Quinque
Kamu berjalan masuk ke dalam ruang kesehatan. Memperhatikan sosok Solar yang masih tertidur lelap.
Sejenak batinmu berpikir. Mengenai Aru. Padahal seisi kelas berpikir bahwa Aru melakukan sesuatu hal pada Solar. Namun yang terjadi barusan membuat semua bantahan tersebut hilang begitu saja.
Tidak ada yang tahu kenapa Solar masih terlelap. Mungkin dia kelelahan.
Jari-jemarinya bergerak. Rupanya lelaki itu sadarkan diri. Ia membuka matanya perlahan, memandang langit-langit ruang kesehatan.
Kamu diam saja. Lebih memperhatikan apa yang akan dilakukan Solar. Tampaknya pemuda itu berusaha mengumpulkan kesadaran, meski beberapa kali meringis sakit saat berusaha menggerakkan kepalanya.
Solar akhirnya memiringkan kepalanya ke arahmu. Dan mata kalian saling bersitatap.
"Kamu sudah sadar," ujarmu.
Solar tidak ada niat menjawab. Mungkin akibat kepalanya yang pusing karena tertidur seharian, dahinya terlihat berkerut.
"Kalau masih pusing, tidurlah. Aku akan mengabari saudara-saudaramu bahwa kamu telah sadar."
Solar menggerakkan mulutnya. Kemudian berkata dengan lirih, "Sa ... kit ..."
"Apanya yang sakit? Kamu baik-baik saja? Butuh minum atau sesuatu?" Kamu panik. Meski rona pucat itu belum hilang seutuhnya, mendengar Solar berkata seperti itu membuatmu berpikir apa yang terjadi padanya.
Solar menutup matanya. Bulir-bulir air mata mengaliri pipi. Ia tiba-tiba saja terisak dengan suara yang amat kecil.
Apa yang sakit?
Kamu pada akhirnya cuma mencomot sehelai tisu dan mengelap air mata Solar dengan pelan. Pemuda itu masih saja menangis. Namun tidak ada satu pun gerakan besar yang ia buat.
"Solar ..."
Tidak tahu kenapa pemuda itu tiba-tiba bangun dan menangis seolah baru saja bermimpi buruk. Kamu menggenggam tangannya, menguatkan.
Solar memiringkan badan. Membuatmu bisa mengelus punggungnya dengan lembut.
Tangisan itu berhenti. Dilanjut dengan diamnya Solar tanpa berkata apa-apa. Ia memandang kue yang kamu letakkan di atas nakas.
Kamu menyadarinya. Mengambil kue itu dengan jemarimu. "Mau? Buka mulutmu."
Solar memakannya dari suapan mu. Setelah memakan beberapa butir kue. Perlahan rona pucat itu menghilang. Seolah ada sesuatu di kue itu, mungkin layaknya sihir penyembuh.
Setelah minum. Solar tampaknya kembali terlelap.
Hal yang sebenarnya ingin kamu tertawakan. Tapi, melihat tatapan mata Solar sebelumnya. Bisa kamu rasakan rasa takut. Solar mungkin saja habis melihat sesuatu yang menakutkan hingga bermimpi buruk.
Kamu melirik kue, mencicipinya sebutir.
"Ah."
Kamu tidak bisa berkata-kata. Rasa kuenya memang seperti kue biasa. Tetapi setelah memakannya, seolah-olah tubuhmu terasa sangat ringan.
Mungkin saja Aru membuatnya menggunakan sihir. Meski rasanya biasa saja, efeknya sangat bagus untuk pemulihan.
Sudah tidak ada urusan kamu berada di tempat ini. Segera kamu beranjak dari ruang kesehatan. Berpikir untuk memberitahu para saudara Solar tentang keadaan Solar.
Kamu menyusuri lorong-lorong panjang yang kosong. Karena ini adalah malam hari, jadi tentu saja kebanyakan siswa memilih untuk berada di asrama daripada berkeliaran.
"Ru, bagaimana kalau kita hentikan saja?"
Langkahmu terhenti karena suara yang familiar. Tubuhmu langsung menempel ke tembok, berusaha menguping. Matamu mengintip dari celah dinding, menemukan sosok Aru dan Taufan yang saling mengobrol di sebelah tangga.
Tampaknya Aru tidak menjawab apapun. Hanya menatap sosok Taufan sambil bersedekap.
"Sampai kapan? Aku cuma lelah terus berbohong seperti ini pada yang lain?"
Aneh. Taufan berbicara sendiri. Dan Aru hanya diam saja.
Tak lama. Aru mendorong Taufan ke samping dan pergi begitu saja. Tidak ada sepatah kata pun yang diucapkan dari mulutnya.
Ini seperti kamu melihat seseorang sedang dicampakkan.
Taufan tampak termanggu. Memandang sosok Aru yang akhirnya menghilang dari pandangan.
"Blu, ya?"
Gasp.
Karena sudah ketahuan. Kamu memunculkan diri dari tembok dengan ekspresi seperti tidak bersalah. Dan menyapa dengan santai pula.
"Haha ... Halo?"
"Menguping?" tanya Taufan. Kamu menggelengkan kepala dengan cepat sembari memberikan tanda silang dengan tangan.
"Aku baru datang kok."
Dia mendekatimu. Menepuk kepalamu dua kali dengan pelan.
"Anggap saja tidak mendengar apa-apa, ya?"
Setelah itu Taufan pergi begitu saja. Berlalu di arah berlawanan dengan yang Aru ambil. Kamu berdiri di sana dengan kebingungan.
"Mamah, aku takut."
.
.
.
Kamu melamun, jelas karena kejadian sebelumnya. Batinmu semakin bertanya-tanya. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua. Dan hubungan apa yang mereka punya.
Tidak, kamu bukan cemburu atau penasaran dengan hubungan relantioship yang diam-diam ini. Kamu bahkan tidak pernah berpikiran seperti itu sejak awal. Yang kamu pikirkan justru tentang hal dan rencana apa yang diperbuat oleh Aru dan Taufan.
Pikiranmu mulai menggeliat kemana-mana.
'Apa mereka adalah penyihir hitam yang disebut-sebut Solar?'
Kamu menampar dirimu sendiri karena memikirkan itu. Membuat Taufan dan Solar yang duduk di sebelahmu jadi kaget. Taufan menatapmu dengan pandangan khawatir. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya.
Lihat, bahkan wajah Taufan tidak terlihat habis melakukan kejahatan besar.
Atau bisa jadi Aru dan Taufan memiliki hubungan khusus. Seperti--
"Perhatian kepada semua murid. Tolong segera berkumpul di lapangan, segera!"
Berhenti untuk mulai berpikir aneh-aneh. Kamu dan yang lain segera mengikuti instruksi untuk pergi ke lapangan secepat mungkin. Di sepanjang jalan, banyak murid-murid mulai berbisik satu sama lain tentang kecurigaan mereka dipanggil ke lapangan. Tampaknya, akan ada sebuah pengumuman tentang kekacaunan tempo hari.
Begitu semua murid keluar dan berbaris rapi di lapangan. Muncul Ketua OSIS--Kaizo--yang berdiri di podium, tepat di hadapan seluruh murid. Di kiri dan kanannya, ada Lahap dan Arie yang mendampingi.
Kaizo mulai meraih mic di hadapannya untuk berbicara.
"Kalian semua pasti tahu alasan kalian dipanggil ke lapangan, bukan?"
Lagi-lagi para siswa berbisik-bisik.
"Karena kejadian tempo hari, di mana kita mendapat kerusakan besar. Hal ini membuat para OSIS dan guru-guru menjadi kewalahan untuk mencari tahu penyebab kejadian tersebut. Dan hari ini, kami akan menghimbau untuk semua murid untuk tidak melangkahkan kaki keluar dari akademi, sedikit pun."
Terdengar sorak-sorak kecewa. Peraturan OSIS semakin di perketat, semua murid mulai tercekik.
"Kalian akan dijaga 24 jam oleh OSIS keamanan. Jika ada yang bertindak mencurigakan, kami akan segera menyeretnya ke ruang isolasi."
Meski semua murid jelas tidak setuju. Tapi tidak ada satu pun dari mereka yang berani untuk membantah OSIS. Bukan hanya kejam, menurut mereka, OSIS tahun ini sungguh tidak manusiawi.
Padahal menurut sudut pandangmu, itu adalah upaya kerja keras para OSIS untuk mengamankan para siswa dari kejahatan dan kekacauan lainnya. Apalagi upaya pembunuhan yang dilakukan oleh siswa kerasukan kemarin bukanlah main-main. Jika malam itu tidak ada OSIS yang berjaga, dipastikan akan ada banyak korban jiwa.
"Keamanan di siang hari akan dipantau oleh Lahap dan Arie. Dan keamanan malam hari akan dipantau oleh Aru. Saya harap kalian semua tetap menurut pada peraturan disini. Itu saja, silahkan kembali ke kelas masing-masing."
Pengumuman selesai, dan semua murid bubar.
.
.
.
Di sore hari, masih ada beberapa murid yang berkeliaran di halaman sekolah. Begitu juga para OSIS yang terus-menerus terlihat di setiap sisi. Benar-benar dijaga ketat.
Kamu hanya melihat dari balik jendela kamar asramamu. Melalui lantai 5, kamu bisa melihat semuanya dengan jelas.
Sosok Arie muncul dari sisi gedung sambil berlari ke arah Lahap. Tak lama saling berbicara, Arie pergi entah kemana. Sementara Lahap masih terus memantau keamanan seorang diri.
Kamu mendengkus napas dengan kasar, kesal karena peluang untuk keluar dari sini semakin menipis. Entah apa yang terjadi di tempat asalmu, mungkin saja ayahmu sudah melaporkanmu sebagai orang hilang.
"Aku jadi rindu coklat panas buatan ayah."
Kamu ingin kembali, bertemu ayahmu.
"Dunia sihir bahkan tidak bisa membuat keajaiban. Ibu masih tetap tiada, ayah juga tidak pulang kerumah."
Kamu duduk di tepi kasur sambil menekuk lutut. Menenggelamkan kepada di balik lipatan tangan.
"Meski sihir nyata, dia tetap tidak bisa membuat hidupku indah seperti dongeng."
"Jangan bersedih, Blu."
Kamu menengadahkan kepala karena terkejut. Ada suara yang tiba-tiba masuk ke dalam kepalamu. Kamu menoleh ke kiri dan kanan. Mengecek apakah ada orang disana.
Matamu melihat keluar jendela. Menemukan sosok familiar berdiri di tengah-tengah lapangan, menatap ke arahmu. syal dan hijabnya berterbangan karena angin yang berhembus. Mata senjanya terlihat berkilauan akibat pancaran cahaya sore.
Kalian saling bersitatap dengan jarak yang jauh. Setelah itu, Aru memalingkan wajahnya dan pergi dari sana.
Kamu diam-diam tersenyum. Rambut hitam legammu berterbangan dihempas angin yang masuk melalui jendela. Tangan kirimu menyelipkan rambut ke telinga, menunduk sedikit.
"Mungkin setidaknya, sihir telah mengelurkanku dari dunia hitam putih."
Teman, Kebaikan, bahkan rasa penasaran yang tidak pernah kamu dapatkan di tempat asalmu. Kamu dapatkan disini. Persetan dengan beberapa orang yang bersikap acuh, kamu akan menembus dindingnya dan datang ke sana.
Meski bukan Aru yang mengatakan itu. Meski entah suara siapa yang muncul.
Mungkin suatu hari nanti, kamu bisa menemukan kebenarannya.
"Yang lain sedang apa, ya?"
Kamu menarik cardigan dan pergi keluar asrama. Tanpa sengaja bertemu dengan teman-teman sekelasmu yang sedang berkumpul, baru hendak bertemu tampaknya.
"Blu, astaga, aku dan Ying baru akan ke kamarmu." Yaya menyambut dengan gembira.
"Lengkap dong? Yaudah ayo jalan-jalan sore sebelum OSIS ngusir kita." Gopal terkekeh. berjalan duluan lalu diiringi yang lain.
"Solar udah sembuh? Gapapa tuh jalan-jalan? Nanti pingsan~" goda Fang yang malah terkikik. Solar memutar bola mata dengan tampang malas. Ia justru menyingkir dan berjalan di sampingmu.
"Kamu," panggil Solar tanpa melihat ke arahmu, dia memalingkan wajahnya.
"Ya?"
"Makasih buat kuenya. Aku langsung segar setelah memakan itu."
Entah mengapa, tapi kamu lihat semburat merah di pipi lelaki itu.
Meski bukan kamu yang membuat kuenya, sesuai janji, kamu tidak akan memberitahukannya. "Sama-sama, untunglah kamu suka kuenya."
Mungkin kalau bertemu Aru, kamu bisa menyampaikan rasa terima kasih Solar ke dirinya.
.
.
.
"Hatchi!!"
"Kamu flu?" Lahap kaget mendengar suara bersin yang tiba-tiba.
Aru menggosok hidungnya. "Ah, enggak. Kayaknya ada yang ngomongin aku."
Lahap tertawa sembari merapikan segenggam kertas. "Bukan kayaknya, tapi hampir semua murid di sekolah kan memang suka ngomongin kamu."
"Aku anggap itu pujian, pak."
"Aku hanya setahun lebih tua darimu."
Acuh, Aru pergi dari sana. Tidak mau mendengar bacotan dari Lahap lagi.
"Hei, astaga bocah itu," gerutu Lahap. Kaizo menyungging senyum, lucu melihat tingkah anak-anak buahnya yang suka ribut--kecuali Aru.
"Sudahlah Lahap, kamu sudah tau bahwa jokesmu dan jokes Aru tidak nyambung. Percuma saja kalian mengobrol, kalian tidak menemukan titik pembicaraan yang pas." Kaizo bukannya membantu, malah memberi ceramah tidak jelas. Membuat Lahap yang mendengarnya langsung cemberut.
"Kau juga sama saja, Ketua. Kau bahkan tidak bisa membuat Jokes."
"Hei--"
Lahap juga langsung kabur sebelum Kaizo memukul kepalanya.
.
.
.
***tbc***
A/n:
Ciao
Sudah berapa lama Book ini tidak lanjut?
Hari ini saya melanjutkannya atas permintaan adek bungsu yang keras kepala, ingin tahu ending katanya.
Tapi sy tdk mau spoiler.
Jadilah saya coretterpaksacoret melanjukan book ini dengan kekuatan maksimal. (Apa itu ide?)
Itu saja, selamat menunggu chap selanjutnya yang entah kapan akan dilanjut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top