1. Park Wooyoung

"I love you but i don't know you"

***

Ara

"Bu, ayah orang yang seperti apa? Ceritakan padaku" Ibu berdiri membelakangiku. Tangannya memegang wajan dan spatula sibuk dengan masakannya sedangkan aku duduk di kursi diseberangnya, mengetik dilaptopku.

Hari ini hari minggu, dua minggu sebelum aku akan meninggalkannya untuk berangkat menuju Seoul. Kuputuskan untuk menemaninya seharian penuh. Aku menolak ajakan teman-temanku yang ingin mengajakku keluar demi menemaninya, untuk kemudian diacuhkan dan sibuk memasak didapur. Bagus.

"Ayah itu baik, tinggalnya di Seoul, pekerja keras, dan-"

"Bu, Seriously?"

"Oke, oke. Sebentar." setelahnya ia menatapku. Menaruh masakannya di piring kemudian beranjak berjalan kearahku, duduk disampingku. Aku menunggu.

"Kau ingin tahu apanya?"

"Semuanya, Ayah itu orangnya seperti apa? Rupanya bagaimana? Aku tidak pernah bertemu dengannya." Aku dapat melihatnya memutar matanya saat aku berbicara. Hal yang dilakukannya ketika tidak tertarik dengan suatu permbicaraan tertentu.

"Ayah itu baik-"

"Ibuuuuu."

"Tunggu duluuu." Ucapnya sambil menahan tawa. Sumpah aku akan merengek didepannya seperti anak kecil jika aku mendengar kata 'Ayah itu baik.' lagi.

"Setidaknya beritahu aku bagaimana kalian bertemu" Ujarku. Ibu kemudian memulai ceritanya.

"Saat itu Ibu adalah mahasiswa s2 di Universitas disini. Hari itu ada Konverensi International Economic and Business. Ayah mu adalah salah satu pembicara dan mempresentasikan jurnalnya mengenai Ekonomi makro. Ibu ada dikelasnya saat ayahmu prensentasi." Ibu menatapku yang menunggunya untuk meneruskan ceritanya.

"Ayahmu, Park Wooyoung. Dia pintar, diusianya yang saat itu ia telah menulis banyak journal ekonomi. Tidak hanya itu, journalnya masuk masuk dalam beberapa website Journal International, Sage, Scopus, you name it. Bahkan tulisannya menjadi acuan di beberapa Universitas di Australia, Amerika. Sedangkan iIbu saat itu hanya bisa membaca dan menjadikannya sitasi, tidak bisa menulis. Tidak bisa seperti dirinya. Saat itu." Ada nada sombong dikalimat akhirnya, tapi aku tidak berkomentar.

"Dan setelah konverensi itu Ibu baru tahu ternyata ia adalah dosen muda, alumni pertukaran pelajar dari Seoul." Aku terus menyimaknya. Hal ini baru pertama kali kudengar, dan yang ingin sekali kudengar dari sejak dulu.

"Sejak saat itu Ibu terus belajar darinya, diskusi. Ibu ingat sekali akhirnya saat itu setelah sekian lama, Journal pertama Ibu berhasil di submit oleh Universitas dengan nama Ibu dan namanya. Beberapa tahun kemudian kami memutuskan untuk bersama. Kemudian,"

Ia tersenyum padaku, membelai rambutku dan menyangkutkan helaian yang terjatuh kebelakang telingaku.

"Setelahnya kau lahir." Aku membalas senyumannya. Aku tidak ingin mendengar kelanjutan dari ceritanya. Karena aku tahu ibu tidak akan mau bercerita tentang Ayah yang meninggalkan kami dan tak pernah kembali. Tak pernah bertemu denganku, anaknya. Dan aku tak pernah tahu alasannya mengapa, dan tak pernah berani bertanya pada Ibuku.

"Terlepas dari semuanya, Ibu punya dirimu. Dan Ibu bersyukur akan itu." gumamnya lagi.

"Happy to finally hear that story?" tanyanya.

"Very"

###

"So when you leaving Jogja again?" Yuni memperhatikanku mengosongkan isi lemari dikamarku. Ia datang kerumahku tepat disaat aku sedang merapikan barangku dan mengemas apa-apa yang akan kubawa nanti.

"Uhm, in a week i guess. Bagaimana denganmu?" Aku berhenti sejenak untuk menatapnya yang sedang memperhatikan kuku kukunya.

Yuni, adalah temanku sejak 5 tahun lalu. Bersekolah di sekolah yang sama selama itu juga. Berbeda denganku, Yuni adalah tipe perempuan ceria, cantik, energik, passion yang luar biasa dalam mendesain. Kupikir itu juga mengapa ia memilih untuk melanjutkan kuliahnya di Amerika. NYU sedang menjadi serbuan desainer muda untuk menimba ilmu. Setidaknya itulah yang kedengar darinya semenjak 2 tahun yang lalu lewat cerita-cerita antusias Yuni padaku.

"Sebulan lagi. Masih lama, beda denganmu yang ingin cepat-cepat mencari ayahmu." Aku menghiraukannya.

Seminggu lagi. Waw, that was fast. Aku duduk dilantai kamarku, melihat barang barang yang belum juga selesai kurapikan, dan barang-barang yang belum juga kukemas masuk kedalam box untuk kemudian dikirim. Hanya Tuhan, Ibu dan Yuni yang tahu betapa berdebarnya jantung ini, pergi meninggalkan kota yang membesarkanku untuk kemudian menuju Seoul, city that i never, ever step a foot on.

Terlebih lagi aku akan berada satu daratan, satu udara, satu musim, dengan Ayah yang belum pernah kutemui. Iya, diterima sebagai mahasiswi Korea University dengan beasiswa full -I repeat, full- menjadi hal yang bukan main bangganya dan tak kalah mendebarkannya.

Namun ini, the chance of meeting him one day...

"What if he's already dead?"

"What the fuck, Ara."

"Iya. Bagaimana jika dia sudah meninggal? Atau saat aku sudah bertemu dengannya, dia tidak ingat padaku? Itu possible." Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika ia sudah ada dihadapanku dan tidak mengingatku sama sekali. lemparan boneka pada muka membuatku taralihkan dari pikiranku.

"Dumb Ara." gumam Yuni. Kemudian ia berjalan kearah kududuk, mengenggam kedua tanganku dan menatapku.

"Kau akan baik-baik saja, Park Ara. Kau akan menjadi gadis cerdas mahasiswi Social Development Department of Korea University. Tidak ada yang menghalangi jalanmu untuk bersinar di Seoul. Dan kau akan bertemu dengan Ayahmu cepat atau lambat." Ucapnya.

"Tuhan akan berbaik hati padamu, percayalah padaku."

"Dan Tuhan tahu apa yang akan kulakukan jika kau melupakanku dan tidak menghubungiku selama kita berpisah" Ujarnya kemudian menyeringai padaku.

"Yaaa aish- you're creepy get away!"

Tak lama kemudian yYuni pamit kepada Ibu untuk pulang. Berjanji akan ikut mengantarku ke bandara pada ibu. Ibu hanya tersenyum dan mengangguk, setelahnya kemudian ia duduk diruang tengah. Aku dapat mengetahui bahwa ia menatapku.

"Tataplah anak Ibu yang cantik ini, ia sebentar lagi akan meninggalkanmu untuk kuliah di Seoul." Aku dapat mendengar suara hembusan nafas dari hidungnya, menahan tawanya.

"Jelaskan padaku kembali apa yang kau lakukan sesampainya kau di Seoul."

"Well, sesampainya aku di Seoul aku akan langsung menuju dormitoryku menggunakan taksi lalu setibanya disana aku akan memberikan form pendaftaranku pada mereka dan mereka akan memberiku kunci kamarku kemudian aku akan menelfonmu." Jelasku. Ia mengangguk pelan.

"Besoknya aku akan mengambil student id ku dan kekantor pos untuk memeriksa apakah barangku sudah sampai nantinya walaupun aku yakin barangku akan tiba seminggu setelah aku berada disana."

"Good."

"I'm gonna be fine, Bu. I'll give you a call." Ujarku menenangkan ibu.

Ibu pintar sekali menyembunyikan perasaan khawatirnya, namun aku telah hafal dengan gerak geriknya. Tidak ada yang aku tidak tau mengenai Ibuku sekarang. "Aku tidak enak meninggalkanmu sendiri disini." Gumamku.

"Memangnya Ibu punya pilihan? Going with you its definitely not a choice. Ibumu ini punya pekerjaan yang tidak bisa ditinggal."

"Arraseo yo eomeoni" Mendengarku Ibu ternsenyum lembut.

"Your Korean is getting better"

"Iya. Sia-sia aku mengambil kursus bahasa korea selama 6 bulan jika aku tidak mempraktekkannya." Aku mendekat duduk disampingnya sambil meletakkan kepalaku dipangkuannya, berbaring sedangkan ia mengelus kepalaku.

"I'am now english and korean speaker."

"Just like your father." Ucapnya.

"Itu Hal yang baik atau hal yang buruk?"

Hening

"Tidak ada yang namanya hal buruk jika itu menyangkut dirimu. Semua yang ada pada dirimu adalah hal baik, remember that."

"Hmm glad to hear that." Belaian Ibu pada rambutku adalah hal terakhir yg lurasakan sebelum akhirnya aku tertidur dipangkuan ibuku.

~🌻~

Thank you for reading💜💜

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top