Lost in Niigata
Keesokan harinya.
Nindy kini sudah berada di Niigata dan menginap di sebuah hotel dengan konsep kamar studio, dimana terdapat dapur, ruang menonton TV, kamar mandi, balkon dan ruang tidur yang terpisah oleh sekat pintu geser.
Dia baru saja selesai sarapan dan sedang bersiap untuk berangkat ke tujuan liburannya di Niigata. Dia memakai kaos yang dilapisi sweater turtle neck, jaket, sarung tangan terakhir dia memakai coat panjang. Luar biasa lapisannya. Sementara untuk celana, dia putuskan untuk memakai legging. Lantaran cuaca begitu dingin, bahkan salju sedang turun di sana.
Usai berkaca dan merapikan penampilannya, dia tambahkan liptint pada bibir kemudian dia memasang sepatu boot pada kakinya, memakai tas slempang serta topi.
Oke. I'm ready to go.
Begitu sampai di luar, Nindy terdiam sejenak, menikmati salju yang turun ke kepalanya. Dia menengadah dan memejamkan mata, tanda bersyukur atas keindahan salju pertamanya.
Dia pun membentangkan kedua tangan ala model video klip, padahal saat itu salju lumayan deras turunnya. Tapi itu tidak menghalangi dia untuk pergi ke luar mengunjungi beberapa tempat wisata salju, salah satunya festival salju Tokamachi di sana.
Dan begitu dia membuka mata, wujud Alvaro berada di depannya, sedang memberikan sederetan gigi rapi, menertawakan Nindy.
Nindy sontak mundur karena kaget.
"Lo ngapain, Nin?"
"Harusnya gue yang tanya, elo ngapain di sini??"
'Sueekk.. Musti banget ye dia ngeliat aksi norak gue tadi?' ucap Nindy dalam hati.
"Kebetulan lagi lewat, gue nginep di sana. Tuh." Alvaro menunjukkan sebuah resort yang tak jauh dari hotel tempat Nindy menginap.
"Oh. Oke kalau gitu, gue mau jalan-jalan dulu. Selamat jalan-jalan juga buat elo, Alvaro,"
Nindy menundukkan badannya. Alvaro hanya menarik satu sudut bibirnya membalas Nindy.
Nindy pun berjalan menjauh, namun Alvaro merasa dia harus menyusul Nindy. Dia pun berlari kecil mendekati wanita itu.
Nindy menoleh cepat. "Ngapain?"
Alvaro mengangkat kedua bahunya. "Menemani. Mungkin. Kalau boleh,"
"Siapa bilang gue minta ditemenin?"
"Gue deng. Gue yang minta ditemani,"
Nindy mengerutkan wajahnya. "Kenapa nggak jalan-jalan sendiri aja sih? Kan disini banyak tujuan wisatanya. Tinggal lo pilih. Gue tuh niat liburan sendirian, tau gak?"
Alvaro berhenti berjalan. Sejujurnya dia terhentak akan jawaban Nindy. Baru kali ini, baru Nindy wanita yang menolak akan keberadaan Alvaro di sekitarnya. Selama ini, nyaris semua wanita justru ingin Alvaro berada di dekat mereka.
Nindy ikut berhenti dan menoleh ke belakang. Wajah pria itu terlalu tampan sebenarnya untuk di tolak, namun Nindy harus bertahan pada prinsip dan konsep liburan sendirian ala dia. Memang, suatu hal yang menyenangkan bisa bertemu orang yang satu rumpun dengannya, apalagi di tempat asing begini. Belum lagi, Alvaro sebenarnya juga tidak menyebalkan sih, dia cukup asyik untuk diajak ngobrol, tapi kalau Nindy tidak mengabaikan rasa itu, liburan ala dia bisa ancur minah.
Nindy menghela napas. "Gue mau ke festival salju. Lo mau ikut?"
Alvaro tersenyum dan mengangguk. Dia langsung mensejajarkan diri lagi dengan Nindy.
"Haaiisshhh, sungguh absurd liburan gue jadinya, padahal kita baru kenal." Nindy memprotes seraya melirik tajam pada Alvaro. Sebaliknya, Alvaro justru merasa senang.
***
"Lo sadar nggak, saljunya makin lebat?" tanya Alvaro.
Nindy mengangkat kedua tangannya untuk merasakan intensitas salju yang turun. "Iya sih,"
Alvaro merekatkan coat warna coklatnya tanda dia kedinginan. Hari ini, penampilan Alvaro tanpa poni, dia menarik seluruh rambutnya ke samping dengan pomade. Wajah mulus nyaris tanpa pori itu jadi makin gampang untuk diteliti.
"Kalau lo mau pulang duluan nggak apa-apa, gue masih mau di sini,"
"Yakin? Toko sudah mulai banyak yang tutup lho,"
Gara-gara ucapan Alvaro, Nindy jadi memperhatikan sekeliling. Benar juga, beberapa toko sudah tutup dan beberapa toko lainnya juga sudah bersiap mau tutup. Padahal ini lagi festival, harusnya sih masih buka.
"Nin, lapar nggak?"
Nindy menggeleng. "Tadi udah sarapan,"
"Gue belum. Mau temani gue makan nggak?"
Nindy mendengus. "Tuh kan? Gue bilang juga apa, sendiri-sendiri aja jalan-jalannya. Kan bisa. Kenapa jadi gue yang harus menemani elo sih? Iiihh." Nindy jadi sebal sendiri. Itu karena dia lagi asyik melihat-lihat barang-barang yang ada di festival.
Alvaro malah tersenyum. "I insist, Nin. Lo nggak kedinginan? Ini kayaknya sudah hujan salju."
Nindy memejamkan mata tanda sedikit bete. Namun Alvaro betul, cuaca sedang tidak mendukung dirinya untuk berjalan-jalan.
"Oke deh, kita nge-teh,"
Di tengah hujan salju, mereka pum setengah berlari menuju kedai terdekat. Begitu sampai di sana, Nindy memesan teh sementara Alvaro memesan sake dan cemilan lain.
"Kamu nggak minum?" Alvaro menawarkan sake. Nindy menggeleng.
"Not my thing. Terima kasih,"
"Izin ya, gue minum,"
"Nggak apa-apa, asal jangan sampai merepotkan gue nantinya,"
Alvaro melihat ke luar jendela. "Cuacanya lagi nggak bagus. Hujan saljunya makin lebat ditambah angin kencang, mungkin sebaiknya kita pulang saja habis ini,"
"Kita?"
"Ya. Elo. Gue juga,"
Nindy mendengus. "Anyway, gue sekarang sudah tahu alasan pertanyaan tentang kenapa gue nggak terkejut ketemu lo."
"Oh ya? Kenapa memang?" Alvaro meneguk minumannya.
"Ternyata lo seorang idol, ya?"
"Kata siapa?"
"Mbah google. Hmm.. Sebenarnya sih kata teman gw yang ngefans banget sama lo. Namanya Mikta. Tapi mendingan nggak usah ketemu dia deh ya. Orangnya binal, geragas. Bisa abis lo nanti sama dia,"
Alvaro terkekeh. Sehingga matanya langsung membentuk bulan sabit. Belum lagi senyum dikulumnya. Menambah manis.
Dalam hati Nindy berkata,'Kok ada ya pria setampan dia mau ngajak gue minum begini? Gak salah ya'
"Kalau gitu, kita telepon Mikta aja sekarang. Biar dia semakin percaya. Gimana?"
Mata Nindy berbinar. "Benar juga. Sebentar gue telepon dia dulu,"
Nindy mengeluarkan handphone lalu menekan tombol video call menelepon Mikta. Setelah cukup lama tidak diangkat, akhirnya suara Mikta terdengar. "Halo?"
"Baru bangun lo ya?"
"Ho oh. Ada apa sih? Ganggu gue tidur aja." suara Mikta yang serak menjawab pertanyaan Nindy.
Nindy pun perlahan mengarahkan kamera ke arah Alvaro. "Tebak, gue lagi sama siapa?"
Alvaro melambaikan tangannya seraya memberikan senyuman. Bibir merah muda-nya makin terlihat mencrang karena kulitnya yang putih. Pipinya pun kali ini sedikit merah karena menahan malu.
Terdengar suara menahan napas dari speaker. Lalu disusul suara gerasak gerusuk heboh, disusul pula dengan suara teriakan.
"Kenapa dia?" Nindy kembali melihat kamera, lalu dia pindah tempat duduk dan duduk di sebelah Alvaro. Senyuman di wajah Alvaro seketika menghilang dan digantikan dengan raut wajah gugup karena Nindy duduk mendekat.
"Enngg.. Nggak tahu, Mikta nya hilang dari kamera." jawab Alvaro, kembali meneguk minumannya.
"Eh si noraaakkk, kemanee luu?"
"SEBENTAR SI BANGKE LU NGGAK BILANG-BILANG MAU NELEPON BARENG ALVAROO!"
"Tuh kan, maaf ya. Dia emang begitu. Geragas."
Tak lama kemudian, wajah Mikta muncul di kamera, dengan rambut diikat dan dia sudah memoles lipstick pink pada bibirnya.
"Hai."
"Halo, saya Alvaro." Alvaro kembali melambaikan tangan.
"Aku Mikta, temannya Nindy,"
"Nggak usah sok manis, gue udah bilang ke Alvaro aslinya elo bagaimana."
Mikta nyengir. "Alvaro, maafin teman gue yang bloon itu ya, dia memang hidupnya tuh di goa, udik, jarang keluar rumah kecuali buat kuliah, traveling.. Tapi kalau bergaul tuh jarang, entah apalah jadinya dia kalau nggak temanan sama gue, mungkin dia nggak akan tahu tempat-tempat hits atau trend yang lagi hits di Indonesia, makanya dia nggak kenal elo, dia cuma memuji bilang elo cakep banget, "
"Masa?" Alvaro menoleh sedikit pada Nindy, tak sadar menyunggingkan senyum.
Nindy sih mana tahu tapi Mikta yang melihat hal tersebut langsung merasa aneh dan tanpa tersadar menyeringai senang.
"ENAK AJA. Kan elo yang tanya, cakep nggak? Gue hanya menjawab apa yang mata gue lihat doang kok,"
"Terus, katanya lo mau liburan sendirian. Tapi kok kalian barengan terus, udah sedekat apa sekarang?"
Alvaro mengibaskan kedua tangannya. "Nggak kok, kita hanya nggak sengaja ketemu, terus kita mengobrol aja, kebetulan disini lagi hujan salju jadi kita meneduh," jawab Alvaro salah tingkah.
"Dia tuh yang ngintilin gue terus,"
Mikta mengangkat kedua alisnya. "Ngomong-ngomong ya. Gue fans berat elo, Alvaro. Tapi kalau lo niat mau ngedeketin sahabat gue sih, gue ikhlas aja, nggak apa-apa. Dia perlu hiburan kenal cowok, masa mantannya cuma 1 doang, itu juga masih ngejar-ngejar dia buat balikan terus, tapi dia nggak mau. Asalkan lo konsisten aja, nanti juga dia luluh, "
"Berisik deh! Udah ah! Dadaaahhh Mikta!"
Nindy menutup telepon di tengah suara Mikta yang masih ingin menyanggah.
"Jadi...," ujar Alvaro.
Nindy berdiri bersiap pindah tempat duduk lagi. "Kok pindah?"
"Kenapa emang?"
"Em.. Nggak apa-apa sih, ya udah pindah aja," Alvaro lagi-lagi meneguk minumannya.
"Yaah Mikta benar, gue bukan anak gaul, jarang nonton TV, jarang nonton film Indonesia. Jadi.. Gue nggak tahu elo,"
"It's okay, nggak semua orang juga kok tahu Hamish Daud, Abimana Arya, Nicholas Saputra atau Iqbaal Ramadhan." jawab Alvaro.
"Lo main film doang? Apa sinetron juga? "
Alvaro menggeleng. "Sinetron nggak. Film dan variety show, gue juga main tergabung di grup orkestra sebagai pemain biola jadi gue suka tampil di drama musikal selain sebagai pemain drama juga kadang sebagai pemain musik. Gue juga host acara kuliner."
"Di TV lokal?"
Alvaro menggeleng lagi. "Gabung dengan stasiun TV luar negeri. Mostly Asia."
"Ooh.. Debut yang bikin orang-orang tergila-gila sama elo apa memangnya?"
"Film terakhir gue, yang gue jadi tentara. Di situ gue menang cukup banyak penghargaan,"
"Kayaknya pernah dengar deh. Kapan-kapan gue tonton deh ya." kata Nindy sambil melempar senyum. "Sekali lagi gue minta maaf. Ternyata elo keren juga debutnya,"
"Tapi tadi kata Mikta elo pun melempar pujian,"
"Hahah. Yaa emang lo ganteng.... Em.. Maksudnya ya karena lo cowok lah gue bilang ganteng. Kalau cewek tuh. Baru.. Gw bilang cantik. Tapi kan.. Gue nggak harus sehisteris itu juga kan ngeliat elo?"
Alvaro mengangguk sambil mengulum senyumnya.
"Tapi kata Mikta.. Gue ini pintar menyembunyikan perasaan, tapi mungkin itu karena gue lebih memilih untuk memprioritaskan yang lain yang lebih real."
"I see.., gue juga gitu kadang-kadang,"
Di tengah obrolan mereka, tiba-tiba ada suara sirene kencang sekali dan pemilik kedai seketika meminta para pengunjung untuk segera pergi meninggalkan kedai.
Alvaro dan Nindy kebingungan. "Ada apa ya?"
Kumpulan orang yang sepertinya Tim SAR sudah ada di depan kedai dan meminta mereka untuk mengikuti jalur evakuasi. Cuaca memang semakin buruk. Ini bukan lagi hujan salju, tapi badai. Dan mereka tidak sadar gara-gara keasyikan mengobrol.
"Nin,"
"Hmm?" jawab Nindy. Mereka bicara sambil berjalan bersama orang-orang lainnya yang diminta mengikuti Tim SAR untuk evakuasi.
"Aku.. Eh.. Gue.. Boleh minta nomor hp lo nggak?"
"Seriously? Dalam keadaan darurat begini?"
"Biar aku tahu keadaan kamu pas lagi situasi begini,"
Nindy memandang lekat Alvaro. Yang juga melakukan hal serupa.
'Kok manis amat ini cowok, mana tetiba bilangnya aku kamu lagi.'
"Boleh?"
"Lo tahu dimana gue menginap kan?" Nindy hanya menjawab satu kalimat itu, lalu dia melanjutkan berjalan menyusuri tempat evakuasi. Dari info yang diberikan oleh petugas, bahwa mereka semua harus kembali ke tempat tinggal masing-masing. Warga asli di rumah mereka. Sementara turis kembali ke hotel. Badai salju membuat mereka semua harus menghentikan aktivitas. Suhu udara pun semakin dingin. Tepat di depan Nindy menginap, di situlah mereka berpisah. Nindy sempatkan menengok ke arah Alvaro namun dia sudah tidak terlihat di antara kerumunan orang.
Begitu sampai di dalam kamar, Nindy buru-buru menyalakan penghangat di kamar dan merebus teh di teko. Dia melepas coat dan hanya memakai sweaternya.
"Halo?" jawab suara di seberang sana. Nindy sedang menelepon orang tuanya.
"Ma, lagi ngapain?"
"Lagi santai-santai aja. Kenapa, Nin? Kamu nggak jalan-jalan?"
"Itu dia, Nindy mau kasih kabar kalau disini sedang ada badai salju dan semua orang dievakuasi untuk tetap tinggal di dalam rumah, nggak boleh keluar."
"Ya ampuun, terus kamu dimana sekarang? Kamu baik-baik aja?"
"Nindy baik-baik aja. Tadi sih sempat keluar tapi langsung disuruh balik lagi ke tempat tinggal masing-masing. Cuacanya buruk banget. Doain nggak ada yang aneh-aneh ya, Ma. Pokoknya Nindy baik-baik aja sekarang. Mama nggak perlu khawatir,"
"Duh, ya nggak mungkin lah mama nggak khawatiir, ada-ada aja deh kamu. Nin, beneran jangan keluar dulu ya, ikuti arahan di sana aja. Kabari mama terus,"
Suara bel berkali-kali terdengar di kamar Nindy, "Ma, nanti Nindy telepon lagi ya, kayaknya ada tamu, siapa tahu ada info darurat,"
Nindy menutup telepon dan tergesa menuju pintu untuk membuka. Begitu dia buka, sosok dua orang petugas dan seorang Alvaro lengkap dengan kopernya, berdiri depan pintu. Baik Nindy dan Alvaro sama-sama kaget.
Dalam bahasa Inggris, salah satu petugas yang cakap berbahasa asing mengatakan bahwa dalam keadaan darurat tersebut hotel tempat Nindy menginap dijadikan tempat pengungsian bagi seluruh turis atau non warga. Mereka juga bilang bahwa karena Alvaro dan Nindy satu rumpun, maka mereka digabung menjadi satu kamar.
"HAH!?" Nindy dan Alvaro sama-sama mengeluarkan reaksi.
"Later, we will provide you some foods, but please follow our instruction, don't go outside until it safe. Maybe around 4 days."
"4 DAYS??" Nindy kaget. "But Sir, we are not knowing each other, we have a different gender. How can you made him stay one room with me?"
Lagi-lagi si petugas beralasan karena kita dari satu negara. Dan EMERGENCY katanya
Lalu kedua petugas itu mohon diri, sebodo amat dengan ucapan protesnya Nindy yang terus keluar dari mulutnya.
"Please, Sir! I can't stay with him!"
Dan tetap tidak digubris.
Sial. Bagaimana sih ini?? Kenapa jadi begini amat situasi liburan gue?? Ucap Nindy dalam hati.
Dia berbalik badan, menatap tajam pada Alvaro yang masih berdiri mematung dengan kopernya. "Kok lo diam aja sih?? Bukannya bantuin gue?? Aneh kan kalau kita tinggal bareng gini! Emang lo nggak ngerasa aneh??"
"Ya.. Aneh. Tapi..,"
"Emang udah biasa kali lo ya sebagai aktor suka sekamar bareng sama artis atau cewek-cewek lain??"
"Hey! Nggak gitu!"
"Terus gimana??"
"Ya gue juga nggak tahu, Nin. Tadi tiba-tiba tim SAR jemput gue, di luar cuaca udah parah nggak kondusif. Katanya malah jalur jalan ke luar kota sudah gak bisa dilewati karena badai salju. Mereka bilang untuk menyatukan orang-orang di satu tempat khusus non warga. Sorry kalau lo nggak nyaman, tapi gue rasa ini karena keadaan darurat. Kalau gitu, gue gak akan tinggal di kamar ini. Gue akan coba ketuk kamar lain. Atau gampanglah gue bisa tidur di lobby. Sumpah gue hanya salah satu turis yang sama kayak elo, lagi di evakuasi."
Nindy menghela napas. Dia menghentak-hentakkan kaki tanda gemes.
Nindy paham kok ini darurat, tapi satu kamar dengan Alvaro? Gila sih. Mimpi apa dia semalam? Ngaco. Pikiran dia bisa kemana-mana. Ya dia kan perempuan, normal banget kalau dia mengagumi Alvaro secara fisik, ditambah lagi mereka sudah saling mengobrol. Sehingga, Nindy merasa bukan sekadar fisik saja dia bisa mengagumi Alvaro. Eehh, ditambah keadaan darurat begini?? Apa yang akan terjadi nanti pada mereka?
Tidak ada.
Tidak akan ada.
Nindy pastikan tidak akan ada terjadi apa-apa. Lagian GR banget sih lu, Nin. Tinggal bagaimana sekarang Nindy yang harus bisa menjaga dirinya. Kalau Alvaro sih.. Yah, pria kayak dia dengan pekerjaan begitu.. Pasti tidak akan main perasaan.
Nindy melirik pada Alvaro yang bersiap membuka pintu.
"Tunggu."
Alvaro menoleh.
"Oke. Karena ini darurat. Tapi lo tidur di sofa!"
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top