Liburan

Hari Keberangkatan. Nindy saat ini sudah berada di Bandara Soekarno Hatta diantar oleh seluruh anggota keluarganya. Satu buah koper super besar, tas ransel dan slempang sudah menggelantung di pundaknya. Wajahnya masih sedikit sebal, lantaran Mama ternyata mengingatkan dia untuk tetap membawa laptop sebagai bentuk berjaga-jaga jikalau dia mendapat ilham dalam menulis skripsi.

"Isshh, kenapa juga sih Nindy musti bawa laptop begini? Kan repot nanti pemeriksaannya." keluh Nindy pada Sang Mama. 

"Jangan kamu pikir liburan itu artinya kamu berhenti menulis skripsi,"

"Kan cuma berhenti 10 hari doaang,"

Papa mengusap rambut Nindy. "Sudah, tidak usah ribut. Nggak ada lagi yang ketinggalan kan?"

Nindy menggeleng.

"Jangan sampai nyasar di sana, kalau nggak salah di bandara bisa langsung sewa router apa modem gitu, betul?" tanya Papa lagi.

"Iya,"

"Jangan lupa makan, jangan lupa vitamin, kayu putih biar hangat and don't talk to strangers," pesan Mama.

"Mam, aku udah mau 22 tahun.. Bukan anak SMA lagi,"

"Tetap aja, Mama akan tetap cerewet sampai kapan pun,"

"So," Bang Fahry buka suara. "Yakin nggak mau ditemani? Abang bisa beli tiket untuk menyusul nih,"

Nindy memukul pelan bahu sang kakak. "Jangan coba-coba mengacaukan rencana Nindy,"

Ini memang kali pertama Nindy melancong ke luar negeri sendirian. Karenanya, satu keluarga begitu bawel memberi pesan-pesan padanya. Untuk mewujudkan hal ini, diperlukan bujukan pemberian izin yang memakan waktu 6 bulan. Sampai akhirnya Papa memberi syarat kalau dia harus menyelesaikan bab-bab krusial pada skripsnya, baru beliau akan memberikan izin.

Akhirnya, saking kepinginnya Nindy liburan sendiri, dia pun memenuhi syarat itu sehingga Papa pun luluh dan memberikan izin.

"Ya sudah, Nindy masuk ya mau check in,"

Mama kembali memeluk Nindy, "Pokoknya kabarin begitu sampai sana."

"Siap."

Nindy pun berpamitan pada keluarganya. Sama halnya dengan Alvaro, yang berada bersebrangan dengan Nindy, berpamitan pada kedua orang tuanya.

***
Setelah melakukan check in dan juga pemeriksaan imigrasi, Nindy pun merasa tenang. Dia sempatkan membeli kopi dingin dan roti sebagai temannya, sembari menyeruput kopi, dia memperhatikan sekeliling. Pandangannya terhenti pada seorang pria yang nyaris menutupi seluruh wajah, kepalanya ditutupi topi, masker warna hitam menutupi setengah wajah hingga hanya mata dan alis yang terlihat. Salah. Bahkan mata dan alisnya pun ditutupi kacamata hitam.

"Ini orang mau liburan apa mau kabur macam buronan?" gumam Nindy. 

Pria itu duduk persis bersebrangan dengan Nindy, di mejanya pun tersedia secangkir kopi. Sedikit berharap, Nindy ingin tahu bagaimana wajah si pria itu, dia berharap pria itu segera menyeruput minumannya. Saking semangatnya menunggu, Nindy sampai tidak sadar bahwa sedari tadi pandangannya tidak lepas dari pria itu. Seakan tersadar dirinya ada yang memperhatikan, pria yang sedang membaca buku itu pun mendongakkan kepala sehingga kini pandangannya sejajar dengan Nindy. 

'Mati gue!' ucap Nindy dalam hati. Buru-buru Nindy mengambil rotinya seraya memalingkan wajah, kemudian dia mencaplok sepotong roti yang sebenarnya belum kepengen banget untuk dimakan. 

Nindy sempatkan melirik, ternyata pria itu masih memperhatikan Nindy, ya walaupun dia pakai kacamata hitam, Nindy paham betul kalau tadi dia ketahuan. Selang 3 menit pun ternyata si pria itu masih saja memandang lurus padanya. 

'Aduuh, gue bisa kelolodan roti kalau begini caranya,' ujar Nindy lagi masih dalam hati, lantaran untuk mengalihkan perhatian dia putuskan untuk terus mengunyah rotinya. Begitu roti habis, dia pun meneguk seluruh isi kopi di cangkirnya. Lalu, dia tergesa-gesa merapikan tas dan segera hengkang dari cafe. Bukannya apa-apa, itu semua dikarenakan si pria masih saja memandang tajam dan lurus pada Nindy.

Setengah berlari, Nindy menjauh dari cafe tersebut. Dia berhenti ketika melihat ada bangku kosong di ruang tunggu. 

"Si begooo, ngapain juga sih lu Niiinn segitu penasarannya ama tu laki.. iye kalau cakep, kalau kagak kan sebuah penghinaan buat mata luu," Nindy berbicara sendiri sambil terengah-engah. Mengatur napas.

Suara dering telepon menghentakkan dirinya. 

Mikta. Sahabatnya Nindy menelepon.

"Halo?"

"Haaayyyy My Loopeee, dadar guling, cintaa... udah di bandara lo?"

"Udaah, udah di ruang tunggu, masih satu jam lagi gue berangkat,"

"Cuneee,, lo udah baca list oleh-oleh gue kan?"

"Udaah juga, lo transfer lah ke rekening gue, lo pikir semua titipan lo bisa dibayar pake daun??"

"Ya lo jual dirii lah buat gue. Eh, by the way lo kok ngos-ngosan gitu? Emang ada anjing di sana?"

"Setaaan,"

"Lo dikejar setan??"

"BUKAAAAN, ada lah kebodohan gue, saking penasarannya mau lihat muka laki, gue ketahuan,"

"Iiih dasar lo ganjen, lo musti belajar dari gue masa buat lihat begituan doang musti ketawan, ya lo datengin langsung lah, kenalan, lama-lama lo bisa lihat semuanya dari dia, sampai ke dalam-dalam bajunya!"

"Astagaa mulai deh,"

Mikta tertawa terbahak. Ya Mikta memang begitu, omongannya seringkali tidak diayak, kadang tidak cocok didengar untuk yang di bawah umur, tapi ya itulah Mikta. Sosok sahabat yang selalu ada untuk Nindy. Mulutnya emang comberan tapi hatinya cinderella. Pacarnya ada banyak, itu karena perawakan Mikta yang cantik dan tinggi semampai membuat dia banyak disukai pria-pria.

"Kalau gue jadi elo, gue cari lah cowok Jepang lumayan kaan gue pacarin barang 10 hari, hahahahhaha. Kapan lagi, cunee?"

"Elu tuh ya, emang selalu jadi setan,"

"Ya kan setan kerjaannya ngegodain orang baek,"

"Ah udah ah, gue masih capek nih," jawab Nindy sambil merogoh kantung jaket untuk mengambil tiket pesawat. Tiba-tiba matanya melotot.

"Anjing gila lari di pantai!" maki Nindy.

"Kenapa lagii?"

"TIKET GUE MANA!?" Nindy sontak berdiri dari posisi duduknya lalu mengecek seluruh kantong di jaket, mengecek tas dan mengecek ke kolong tempat duduknya. "MIK, TIKET GUE GAK ADA!"

"Hilang dimana?"

"Ya kalau gue tahu ilang dimana, gue gak panik gini doong, nyeeett!"

"Aaah, elu jangan ngadi-ngadi ah, cari dulu yang bener, pelan-pelan." Mikta mencoba menenangkan.

"SERIUS! Tadi gue taro di kantong jaket, terus...," Nindy coba mengingat, lalu dia terdiam. Oke. Tadi tiketnya sempat dia keluarkan di atas meja cafe saat mengambil handphone dan pada saat dia tergesa-gesa untuk kabur dari tatapan pria itu...., dia hanya mengambil HP-nya.

"Shit! Nanti lo gue telepon lagi," Nindy buru-buru mematikan handphone. Sesegera mungkin dia mengambil seluruh barang bawaannya lalu berlari menuju cafe yang tadi.

Saat dia melihat pegawai cafe membersihkan meja di tempatnya tadi, dia mencoleknya. "Mas, maaf, tadi saya duduk di sini, lihat ada tiket pesawat nggak di atas meja?"

"Maaf mba, nggak ada. Ini saya baru sempat membersihkan meja tempat mba duduk tadi,"

"Beneran, Mas? Jangan becanda."

"Ngapain saya ajak becanda, kita kan baru kenal," 

'Asli, jawaban yang kepengen banget ditampol nih pelayan. Masih aja bisa becanda di tengah paniknya gue'

"Mba, mau nggak kasih nomor hp-nya ke saya?" tanya pelayan itu lagi.

"BODO!" jawab Nindy kesal. Dia pun keluar dari cafe dan dengan wajah memelas, dia mencoba mengingat di mana dia menghilangkan tiket pesawatnya. "Aduuuhh, dimana ya? Huhu.. gimana nihhh nasib guee? Apa gue langsung lapor maskapai aja ya? Bisa nggak ya cetak tiket lagi?"

Di tengah kepanikannya, tiba-tiba sebonggol kertas yang berisikan tiket pesawat muncul tepat di depan mukanya. "Are you looking for this?" tanya suara itu.

DEG. Pria yang tadi Nindy pandangi. Nindy menelan ludah. Dia mengangguk pelan. Pria itu menyodorkan tiket pesawat Nindy seolah berkata : Nih.

Nindy menerimanya dengan hati-hati dari pria yang masih belum membuka masker, topi dan kacamata hitamnya tersebut. 

"You should take care of your things," ujarnya. Sudah gitu aja. Habis itu, si pria langsung berbalik badan dan pergi meninggalkan Nindy. 

Meski rasa jantung mau copot, karena Nindy sudah berpikir hal yang terburuk akan kemungkinan dia memundurkan jadwal keberangkatan, namun bagaimana pun dia sangat berterima kasih pada pria buronan itu. Tak mau mengulang kesalahan yang sama, dia menaruh semua keperluan keberangkatan dia ke Jepang ke dalam tas slempangnya. 

***

Satu jam telah berlalu, kini Nindy sudah berada di dalam pesawat, hatinya sudah sangat sangat tenang karena dia tinggal duduk manis di bangku pesawat yang akan membawa dia berlibur ke Jepang. Di tangannya, dia genggam handphone dan sebuah buku kecil dengan pulpen mini. Dengan hati gembira, dia buka kembali buku tersebut yang berisikan rencana berliburnya. Dia sengaja memilih berlibur di musim dingin, bahkan dari hasil pencariannya di internet, dia lebih sengaja lagi memilih prefektur (semacam provinsi) Niigata untuk disambangi pertama kali, konon di sana banyak wisata musim dingin. Ah akhirnya bisa lihat salju, pikir Nindy.

Dia pun senyum-senyum sendiri kegirangan, tidak sabar. Tak peduli penumpang di sampingnya merasa keheranan. Nindy hanya mengacungkan jempol pada penumpang yang tampaknya orang Jepang. Daripada salah bahasa lebih baik dia acungkan jempol saja.

Dan di saat dia mengacungkan jempol, dia menyadari kehadiran si pria buronan yang duduk sejajar dengan dia, terpaut 3 kursi dari tempat duduknya. Akhirnya rasa penasaran Nindy terpuaskan saat dia satu persatu melepas atribut yang menutupi wajahnya, dimulai dari kacamata hitamnya terlebih dulu, disusul topi dan terakhir.. dia membuka maskernya. 

Nindy tak kuasa membelalakkan matanya. 

"Ya Tuhaan, cakep bangeet," ujar Nindy berbisik.

***





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top