Septem

Kamu berlari sekuat tenaga menghindari tangan hitam yang terus terjulur dari pintu raksasa itu untuk menangkapmu. Namun entah kenapa semakin lama kamu berlari, pintu keluar tak kunjung terlihat.

Tak terlihat harapan apapun. Tenagamu mulai berkurang, dan tangan hitam tersebut berhasil meraih kaki kananmu.

Kamu terjatuh dengan keras di atas karpet merah yang panjang. Meski kamu sudah langsung menoleh dan mencoba melepaskan tangan hitam itu. Justru tangan-tangan lainnya berhasil menggapai dirimu.

Kamu dipaksa untuk terseret masuk. Walau memberontak sekali pun, itu tidak memberikan dampak mana pun. Membuatmu justru semakin lelah dan akhirnya semakin mudah untuk ditarik.

"Sial! Sial!" Kamu menendang-nendang tangan itu. "Aku hanya ingin tenang tapi kenapa harus selalu aku?" teriakmu marah.

"Kenapa harus selalu aku!"

Pada akhirnya tenagamu tetap kalah. Dan dirimu terseret masuk ke dalam pintu raksasa itu. Kamu bisa melihat dimana semuanya hanya ada gelap.

"BLU!"

Kamu terkesiap saat mendengar seseorang memanggil namamu. Suara yang terdengar familiar. Saat dirimu menoleh, bisa kamu lihat sosok Blaze berlari ke arahmu.

Tanganmu terulur untuk menggapai ke arahnya, begitupun sebaliknya. Saat Blaze sampai dan memegang tanganmu dengan erat, tangan kanannya mengeluarkan api dan membakar seluruh tangan hitam itu.

Tangan hitam itu tampak menghilang dan kesakitan. Berkat itu, mereka melepaskanmu. Dan kamu jatuh pula ke pelukan Blaze.

Lagi-lagi ketika dirimu menoleh ke arah ruangan tersebut. Diantara bara api yang terbakar. Bisa kamu lihat sosok perempuan yang di ujung sana yang terikat banyak tangan hitam.

Belum sempat terkejut karena melihat wajah dari sosok tersebut. Blaze sudah berlari sambil menggendongmu layaknya karung beras.

"Blaze? Bagaimana kau bisa kemari?" tanyamu.

"Nanti akan aku jelaskan. Yang terpenting, kita harus lari dulu!" ungkap pemuda itu. Tangan kanannya lagi-lagi membakar jalan tiap laluan dan membuat setiap inci dari ruangan itu terbakar.

Kalian akhirnya bisa melihat pintu keluar. Dan Blaze pula menerjang keluar dengan kecepatan penuh. Hingga saat kamu berkedip, kalian sudah berpindah tempat ke lapangan sekolah yang luas.

Kalian berdua terjatuh berguling disana. Ada beberapa yang menghampiri kalian.

"Blu! Kamu tidak apa-apa?" Shielda menarik tanganmu.

Kamu menggeleng. "Tidak apa, aku baik-baik saja." Kamu berdiri dan menepuk-nepuk debu di bajumu. Lantas menoleh ke arah orang-orang yang ada di tempat itu. Ada Blaze, Shielda, Sai, dan Arie.

"Eh, Aru mana?" kata Blaze setelah ia membersihkan pakaiannya yang terkena debu. Lelaki itu bertanya pada Arie yang justru hanya menjawab singkat.

"Barusan pergi."

"Hee! Seenaknya saja menendangku masuk! Aku marah!" Blaze tampak menggebu-gebu sampai memamerkan tinjunya.

"Habisnya cuma kau yang bisa masuk, dan kita terburu-buru." Sai menjawab dengan santai. Bahkan sebenarnya ingin tertawa mengejek.

"Blu, kalau ada luka sebaiknya kau ke UKS dulu. Aku akan menemanimu." Meski ajakan Shielda terdengar lembut. Namun kamu tetap menolaknya.

"Aku baik-baik saja."

"Sepertinya bahaya jika Blu sendirian, dia baru saja terkena malapetaka," sanggah Blaze. Mungkin dia memiliki maksud untuk tidak membiarkan Blu sendiri.

"Kembali saja ke kamar, tidak apa-apa," tukas Arie.

"Nanti kalau dia kena lagi bagaimana?"

Arie malas menjawab. Ia hanya menutup portal dan pergi dari sana tanpa berkata-kata lagi.

"Nggak apa-apa kok, aku kembali ke kamar dulu."

"Mau kutemani?" tawar Blaze.

"Nggak perlu, aku bisa sendiri."

.

.

.

"Oh-"

Kamu terdiam di depan pintu kamar dan menatap lurus kepada seseorang yang tengah duduk di ranjang sebelahmu sambil membaca sebuah buku. Dirinya tidak pula menoleh, tetap fokus pada buku bacaannya. Hingga kamu pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan menutup pintu dengan pelan.

Dalam diam, kamu memindai sudut ruangan yang sebelumnya kosong itu. Memang benar bahwa setiap asrama memiliki satu kamar yang diperuntukkan untuk dua orang. Akan tetapi dirimu yang masuk membuat jumlah ganjil dan tidak mendapatkan teman sekamar.

Ruangan yang semula sepi hanya berisi dirimu dan kehidupan di ranjangmu saja. Kini bertambah sosok di sebelahmu yang dimana beberapa rak telah terisi buku.

"Kamu menempati kamar ini, sekarang?" tanyamu ragu-ragu. Ia--Aru--melirik sekilas lalu mengangguk pelan. Ia buka lagi halaman berbeda pada bukunya.

Kamu menoleh pada pintu. Dan berganti ke jendela yang sudah ditutup. Kemudian lantas duduk di atas ranjang, berhadapan dengan Aru yang masih dalam posisi sama.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hingga Aru pun sampai pada lembar terakhirnya.

Justru dirimu heran pada diri sendiri yang dari kemarin mencari Aru. Ketika Aru berada di depanmu, kamu malah tidak berkata apa-apa.

"Aru--"

Suaramu terpotong karena Aru menutup bukunya dengan kuat. Manik senja itu menatap lurus ke arahmu, sedang mendengarkan.

Namun dirimu malah ragu untuk melanjutkan.

"Ada banyak yang mau kau tanyakan bukan? Kenapa menutup mulut? Takut?" ocehnya dengan nada yang terdengar lambat namun penuh tekanan. Kamu hanya bisa meneguk ludah, mencoba mencari kata-kata yang tepat.

"Apa yang kamu lihat di tempat itu?"

Pertanyaannya benar-benar membuatmu tersedak. Kamu tidak mengerti persis bagaimana Aru bisa menanyakan hal yang menembak tepat seperti itu.

Namun justru hal itu yang membuat jantungnya berdegup kencang ketika mencoba menanyakan hal yang agak sama.

"Maaf kalau lancang." Kamu sebisa mungkin bernapas agar tidak terbelit ketika menanyakan hal penting tersebut. "Kamu tidak punya kembaran atau saudara bukan?"

Ia mengangkat sebelah alisnya, merasa bingung dengan maksud pertanyaan itu. "Apa maksudmu? Katakan saja apa yang kau lihat di tempat itu."

Aku mengarahkan jari telunjukku ke dirinya. "Aku melihatmu ditempat itu."

Ia diam, tidak mengatakan apa-apa. Sejenak, aku menurunkan lagi tanganku dan menggenggam erat pinggiran kasur.

"Wajahmu dan posturnya sama persis. Terperangkap dalam ruangan hitam gelap penuh aura menyeramkan. Bahkan terlilit oleh ribuan tangan hitam yang memenjara." Kamu melihat wajah Aru untuk memastikan lagi. "Tapi wajah itu jauh lebih dewasa."

"Ah."

Manik senja itu tak lagi menatapmu, justru melirik ke atas, melihat langit-langit kamar. Lalu melirik lagi ke lantai. Sementara itu ia mendengkus ringan hingga suara napasnya terdengar panjang.

"Blaze lihat juga?"

Kamu menggeleng, "Sepertinya tidak."

"Bagus. Kalau begitu jangan beritahu siapapun soal ini dan tutup saja mulutmu."

Dan percakapan malam itu berakhir begitu saja tanpa dirimu bisa bertanya lebih lanjut atau menolak.

.

.

.

Ketika kamu bangun di pagi hari. Tidak kamu temukan Aru di ranjangnya. Begitu juga saat di kelas. Bahkan saat jam istirahat,  atau ketika malam sudah tiba lagi.

Terkamu, Aru hanya kembali ke kamar ketika kamu sedang terlelap saja. Atau justru ketika dirimu sedang berada di kelas.

Bahkan saat kamu hari ini stress lagi karena memikirkan banyak hal. Lagi-lagi Taufan datang meminta hal yang sama sejak beberapa hari yang lalu.

"Blu~"

Tangan pemuda itu terjulur sambil wajahnya yang berseri-seri. Membuatmu tidak enak jika harus menolak permintaannya.

"Iya."

Kamu meraih tangan yang lebih besar darimu itu dan menggandeng tangannya. Benar, sejak hari dimana kamu menghilang. Taufan selalu muncul di sekelilingmu dan meminta bergandengan tangan.

Dan ini sudah ke-sekian kalinya ia meminta hal yang sama tanpa malu sedikitpun.

Sejujurnya kamu takut ketika dalam posisi ini justru bertemu Aru--

"Oh."

"Eh."

Kamu melongo saat melihat Aru berada di depanmu sambil memegang sebuah catatan. Mata gadis itu melirik ke arah tanganmu dan Taufan yang saling bergandengan. Membuatmu reflek menepis tangan Taufan dan bertingkah gugup.

"Duh, sakit. Kenapa sih?" keluh Taufan sambil mengelus punggung tangannya yang tadi dipukul olehmu.

Aru yang bingung dengan refleksmu itu hanya bisa terdiam. Ia menggulung kembali catatannya dan berkata, "Oh, kalian cocok, kok."

Setelah itu ia berbalik dan berjalan pergi dari sana.

"T-tunggu! Aish ini gara-gara kau Taufan. Nanti aku bisa dianggap pelakor dan dimusuhi seluruh penyihir!" Kamu menjambak rambutmu sendiri dengan frustasi.

"Pelakor apa sih?"

"Kamu kan pacarnya Aru!"

"Hah?" Taufan melongo. Tanpa disangka wajah pemuda itu langsung memerah bak kepiting rebus. "Nggak woy! Rumor darimana itu!"

"Hah? Gak pacaran?" Kepalamu melirik lagi ke arah Aru yang rupanya terhenti karena teriakanmu barusan. Wajahnya menampakkan keheranan sekaligus rasa jijik.

"Aneh," ungkapnya. Dan gadis itu langsung menghilang dari sana.

"Loh? Loh? Jadi?" Kamu terduduk di lantai menahan malu karena banyak yang mendengarmu akibat teriakan tadi.

.

.

.

"Hahaha! Lagian. Mampus dah Kak Taufan dikata main cewek hahaha!" Blaze tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu.

"Lagian Blu kok bisa mikir begitu," ujar Yaya yang justru sebenarnya sedang excited juga dengan pembicaraam random ini.

Awalnya pembicaraan ini terjadi karena rumor berjalan dengan cepat. Sehingga saat jam istirahat, satu kelas langsung menyerbu tempat dudukmu dan melakukan gosip tetap di depan wajahmu.

"Aku kira kan ... ah, gatau lah." Kamu menutup wajahmu dengan kedua tangan.

"Memangnya kenapa Blu bisa mikir Taufan dan Aru ada hubungan lebih?" tanya Gempa yang tiba-tiba saja penasaran.

"Itu karena aku melihat Taufan dan Aru berduaan di--umph!"

Taufan menutup mulutmu sambil keringat dingin. Sementara yang lain memandang penuh curiga pada Taufan.

"Bentar, berduaan?" Halilintar yang cuek dengan gosip ini tiba-tiba saja membalikkan badannya.

"Apa maksudnya itu, kak Taufan?" Gempa pun bertanya juga.

"J-jadi rumornya benar?" Blaze menutup mulut pula dengan dramatis. Lantas memeluk Ice disebelahnya yang sedang ngorok.

"Wah! Cie diam-diam kak Taufan punya pacar." Thorn terkekeh ringan, disambut roll eyes oleh Solar.

"Bukan hoy!" elak Taufan.

"Kalau gitu, jelaskan kenapa berduaan. Apa yang kau lakukan sampai Blu salah paham?" Fang malah mengintrogasi. Sedangkan Gopal tiba-tiba saja menyiapkan mic dan sorot senter ke arah Taufan.

Kamu tersadar sesuatu. Sepertinya ini jelas rahasia besar saat Taufan menolak untuk menjawab sama sekali. 

"Dia cuma tanya soal kelas!"

"Memangnya kenapa harus tanya kamu? Kan ada Arie."

Karena tidak bisa menjawab. Taufan tiba-tiba saja lari keluar dari kelas. Bukannya mereka diam, justru sekelas malah mengejar lelaki itu.

"Stop woi! Jelasin dulu!"

"Aaaa! Bacot kalian!"

Dan sepanjang koridor hingga lapangan. Kalian ramai-ramai mengejar sosok Taufan. Meski awalnya kamu hanya berlari karena ditarik oleh Ying dan Yaya untuk ikut. Entah kenapa hal ini jadi menyenangkan.

Hal menyenangkan yang seolah akan segera berakhir dalam sekejap.

.

.

.

***tbc***

Haloo!

Sorry banget awal janji 1 Juni malah jadi 2 Juni. Ga expect tiba-tiba digempur banyak kerjaan.

Also kalau lupa bisa baca ulang haha. Karena saya juga lupa.

Dan makasih tetap nungguin book ini update.

Untuk jadwal update sama seperti book sebelah ya. 2 kali seminggu. Ditunggu aja hehe.

See you

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top