Bab 4

Tangan mungil menggenggam jari kelingking besar, dua kaki kecil menggeliat senang. Biji mata tak berdosa menatap, mengeluarkan tawa khas nan menenangkan hati.

Fina begitu sayang pada adiknya.

"Adikmu memiliki Ala di dalam tubuhnya."

Perkataan sang Ayah tak ayal membuat semua anggota keluarga di rumah terkesiap, begitu tak percaya.

Pemikiran mengenai segala sesuatu di luar urusan pekerjaan, adalah hal yang mengganggu jalannya operasi. Para bawahan beserta sang Master berpindah dari Ruang Iblis. Melalui pintu salah satu rumah yang terhubung, mereka sampai pada suatu permukiman warga.

Satu per satu orang keluar dengan tenang. Di antara kelompok remaja ada anggota baru, Fina, yang satu-satunya kebingungan dan terkejut.

"Eh? Kita langsung sampai? Padahal tadi aku dari sekolah," ujarnya.

Ketua bawahan, Erikarina, langsung memberi penjelasan, "Iya. Inilah salah satu kemampuan Ruang Iblis, bisa terhubung ke mana pun asalkan Master sudah mengunjunginya--"

Perempuan kurcaci memotong, "Dengan cara memikirkannya--bom!--terhubung dan sampai deh!"

Si bawahan baru membulatkan bibir, berkedip paham, juga heran.

Para bawahan disuruh kembali fokus. Permukiman warga yang mereka datangi terbilang padat, penuh akan rumah-rumah berjejer. Gang-gang jalan pun sempit, hanya bisa dilalui satu kendaraan motor, sebenarnya mobil bisa muat jika dipaksa. Ada pula jalan tikus di beberapa titik, seakan celah, atau ruang terjepit di antara dinding dua rumah.

Terlihat hamparan sawah di tengah-tengah kepungan bangunan. Ada pula embung di sebelahnya. Tempat ibadah dengan menara tinggi mencolok di antara hunian. Sangat disayangkan masih ditemui tumpukan sampah yang dibuang sembarangan. Itu menodai pemandangan karena kelompok rumah yang serupa seharusnya indah terkecuali kelakukan warga mencerminkan malas membuang kotoran.

Fenomena yang sangat ganjil ialah terbentuknya kabut dengan jarak pandang belasan meter, padahal hari masih siang. Di atas, matahari bersinar, tetapi terhalangi oleh halimun, sehingga berkas cahaya yang masuk menipis.

Satu hal lagi yang jadi penciri permukiman adalah keadaan yang sepi pada waktu sekian ini. Tidak ada warga yang berlalu-lalang atau beraktivitas di luar, memang kebanyakan dari mereka adalah pekerja. Selain itu, tidak ada anak-anak kecil yang bermain atau anak sekolah yang menongkrong sehabis pulang.

Mas Seng menginstruksikan para bawahan untuk berpencar demi mempercepat dan memperluas pencarian fenomena ganjil. Formasi tim telah ditentukan. Dia bersama Zain. Krista dengan Bram. Terakhir Erika dan Fina.

Fina sebagai anggota baru merasa sedikit waswas. Jarak pandang terbatas membuatnya tak bisa menebak ada apa di balik kabut tebal. Beruntung dia bersama Erikarina, Ketua bawahan. Namun, tetap saja, perasaan gugup serta kebingungan tetap ada bagi dia yang tak punya pengalaman terjun langsung ke lapangan. Di saat seperti ini bukan diri sendiri yang bisa dia andalkan.

"Bukankah sebaiknya kita dibekali senjata juga? Katanya Ala itu berbahaya," tanya Fina berjalan di belakang Erikarina. Perempuan di depannya memiliki langkah yang lebar.

"Tenang saja, tetap berada di dekatku, dijamin aman," ujar sang Ketua bawahan.

"Erika ...." Masih tersurat sikap tak aman dari diri Fina.

"Ya sudah, sini aku kasih sesuatu. Buka tangan Kakak."

Fina menoleh, agak mendongak. Erikarina seperti mengangkat sesuatu, sebuah benda. Maka dia menengadahkan tangan, merekah telapak. Yang di genggamannya adalah liontin kecil tanpa rantai kalung, berbentuk mirip kristal dengan warna biru laut.

"Ini jimat pelindungku. Kamu bisa meminjamnya dalam misi kali ini. Oh, iya, jangan bilang-bilang Mas Seng, ya!" Fina mengangguk. Dia terheran Erikarina malu-malu kucing saat menyebut nama sang Master.

Ngomong-ngomong tentang kucing, ada satu ekor yang menyelonong di depan mereka. Tidak jelas apa warna, tetapi sedikit terang rambutnya. Itu membuat Fina kaget, untung Erikarina berkata untuk tenang.

Saat itulah mereka dihadapkan pada dua lorong sempit di antara tiga bangunan, tetapi pada masing-masingnya dihalangi daun pintu pendek yang entah bagaimana seperti sengaja menampakkan di baliknya bahwa masih ada jalan.

Kata Erikarina, ini mengandalkan keberuntungan. Ada dua pintu. "Aku kiri, Kakak kanan." Fina mengangguk.

Pertama Erikarina, dia perlahan membuka daun pintu. Dengan langkah cepat dia telusuri lorong. Di ujung ialah sebuah bukit ditumbuhi rerumputan, seakan halaman belakang. Tampak sawah ditanami padi fass vegetatif tahap tiga menghampar di bawah.

Terdengar bisikan. Erikarina segera menoleh. Ditangkap kisikan lagi. Itu familier. Dia lekas memanggil, "Fina?" Ada suara yang sama lagi. Ternyata dari arah sawah. Erikarina bergegas menuju ke ujung bukit, terlihat sesosok siluet di bawah. "Fina!" Sepatunya menginjak tanah yang rapuh, longsor menyeret bongkah sekeliling. Perempuan itu berteriak, tatkala tubuh jatuh terperosok ke jurang.

Sementara itu, di sini Fina. Dia sangat pelan-pelan mengendap-endap, menggenggam ranting besar yang dipungutnya dari sebarang. Tangan kiri sesekali menggosok liontin di saku baju, agar merasa aman.

Di atas, langit muram seakan makin kelam. Burung-burung hitam berkoak melewati dan mengejek. Ini mengingatkan Fina akan hari kematian ayahnya, yang begitu misterius. Kata dokter, itu serangan jantung, tetapi ayahnya selalu menerapkan pola hidup sehat. Baik ibunya maupun adik-adiknya terpukul, tak sanggup menerima kabar pilu secepat itu.

Ketika Fina tenggelam dalam lamunan tahu-tahu dia tersadar saat terdengar tangis bayi. Amat jelas, amat mirip, yang mengingatkan dia akan adiknya.

Terlihat sebuah rumah di antara bangunan-bangunan tinggi atau berlantai dua. Pintu kayu yang berlubang-lubang tetapi tidak sampai menembus sisi sebelah, membangkitkan rasa geli. Fina sudah di depan, dia raih gagang, membuka pintu penuh dalam satu gerakan dorong.

Sebelum berlanjut, dijelaskan tiap-tiap yang lain melakukan apa saja.

Krista menanyai anak-anak,
Bram mewawancarai para orang tua. Keduanya semua melihat bongkah batu bulat sempurna mirip telur di langit, yang katanya orang biasa tidak bisa mendekatinya karena akan hilang begitu mata menembus jarak pandang kabut.

Zain pucat pasi, mematung tak bisa berkata-kata. Dia berdiri di depan tubuh tergeletak bersimbah darah. Tubuh itu mengenakan baju beskap hitam yang koyak, blangkon terlepas tak jauh dari situ, kain jarik sebagai sarung kotor akan lumpur.

Erikarina terjebak di jurang, seragam tersangkut ranting-ranting mati. Dia meminta tolong dalam teriakan, tetapi tak ada bantuan yang kunjung datang.

Di dalam ruangan rumah yang Fina masuki itu begitu gelap. Fina harus mengerjap bebeapa kali untuk menyesuaikan cahaya yang ditangkap mata. Penglihatannya menjadi lumayan jelas.

Fina menyaksikan seorang pria berpakaian ala dukun merapal jampi-jampi di kamar lain yang lebih gelap. Ada nakas dengan cermin di belakang, beberapa lilin dalam wadah berbeda ditata. Berbagai rupa kelopak bunga diletakkan dalam mangkuk berisi air. 

Fina membeliakkan mata begitu menyadari apa yang dilakukan dukun itu.

Di depannya ada meja. Seorang bayi digeletakkan di atasnya.

"Adik!" seru Fina menyaksikan parang dilayangkan.

###

Kudus, 6 Januari 2024

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top