadanya.

"Kamu berhalusinasi?" tanya si dukun.

Fina menerima minuman itu, tak lekas menjawab. Kebingungan masih meliputi isi kepala. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa dia mendengar tangisan dan melihat penampakan adiknya? Apa yang sebenarnya tersembunyi dari fenomena yang disebabkan Ala ini? Di mana Ala-nya?

Atas alasan makin pucat air muka, si dukun mencoba merilekskan suasana. "Saya dukun beranak di sini."

Fina mendongak.

Dukun itu bercerita tanpa ikut duduk, berdiri di sebelah seolah berbicara kepada semua termasuk Fina. Katanya, entah mengapa, dia heran, banyak warga di sana yang lebih memilih aborsi. Dia pun senang karena memperoleh pekerjaan, mendapat uang. Namun, jika dipikir-pikir keterlaluan juga kelakuan orang-orang di permukiman ini.

Si dukun berlagak ganjil. Fina terus memperhatikannya dengan lekat. Dilihat sekali lagi, memang ada yang aneh dengannya. Dia selalu bercerita memakai logat daerah, membuat lidah seakan digigit ujungnya, terbata-bata, tetapi jelas.

Atas alasan yang tak bisa dijabarkan, Fina ikut-ikut saja tatkala diajak keluar. Dari teras, tampak kabut kian tebal. Bahkan seakan memasuki dunia lain. Kaki yang melangkah, mata tak bisa melihat ke depan akibat halimun.

Tahu-tahu Fina sampai di sebuah sekolah. Rupanya rumah si dukun dekat dengan SMP dan SMA yang berdampingan.

Di sinilah dia mempraktikkan aborsi bayi.

Dukun itu menjelaskan rata-rata pelanggannya adalah remaja SMP dan SMA setempat, yang melakukan seks bebas tanpa pengaman, sehingga terjadi kecelakaan dan lahirlah pembuahan tanpa sepengetahuan mereka yang tak berpengalaman dan masih bocah ingusan. Maka setelah beberapa bulan berlalu baru ketahuan si perempuan hamil, sedangkan si berengsek tak mau tanggung jawab, alhasil lahirlah keputusan untuk menggugurkan bayi dalam kandungan. Benar-benar keterlaluan, ucapnya berulang kali.

Gedung-gedung yang tidak terlalu tinggi, tetapi tersebar, dindingnya cukup untuk menutupi tempat melakukan praktik. Si dukun menunjukkan meja besar di tengah digunakan si calon ibu yang gagal untuk mengeluarkan remah-remah daging dari bayi yang dihancurkan, mengumpulkannya, lalu diberi opsi mau dibawa pulang untuk dikubur di halaman, ditutup keranjang terbalik, dan diberi lampu sinar kuning, atau diserahkan semua kepada si dukun (tentu ada biaya tambahan).

Kebanyakan memang tak mau repot.

Sudah kelakuan macam setan, tak bertanggung jawab, boros duit pula. Akhirnya si dukun dibantu tukang gali kubur yang dibungkam mulutnya sering membuat lubang-lubang di lahan bekas sawah belakang sekolah, mengumpulkan daging-daging dari rahim yang bakal membusuk. Jika atau lubang penuh, dibuat lubang baru lagi.

Itulah mengapa sering kali terdengar suara tangis bayi di sekitar sini, di permukiman warga ini. Fenomena itu disebabkan antara perasaan bersalah, dihantui, saling dendam antarpihak keluarga, tak peduli, tak bertindak padahal tahu, berujung pada hancurnya sistem keseimbangan alam di permukiman warga, digerogoti dari dalam.

Fina tentu meningkatkan waspada saat dukun tersurat tahu segalanya. Saat dukun itu menunjuk pada petak lahan, di antara gundukan tanah yang berjarak, seseorang tergeletak dengan posisi telungkup, badannya bersimbah darah penuh akan luka sayatan di sana-sini, baju beskap koyak, jarik sobek. Fina langsung mengetahui itu siapa. "Mas Seng!" panggilnya segera berlari. Di sebelahnya ternyata berdiri Zain, laki-laki jangkung itu masih berwajah pucat pasi, tak tahu apa yang dilakukan.

Fina memintanya untuk mempobong Mas Seng, memohon bantuan kepada orang dewasa terdekat untuk memanggil ambulans. Sayang, Fina segera diberikan situasi tanpa harapan.

Sebab Zain berkata bahwa itu ulah si dukun. Dukun itu Ala.

Fina harusnya menyadari dukun itu tak memiliki telinga kanan.

Dukun menyeringai, garis bibir melengkung hingga melebihi pipi, sampai ke pelipis. Tampak barisan taring tajam keluar. Tangan berdurinya menyobek kulit kepala, lepas semua menampakkan sesuatu mirip tengkorak, sekalian terkuliti sekujur badan, memperlihatkan sesuatu mirip kerangka. Ala itu adalah kerangka hidup. Jubah ungu berkibar dipakainya.

Seketika, di lahan itu, terdengar ratusan bahkan ribuan jenis tangisan bayi yang bercampur aduk suaranya, memekakkan telinga amat hampir membuat gendang telinga pecah. Fina menutup kedua daun, begitu pula Zain yang menunduk, diikuti Fina. Mereka berdua menyaksikan sang Ala kini mengamuk.

Dari dalam tanah, terbentuk rekahan, bumi bergetar hebat, sesuatu akan keluar. Ujungnya ialah sebuah cangkang telur raksasa, yang terus naik, hingga setinggi puluhan meter. Telur raksasa itu berdiri di atas tanah, amat megah lagi kukuh mencakar langit penuh halimun.

Fina menganga tak percaya. Tubuhnya tak bisa digerakkan saking tercengangnya. Sekujur badan gemetar seolah tak diberikan waktu untuk memproses apa yang terjadi di hadapan.

Telur itu kemudian retak, merekah terus hingga ujungnya pecah, dinding bawah di kakinya pun jebol, cangkang lepas menghasilkan debuh tatkala jatuh ke atas tanah. Dari dalamnya, cairan yang menggumpal memadat, lalu terpisah-pisah menjadi lapisan putih kemerahmudaan, satu per satu lapisan memekarkan diri sebagaimana kelopak bunga terbangun.

Dari tiap-tiap sela kelopak, keluar tubuh-tubuh manusia yang merangkak, tubuh itu tanpa kulit, menampakkan daging segar yang berdenyut, darah berceceran, kepala tak dapat diidentifikasi sebab bola mata kosong, mulut tanggal gigi, gusi penuh darah yang mengalir, darah terus bermuncratan.

Zain segera membopong tubuh Mas Seng, tetapi si pemuda sudah tersadar, tak bisa menggerakkan tubuh untuk berdiri, tetapi tenaga yang tersisa digunakan untuk menunjuk ke arah seseorang. Zain lantas terbelalak.

Ternyata selama ini yang jadi incaran sang Ala adalah Fina.

Mas Seng menyesal baru menyadarinya. Ingatan itu beruntun dijatuhkan oleh sang Ala, tersalurkan melalui gambaran di udara.

Tampak adegan Fina dan seorang remaja laki-laki yang dicoret wajahnya, duduk bersimbuh bersebelahan, keduanya menghadap seorang dukun berbatas meja berisi alat-alat perklenikan. Terlihat pada bagian perut Fina sedikit menonjol di balik seragam SMP-nya. Fina meminta maaf. Amat menyesal. Padahal ibunya juga mengandung. Inikah perasaan kaum hawa yang gagal menjadi ibu yang baik? Kandungan itu keluar dalam bentuk gumpalan daging, dibuang bersama tumpukan mayat.

Fina kini terisak, berdiri mematung. Air mata berlinang, jatuh menyusuri pipi. Mulutnya bergetar, gigi bergemeletuk, bibir membuka. Lalu dia menangis.

Suara tangisannya menyerupai bayi.

###

Sleman, 9 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top