16. Father's Confession

Honesty is hardly ever heard
And mostly what I need from you


Aku kembali!!!

***

Ara

"Jadi jam berapa kau akan kembali?" aku dapat melihat Soojin mengikutiku dengan matanya yang melihatku bersiap-siap untuk pergi. Memasukkan dompet dan ponsel, kemudian liptint kedalam tas selempang hitam lalu berjalan kearah lemari untuk mengambil mantel.

"Aku tidak bisa mengatakannya. Jangan menungguku, kau pergi saja dengan Hana. Aku akan menyusul jika aku sudah selesai dengan urusanku." Balasku sembari mengenakan mantel.

"Jungsik Seoul Restaurant?" tanyanya. Aku mengangguk.

"Akhirnya kau bertemu dengan ayahmu?"

"Iya, Soojin." aku menatapnya. Kini ia duduk di tempat tidurku sambil memeluk Tata. Matanya menatapku sejenak lalu menelengkan kepalanya.

"What?"

"I don't know... you look so nervous. Dari yang kau ceritakan padaku, harusnya kau senang ia membuat janji untuk bertemu denganmu. Bukan begitu?"

"Entahlah, Soojin." balasku. Setelah aku selesai mengenakan sepatuku aku kembali menghadapnya. "Bagaimana jika ia tidak menyukaiku? Kau tahu bukan, aku belum pernah bertemu dengannya..."

"Tenanglah, kalau dia yang membuat janji temu, berarti ia memang ingin sekali bertemu." Kata-kata Soojin yang terdengar menenangkan membuatku lega. Sebenarnya bukan itu yang kutakutkan.

Bagaiama jika ia tidak menyukaiku?

"Sudahlah, jangan berpikir yang tidak-tidak. I'm pretty sure that you would have a delightfull night with your long lost father." Aku tersenyum mendengarkan ucapan Soojin.

***

Dari kampusku menuju Jungsik Seoul Restaurant sebenarnya tidak dekat. Aku harus berganti kereta sebanyak 2 kali dari Korea University Station Anamdong menuju Cheongdam-dong, Gangnam-gu.

Jungsik Seoul berada dekat dengan Apgujeong Station. Aku rasa tadi aku melewati jembatan, tapi aku tidak tahu namanya. Apakah Seongsu? Dongho? Lain kali jika aku pergi dengan Soojin dan Hana aku akan mengingat-ingat lagi.

Saat aku tiba disini, hari sudah menunjukkan pukul 6.45. Sedikit banyaknya aku bersyukur ia meminta untuk bertemu pukul 7. Sehingga aku tidak perlu kebingungan mencari stasiun kereta pada malam hari.

Aku akan mengingat rute pulang dengan baik. Atau aku akan menelfon Soojin atau Taehyung. Hana tidak bisa diharapkan, ia buta jalan sama denganku.

Mengapa Taehyung? Park Ara kau siapa memangnya?

Dan aku sangat bersyukur aku sempat menanyakan kepada Soojin restoran seperti apa Jungsik Seoul sehingga aku dapat mengenakan pakaian yang pantas. Dari depan aku bisa menebak ini adalah restoran mahal berbintang.

Interiornya modern minimalis. Saat kau masuk kau akan langusng disambut oleh pelayan dengan senyum manis mereka. Tempat seperti ini membuatku bingung sebenarnya. Perlahan aku berjalan menuju meja diujung lorong. Disambut oleh pelayan yang sedari awal melihatku berjalan telah menyunggingkan senyumnya.

"Selamat Malam. Anda sendirian, nona?" sapanya dengan suara lembut. Membuatku semakin grogi.

"Um, ya. Eh, tidak. Aku ada janji dengan seseorang..." bagaimana aku menjelaskannya, aku malah takut salah bicara. "A-aku ada janji temu dengan Park−"

"Dia bersamaku." Suara itu membuat aku dan si pelayan seketika menoleh. Si pelayan dengan cepat berdiri dan kemudian membungkuk pada pria yang kini berdiri diantara kami.

Pakaiannya selalu rapi. Selalu dengan setelan jas lengkap dengan dasi dan sapu tangan yang terlipat rapi di sakunya. Sepatunya bersih. Aku selalu memperhatikan sepatunya, karena aku menghindari tatapannya dengan menundukan kepalaku. Setelah kejadian di Departemen Ekonomi Bisnis aku tidak lagi memiliki keberanian sebesar itu untuk menatap tepat pada matanya.

"Kemarilah, ikut aku." lalu ia berjalan kearah tangga. Kuikuti dengan pelan dibelakangnya.

"Tegakkan kepalamu. Lehermu akan sakit jika menunduk seperti itu." ucapnya setelah aku telah berada disampingnya. Aku menurut saja.

Ia memilih tempat paling ujung persis dekat jendela. Mejanya luas dilengkapi dengan sofa beludru berwarna ungu melingkar disisinya, mungkin bisa didududki oleh 4 atau 5 orang. Apakah ada orang yang diundangnya selain aku? Atau ia ingin membuatku nyaman dengan duduk tidak terlalu dekat dengannya?

"Duduklah." aku mengikuti katanya. Masih dengan diam.

***

"Apa kau memang pendiam seperti ini?" aku menegakkan kepalaku. Ia tidak menatapku. Sebagai gantinya ia menatap hidangan appetizer yang kami makan. Sendoknya menari-nari walaupun sejak tadi tidak ada yang ia makan. Tidak sepertiku yang dengan diam perlahan menyuapi scallops yang ada dihadapanku dengan tenang. Ini enak.

"Aku suka makan disini." ucapnya. Sekarang ia terdengar seperti melakukan monolog terhadap dirinya sendiri. aku tetap mendengarkan.

Aku masih belum ingin mengeluarkan suara. Pikiranku masih mencerna fakta bahwa sekarang dihadapanku adalah orang yang selama ini selalu kutanyakan pada ibu. Yang selalu membuatku penasaran, dan selalu dibela oleh ibu saat aku kesal dan marah.

Disatu sisi aku takut, ketika aku memberanikan diriku untuk bersuara dan bertanya padanya, aku tidak akan bisa berhenti meminta jawaban.

Bagaimana kabarmu? Apa kau sehat-sehat saja? Kenapa pergi dari ibu? Apa kau tidak rindu padanya? Bagaimana denganku? Apa kau bahagia disini? Apa kau pernah mengajak ibu makan ditempat seperti ini? Kalau iya pasti ibu merutuk-rutuk karena tampat seperti ini membuat badannya pegal.

"Tempat ini juga jauh dari rumahku. Jadi kita sama-sama menempuh jarak yang jauh juga untuk bisa bertemu." Ia kembali melanjutkan. "Bedanya aku sudah tiba disini dari 2 jam sebelum kau datang." Aku telah selesai dengan scallopsku dan meneguk air putih sesudahnya.

"Aku bertanya-tanya apakah kau akan tersesat? Atau apa seharusnya aku saja yang menjemputmu dari asrama. Aku takut kau tersesat. Aku sangat gusar dan tidak nyaman, menunggu 2 jam tadi sangat menyiksa."

"Tapi setelah aku melihatmu dari sini hatiku lega. Aku sedikit takut kau tidak datang. Atau kau tidak menemukan pesan yang kukirim." ia menaruh sendoknya lalu menatapku. Untuk pertama kalinya sejak 40 menit yang lalu, aku menatap matanya.

"Aku tahu siapa kau saat kau mendatangiku. Bagaimana bisa dengan wajahmu... dan kalung* itu− sejak saat itu aku tidak berhenti memikirkan bagaimana caranya agar kita bisa bertemu. Apakah di kedai ramyeon yang biasa kau datangi dengan temanmu, atau subway sandwitch didekat toko buku kesukaanmu."

(*Chapter 2)

"Kuputuskan disini, karena aku ingin tempat yang nyaman untuk mengenalmu lebih dekat. Kuharap kau tidak seperti ibumu yang selalu mengeluh kakinya sakit karna harus duduk dengan tegap dan mengenakan sepatu tinggi." Ia terkekeh.

"Aku sudah memilihkan kursi yang nyaman agar kau bisa duduk dengan melemaskan kaki-kakimu. Dulu saat masih disana aku dan ibumu lebih senang makan dipinggiran jalan. Aku senang, tapi aku ingin membawanya ke restoran yang rapi dan memperlakukannya seperti tuan putri. Dia malah tertawa dan mengunci pintu kos nya saat aku datang menjeputnya." Jelasnya sambil menggelengkan kepalanya. Lagi-lagi tersenyum, seakan mengingat kejadian yang lucu.

"Kalung yang kau pakai, itu adalah pemberianku. Aku yang memilihkannya. Kubeli disini saat libur kuliah." Ia melepaskan kacamatanya, menunduk. Aku masih diam mendengarkan dengan baik. Sedikit terkejut karena ia tahu tempat-tempat dimana aku biasa menghabiskan waktu dengan Soojin dan Hana.

"Kau tahu," aku kembali memfokuskan diriku padanya. "Ada 5 warna inti Korea Selatan. Merah, putih, biru, hitam dan kuning. Selain melambangkan mata angin, 5 warna itu juga melambangkan sifat manusia.* Biru melambangkan kejujuran."



"Ibumu adalah wanita paling jujur yang pernah kutemui. Dan aku menjadi orang yang paling jujur saat aku bersamanya."

~🌻~

(*Lima warna sebagai mata angin: merah sebagai selatan, putih sebagai barat, biru sebagai timur, hitam sebagai utara, dan kuning sebagai tengah. Sebagai sifat: keberanian, kebijaksanaan, kejujuran, kehormatan, dan kesetiaan.)

***

Terima kasih karena sudah menunggu
Tandai cerita ini di librarymu agar muncul notifikasi update.
Jadilah pembaca yg baik dengan memberikan vote dan comment:")

Terima kasih, aku mencintaimu💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top