Duo

Terakhir kali, kamu ditangkap oleh seseorang dan kamu berakhir tidak sadarkan diri. Seolah terhipnotis, pandanganmu menggelap. Sudah cukup dengan kejadian aneh ini. Kamu berpikir apakah jangan-jangan dirimu diculik.

Tapi, untuk apa seseorang pemuda tampan itu menculiknya?

Samar-samar kamu mulai tersadar. Jarimu bergerak. Kelopak matamu perlahan terbuka. Iris sebiru laut itu menatap langit-langit ruangan yang asing dan gelap.

Merasakan ada cahaya dari arah kanan. Kamu melirik ke arah kanan dengan mata menyipit karena silau. Setelah beradaptasi dengan cahaya yang ternyata berasal dari jendela. Kamu bisa melihat tiga sosok orang asing yang juga berada di tempat ini.

"Dia bangun."

Kamu sontak terduduk. Menyadari ada sebuah selimut menutupi tubuhmu, kamu menyingkirkannya lebih dulu.

"Siapa kalian? Saya dimana?"

Kamu mulai panik. Matamu melirik ke ketiga orang itu satu-persatu. Lalu pandanganmu terhenti ke sosok perempuan yang kamu ingat.

Manik senjanya menatapmu dalam bisu. Dia adalah si gadis yang masuk ke dalam kereta dan menghilang.

"Sepertinya dia cuma manusia biasa," ujar seseorang yang duduk membelakangi cahaya dari jendela itu. Meski samar-samar terlihat, dia rupanya adalah seorang pria tua pendek dengan kacamata hitam besar.

Gadis tadi tidak mengatakan apa-apa. Hanya diam bersandar pada sebuah lemari, dengan melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya dia sama sekali tidak peduli dengan keadaanmu.

Sementara satu orang lagi. Itu adalah pemuda yang malam itu menangkap mu. Kamu ingat jelas bagaimana mata merah pekatnya itu melihatmu dan pin emasnya yang berkilau.

"Aru, bagaimana menurutmu?" Lelaki itu bertanya. Meski si gadis bernama Aru itu berdecak, ia sama sekali tidak mengubah posisinya.

"Itu bukan salah saya sama sekali."

Meski menohok, itu adalah sebuah kebenaran. Faktanya, kamu lah yang tiba-tiba muncul dari semak-semak dan mengikutinya masuk ke dalam kereta. Dan akhirnya tiba di sini dengan tampang seperti orang bodoh.

"Arie?"

Pria tua itu mencoba meminta pendapat. Arie terdiam sejenak, menatap antara Aru dan dirimu. Ia mengutarakan pendapat pribadinya.

"Kita kembalikan saja dia dan hapus ingatannya."

Sebuah pendapat yang bijaksana. Aru tampak tidak mempermasalahkan hal tersebut. Begitu juga si pria tua di hadapannya.

"Kalau begitu, hapuslah ingatannya dan kembalikan dia ke tempat asalnya." Pria itu melirik ke arah Aru sambil berdiri dari tempat duduknya. "Itu tugasmu."

"Saya saja," tukas Arie. Melihat si Aru yang enggan di salahkan atas kejadian ini. Arie mengambil alih. Tidak ingin gadis itu semakin menjadi kesal.

Arie mendekatimu. Kamu terdiam, tidak tahu harus apa. Begitu tongkat kayu itu berada tepat di hadapanmu, sebuah mantra dirapalkan.

Mulutmu terkunci. Saat tiba-tiba muncul cahaya biru yang meledak, ada angin kuat yang berhembus. Arie mundur beberapa langkah, terkejut dengan ledakan kecil itu.

Pria tua tersebut menatap tak percaya. Aru melirik dengan mata senjanya.

Suasana mendadak sunyi. Kamu terdiam tanpa berkata-kata. Terkejut juga karena ledakan dan angin itu.

"Ditolak?" ungkap Pria itu tak percaya.

Sihir setingkat Arie yang kuat. Bisa-bisanya gagal oleh seorang manusia.

"Mungkin ... dia bukan manusia."

Perkataan Aru membuat semua yang ada di ruangan terdiam.

Meski enggan percaya. Pria tua itu tiba-tiba menyodorkan sebuah pin tanpa warna. Kamu disuruh menyentuh benda itu. Tanpa banyak pikir, ujung jarimu menyentuh benda itu.

Pin yang polos itu berubah warna menjadi perak. Mereka terperangah.

"Dia memiliki kekuatan sihir?"

Pria itu menarik tanganmu, menaruh pin berwarna perak itu ke tanganmu. Terlihat tersenyum sumringah ke arah mu.

"Nama saya Kokoci, saya kepala sekolah dari Tapops akademi."

"Selamat datang di sekolah sihir. Mulai sekarang, kamu adalah murid disini."

.

.

.

Kabur dari rumah, tersesat, lalu diculik. Bangun-bangun, kamu diterima menjadi murid.

Meski kamu menolak dan bersikeras untuk kembali saja. Kamu tidak diperbolehkan kembali karena ingatanmu tidak bisa dihapus.

Satu hal, kamu yakin bahwa kamu bukanlah seorang penyihir. Tidak pernah ada hal-hal spiritual yang terjadi dalam hidupmu.

Kamu menggenggam kalung pecahan berwarna biru yang berada di balik bajumu. Entah kenapa, kamu sangat yakin bahwa ledakannya berasal dari sini.

Rasanya seperti batu inilah yang memiliki kekuatan.

Tapi, kamu tidak bisa membicarakannya dengan mereka. Bisa-bisa, kalung itu di ambil dan ingatanmu tentang itu bisa dihapus. Padahal hanya benda itulah satu-satunya peninggalan ibumu.

Omong-omong soal menjadi murid. Kamu langsung di tempatkan di sebuah kamar asrama perempuan. Sama sekali tidak sempat kamu untuk pulang ke rumah bahkan untuk mengambil beberapa pakaian saja atau berpamitan dengan ayahmu.

Ya sudahlah, awalnya kamu juga kabur dari rumah. Dengan begini, kamu tidak perlu takut kelaparan di tengah jalan. Atau tidur di pinggir jalan. Intinya, tempat ini mungkin lebih baik.

Masalahnya, jika kamu ketahuan tidak memiliki sihir. Nyawamu berada dalam bahaya.

Tok! Tok!

"Blu? Kamu sudah selesai?"

Suara itu, suara Arie. Kamu buru-buru memakai seragam dan jubah baru mu. Tidak lupa dengan pin berwarna perak yang tergantung di dada kirimu.

Kamu biarkan rambut hitam milikmu tergerai. Segera kamu buka pintu dan menghampiri Arie yang sedari tadi diam menunggu.

Kamu menatap wajahnya. Wah, memang tampan rupanya.

"Ayo ke kelas, kita sudah terlambat."

Kalian berdua berjalan beriringan di lorong asrama yang sepi.

Jika kamu bertanya-tanya kenapa Arie yang seorang lelaki bisa berada di asrama perempuan. Jawabannya ada dua.

Pertama. Arie adalah kepercayaan kepsek begitu juga dengan Aru. Mereka berdua tidak mungkin tidak dikenal di akademi ini. Mereka adalah OSIS, yang disegani seluruh murid.

Kedua. Awalnya Aru yang disuruh mengajak mu berkeliling dan membawamu ke kelas. Akan tetapi, Aru menolak dan menghilang detik itu juga. Entah kenapa dan lagi-lagi Arie yang mengajukan diri.

Dirimu bisa berpikir bahwa Arie sangat perhatian kepada Aru. Entah hubungan apa yang mereka punya hingga bisa seperti itu. Namun sepertinya, Aru tidak peduli akan sosok Arie yang selalu menggantikannya.

Tragis sekali nasib Arie. Seperti pemeran kedua laki-laki dalam cerita manhwa. Sosok lelaki baik seperti Arie biasanya tidak dipilih.

Andaikan kamu adalah tokoh utama. Mungkin kamu lebih memilih Arie dan menyayanginya. Karena terlihat jelas lelaki tulus dari tatapan matanya.

Meski terkadang, Arie bisa menyeramkan juga. Menculik dan menghipnotis. Wah, kamu berpikir apa bisa belajar hal seperti itu juga nantinya.

Mungkin setelah itu, kamu bisa menghipnotis ayahmu untuk tidak jadi menikahi siapapun. Dan memiliki banyak waktu untukmu. Seperti ayah dan anak. Kamu hanya ingin menghabiskan waktu bersama keluargamu yang tersisa.

Andaikan kamu punya kakak atau adik. Mungkin tidak akan se-kesepian itu rasanya.

"Kita sampai," ujar Arie ketika kalian berdua berhenti di sebuah pintu kelas yang besar dan terbuat dari kayu. Terdapat ukiran-ukiran magistik yang memukai.

Pintu kelas dibuka olehnya. Semua perhatian murid yang ada di dalam kelas pun tertuju pada mu dan Arie.

"Maaf, saya terlambat. Saya mengantarkan murid baru." Arie menunduk singkat. Saat seorang yang diduga guru itu melihatmu, ia melambaikan tangannya, menyuruhmu mendekat.

Kamu mendekatinya. Berdiri di depan podium kelas. Ia berkata, "Perkenalkan dirimu."

Kamu melihat ke depan, di mana semua murid penyihir tengah menatap ke arahmu.

Ah sial, tanganmu bergetar karena gugup.

"H-halo! Namaku Blu, salam kenal." Perkenalan yang terlampau singkat. Membuat murid bertanya-tanya.

"Itu saja?" tanya si guru dengan keheranan. Kamu mengangguk mengiyakan. Guru itu menghela napas. "Duduk di sebelah Taufan."

Begitu nama seseorang disebut. Kamu melihat, siapa kira-kira orangnya. Dan tibalah seseorang bermata biru mengangkat tangannya sambil tersenyum.

Kamu menunduk berterima kasih. Lalu buru-buru mendekati Taufan dan duduk di sebelahnya.

Posisi tempat duduk kalian ada di barisan paling belakang. Karena gaya tempat duduknya adalah semakin ke belakang semakin tinggi. Kalian berada di tangga paling atas.

Bukan hanya Taufan. Ada seseorang lagi di sebelahnya. Dan wajah mereka mirip. Mereka berdua sama-sama memakai pin berwarna perak, sama seperti dirimu.

Kamu mencari keberadaan Arie. Ternyata pemuda itu duduk di barisan paling depan. Namun, hanya sendirian. Tidak ada orang di sebelahnya.

Kamu menopang dagu, menyimak pelajaran sihir yang terasa aneh dan baru ini. Semuanya terdengar asing. Bahkan bahasa-bahasa dan teori yang membuatmu sedikit pusing.

Membaca di bukunya juga sama saja anehnya. Tulisan-tulisan aksara yang sulit di pahami.

.

.

.

Pelajaran akhirnya selesai tanpa kamu mengerti satu pun. Taufan mengubah posisi untuk melihat ke arahmu. Senyumannya lebar dan cerah, membuatmu sedikit terkesima.

"Namaku Taufan, salam kenal Blu." Taufan menjulurkan tangannya. Kamu menyambut dan bersalaman dengannya.

Begitu tangan kalian berdua terlepas. Taufan lanjut berbicara lagi. "Kamu siswa pindahan? Baru pertama kali kulihat siswa yang baru datang di tengah-tengah kurikulum."

Perkataan Taufan benar. Belum pernah ada siswa pindahan karena semua murid penyihir selalu diundang setiap tahun ketika penerimaan murid. Jadi, keadaan kamu saat ini adalah sesuatu hal yang baru.

"Yah, mungkin mereka baru menyadari potensiku?"

Tidak salah, mereka memang baru melihatmu.

"Begitu." Taufan kemudian melihat ke arah yang lain. "Omong-omong, ini adik bungsuku," ujarnya sambil menunjuk ke arah seseorang yang duduk di sebelahnya.

"Namanya Solar."

Solar tidak menoleh. Terlampau fokus dengan bacaannya.

"Itu juga saudara-saudaraku. Tapi ada satu orang lagi sih, dia lagi dihukum hahaha."

Mendengarnya, kamu tahu bahwa itu adalah salah satu pemuda yang kamu lihat tadi malam. Yang bermanik hijau zamrud. Karena wajah mereka sama persis.

"Apa ada yang ingin kamu tanyakan? Kalau ada, tanyakan saja," tawarnya.

Kamu berpikir. Mencubit dagu. Lalu akhirnya membuka mulut, "Apa kamu kenal dengan Aru?"

Taufan tampak tersentak saat kamu menyebut nama itu. "Eh, iya. Kenapa?"

"Apa dia ada di kelas ini?"

"Iya." Taufan melirik ke arah Arie yang duduk sendirian. "Dia duduk di sebelah Arie. Tapi, dia tidak pernah datang ke kelas."

Kamu memasang ekspresi kecewa. "Kenapa?"

"Aku kurang tahu sih. Tapi kurasa kamu jangan terlalu mencari tahu soal dia."

Dahimu mengernyit. "Kenapa?"

Dia diam sejenak. Bibirnya tidak lepas dari kata tersenyum.

"Karena yang mencari tahu soal dia, bukan cuma kamu seorang."

.

.

.

***tbc***

A/n:

Kalung biru seperti pecahan batu. Mungkinkah?

Di chapter kali ini, sosok lainnya masih misteri. Keberadaan Aru dan Arie yang masih dipertanyakan kenapa masuk ke dalam cerita.

Kira-kira, kenapa Taufan mengatakan hal seperti itu? Dan apa maksudnya? Kalau yang sebelumnya sudah sempat membaca book ini, pasti tahu alasannya.

Meski book ini dirombak habis-habisan. Karakter villain dan ending masih sama. Karena saya berharap kalian menebak semua plotwist di cerita ini dengan benar.

Itu saja. See you.

[06.06.2023]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top