Bab 3
Langit muram kelabu kelam, awan gelap berkumpul meratap, di suatu kediaman hadir orang-orang pakaian hitam.
Bunga kelopak putih sebagai simbol dikarang, didekorasi pada sudut-sudut tempat. Penyambut salam berbaris jabat tamu, menyilakan duduk pada jejeran kursi. Papan-papan tertata sepanjang jalan masuk hunian.
Di depan mereka, peti mati seukuran orang dewasa sebagai pusat perhatian. Bagian kepala terbuka, menampilkan wajah pucat damainya seorang pria.
Di antara sanak dan tetangga yang hadir, terjumpa pemuda jangkung mengenakan setelan jas hitam dan celana bahan, ialah Mas Seng. Ekspresinya tersurat merasai teka-teki, kontras dibandingkan orang-orang yang menganggap kematian hanyalah takdir dan tak terelakkan. Menurut Mas Seng pula, dalam pergolakan batin, maut tidak bisa dicampur tangan.
Tatkala tenggelam dalam lamunan sendiri, kedatangan nan familier sedikit membuatnya terkejut.
Mata beriris biru laut menangkap sekumpulan remaja berseragam sekolah, satu di antaranya mengenakan putih biru.
Mereka adalah bawahan Ruang Iblis, Krista yang paling kecil, Bram dengan kupluknya, Zain tertinggi. Dipimpin Erikarina, perempuan berambut hitam panjang tergerai. Para remaja itu lantas gegas hampiri sang pemuda yang duduk di ujung barisan kursi, memisah keramaian.
"Mas Seng!" seru mereka.
"Kalian, apa yang kalian lakukan di sini?" Yang dipanggil berdiri, membuat terbentuknya titik kumpul baru di area.
"Kami mencari Mas Seng! Kata pihak rumah sakit, Mas Seng menghilang di kamar inap," balas Erikarina.
"Oh, maaf. Saya sudah diberi tahu suster bahwa sudah bisa pulang, tapi karena buru-buru jadi tidak sempat urus izinnya."
"Ya ampun, syukurlah. Aku kira ada apa-apa." Erikarina bernapas lega.
"Sebenarnya, ada apa-apa," timpal Bram, menujuk ke salah satu papan gabus dengan karangan bunga.
Tertulis dari ukiran timbul, bahwa seseorang telah meninggal dunia. Turut berdukacita, ucap pengirimnya. Semoga keluarga diberi ketabahan, doa mereka. Atas kepergian figur yang disayang anak dan istri, tulang punggung yang terlalu dicintai Sang Pencipta. Rangkaian kata itu membuat para remaja terbeliak.
"Pak Theo ... ?" Mattheo Anjasmara, nama yang tercetak tebal.
Hadirin mengiakan, di umur yang terbilang setengah abad masih cukup panjang, rupanya mangkat juga. Mas Seng tampak berdukacita. Pandangan mata tak kuasa melihat tamu di sana, tak bisa dia tegakkan kepala.
Lalu, Erikarina menangkap sosok lain nan familier di antara barisan keluarga pada bagian depan. Remaja perempuan berambut sebahu, memakai gaun putih sepanjang mata kaki nan sederhana. Dia tampak pucat lesu.
"Eh, bukankah perempuan itu yang kemarin bergabung ke Ruang Iblis?" tanyanya.
"Bawahan baru?" Mas Seng berbunga-bunga sedikit, lalu kembali bersikap, mengingat suasana tengah berkabung.
Kawannya membenarkan. "Iya, kalau tidak salah namanya Fina, dari SMA Satu. Kasihan dia."
Mereka merenungi kejadian yang tiba-tiba ini, mengamati kesedihan, berdukacita. Permakaman dilangsungkan.
Acara perlawatan Pak Theo berakhir. Sanak saudara meninggalkan tempat. Baru selepas agak sepi, kumpulan remaja itu menggelar diskusi singkat di bawah pohon beringin.
"Saya tidak tahu jika Ala terlepas dari manusia, manusia itu akan mati." Mas Seng akhirnya bersuara lagi.
Para remaja terkejut. "Nyawanya ikut terlepas?" timpal Erikarina.
Si pemuda bercerita bahwa semalam, Pak Theo menjenguk di kamar rumah sakit dan menceritakan tentang fakta itu, bahwa waktunya tidak banyak. Dia juga sudah menitipkan surat wasiat untuk istri dan anak-anaknya.
"Jadi yang saat itu berbicara denganku ... ?"
Mas Seng membenarkan. Pak Theo yang aslilah yang berinteraksi dengan mereka selama ini, bukan Ala. Menurutnya pula, Ala bisa dibilang cacat, mereka sejatinya tak bisa menirukan manusia dengan sempurna. Pasti ada sebuah ketidaksempurnaan--bisu, tuli, tunadaksa. Seperti itulah yang dia temui sejauh ini.
"Sulit dipercaya ini bisa terjadi ...." Mereka dipenuhi tanda tanya.
Terlebih Erikarina. Dia tak menduga pengiriman Ala rupanya menyimpan fakta sedalam samudra. Pemahamannya telah memeleset, oleh karena itu diri sendiri merutuk bahwa kesalahan tetap kesalahan. Beruntung, ada Mas Seng yang melipur. Manusia pasti tak terhindarkan dari salah dan lupa.
Kemudian, seseorang bergabung.
Salah satu bawahan baru Ruang Iblis adalah anak dari Pak Theo. Sebuah kebetulan macam apa klien menitipkan buah hatinya. Perempuan bernama Fina itu berterima kasih mereka telah hadir di permakaman ayahnya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Erikarina.
"Aku tidak apa-apa. Akan kubalaskan kematian Ayah dengan menguak misteri Ala ini dan mencegah tragedi ini terjadi lagi. Sebenarnya, adik paling kecil kami juga memiliki Ala di tubuhnya, begitu kata Ayah."
Bahkan Master Ruang Iblis dibuat tercengang atas penuturan itu.
Setelah beberapa hari, akhirnya Ruang Iblis bisa berjalan kondusif kembali. Para bawahan baru diberikan pelatihan dan pemanduan.
Tiga remaja dibimbing mengenai tata cara menjadi bawahan yang baik. Erikarina sebagai ketua yang bertanggung jawab. Mas Seng sekali-kali mengajar apabila tidak sibuk. Hal paling mengesankan adalah ketika mereka dicipratkan air khusus dari Ruang Iblis, yang membuat bisa menampak Ala lebih jelas bahkan di kejauhan sekalipun.
Mereka pula dibeberkan fakta-fakta baru mengenai Ala, walau pada dasarnya misteri yang terkuak bagaikan hanya sebagian permukaan es di kutub.
Tak terasa pelatihan usai. Bawahan baru telah dikatakan siap terjun ke lapangan.
Pada hari itu, Mas Seng mendapatkan permintaan atas laporan warga setempat yang mengalami kejadian di luar nalar di sebuah permukiman. Mereka mengaku terkadang di fajar hari melihat sesuatu berukuran raksasa berbentuk bongkahan seperti batu, tersembunyi di balik kabut tebal. Sesekali terdengar suara tangisan bayi yang diduga dihasilkan darinya. Di Ruang Iblis, sang Master mengumpulkan para bawahan untuk mengusut hal ini.
"Permintaan kali ini juga ada hubungannya dengan bayi." Mas Seng memasang raut serius pada salah satu bawahan. "Maukah kamu ikut meski baru saja bergabung?"
"Tentu." Yang ditatap, Fina, segera menjawab. Dia penuh akan keyakinan.
Selain itu, bawahan yang ikut lainnya adalah Erika, sudah pasti. Mas Seng membutuhkan performa Zain dalam kasus ini.
"Krista dan Bram," dua remaja itu berbinar-binar "kalau kalian tidak ikut pasti menangis," gurau Mas Seng memecah suasana tegang.
"Mas Seng!" seru keduanya.
"Bercanda." Mereka pun tertawa kecil.
Kemudian Mas Seng menjelaskan secara singkat. Ala memiliki beraneka macam wujud. Itu juga membentuk tahapan perkembangan, dari bayi, remaja, dewasa, hingga tua. Pada dasarnya mirip dengan manusia, agar persepsi lebih mudah diterima. Berdasar laporan yang diterima, Ala pada kasus ini berbentuk telur, pasti juga ada induk yang mengeluarkannya.
Tempat dilahirkannya Ala di bumi, salah satunya berada di dalam permukiman warga. Risiko dan bahaya membayangi nyawa manusia-manusia tak berdosa.
"Kita akan mengirim mereka kembali," ujar Mas Seng menyempurnakan seragam kerjanya. Para bawahan mengikuti di belakang, menuju pintu berukir.
"Ruang Iblis, berangkat!" seru mereka.
###
Kudus, 4 Januari 2024
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top