Kupeluk Hangat

Ini sudah hari ke-3 Alvaro dan Nindy berada dalam satu tempat tinggal yang sama. Selama 1 x 24 jam mau tidak mau mereka bertemu satu sama lain. Hari ke-2 kemarin, tidak ada yang spesial.  Mereka menghabiskan waktu menonton acara TV, memasak dan menghabiskan waktu sendiri-sendiri di wilayah mereka. Nindy di kamar, sementara Alvaro di sofa depan TV. 

Ada kalanya masing-masing ingin mengajak berbicara lebih dalam lagi, tapi mereka saling menahan rasa tersebut. Varo khawatir akan menganggu privasi Nindy, sementara Nindy, takut Varo akan menganggapnya kegatelan. 

Badai salju masih menerjang, sesekali terlihat dari jendela tumpukan salju yang begitu tebal di jalanan. Jika agak mereda, mobil pembersih salju datang membersihkan jalanan. Tapi itu tak berlangsung lama, badai salju masih terus turun. Suasana di wilayah itu begitu sepi dilihat dari jendela, benar-benar seperti kota hantu, palingan satu dua orang saja yang nekat keluar, entah ada keperluan apa. 

Di tengah situasi seperti ini, tidak ada yang tahu kalau Nindy harus tinggal bersama seorang pria di kamar yang sama. Baik kedua orang tuanya, Bang Fahri juga Mikta, sahabatnya sekalipun tidak dia ceritakan. Tidak kebayang reaksi mereka bagaimana, terutama Mikta, sudah pasti dia akan heboh sendiri dan menelepon lebih sering. 

Begitu juga dengan Alvaro, tidak ada yang tahu. Selama hidupnya, dia memang sulit terbuka dengan orang lain, kecuali Manager dan Supir keluarganya, Pak Maman. Itu pun dia tidak menceritakan mengenai kondisi saat ini, di kala mereka bertanya, Varo hanya mengatakan kalau kondisinya baik-baik saja. 

Terkadang, kalau mulai bosan, Alvaro dan Nindy bergantian ke luar kamar dan menikmati suasana hotel. Namun, terkadang perasaan setiap penghuni juga sama, karena bosan, mereka keluar kamar, sehingga hampir seluruh fasilitas hotel menjadi penuh. Hal itu membuat Alvaro dan Nindy tak berlama-lama di luar.

Saat ini, Nindy baru saja selesai berjalan-jalan mengelilingi isi hotel, semua orang mengerubungi beberapa spot penghangat ruangan, mungkin agar makin terasa hangat. Sebagian lagi memilih bercakap-cakap sambil menikmati teh hangat. Cuaca di luar belum juga bersahabat, malah salju turun semakin bersemangat.

Telepon Nindy berdering. Nindy mengambil telepon genggamnya.

Mikta. 

"Halo?"

"Hay, cintaaahh, bagaimana keadaan lo hari ini?"

"Masih terisolasi di hotel."

"Duuh, kasian amat sih, gue turut berduka yaa, liburan sendirian pertama kali-nya malah begini. Elu sih kan gue bilang, liburannya bareng gue aja, tapi nunggu jadwal gue senggang, lo nggak mau,"

"Udaah laah, masih aja bahas itu,"

"Ya habis, gue kasihan sama lo, untung aja tuh listrik kagak dimatiin, lo masih bisa nonton, internetan, yang kacau kan kalau semua mati. Terus, kata nyokap lo gimana?"

"Dia cuma banyak doain aja sih, gue minta nggak usah panik, lagipula emang gak usah panik, i'm finee," ujar Nindy sembari membuka pintu kamar hotel dan membuka sandal, berjalan melewati kamar mandi kemudian...

"AAKKKKHH!!!" Nindy berteriak histeris.

"Nin!? Kenapa lo!?"

"Lo bisa nggak sih pakai bajunya gak disini!?" seru Nindy sontak berbalik badan sambil memejamkan mata.

Alvaro yang juga terhenyak lantaran tiba-tiba Nindy masuk dan melihat dia bertelanjang dada langsung buru-buru memakai kaos. "Ya mau dimana lagi?? Kamar kamu kan nggak mungkin."

"Kan bisa di kamar mandi! Aku aja pakai baju di kamar mandi!"

"Tadi kan kamu nggak ada,"

"Jangan bilang kamu sengaja ya,"

"What?? Sengaja? Biar apa? Nggak perlu buka baju juga udah bisa buat kamu naksir kan?" tanya Alvaro dengan wajah yang persis berada depan wajah Nindy. Wajah baru mandinya seketika membuat Nindy pause sekian detik.

"HIIISSSHHH!! PREETT!!" Nindy menoyor wajah Alvaro. "Nggak usah ngimpi!" 

Sementara dua orang itu berdebat, Nindy tak sadar bahwa ada orang lain yang ikut mendengarkan mereka, si Mikta yang dagunya hampir lepas dari wajah.

***

Sejak kejadian tadi, tak henti-hentinya telepon Nindy berdering, siapa lagi kalau bukan Mikta yang menelepon? Rasa penasarannya ngalah-ngalahin rasa penasaran para netizen yang budiman. Tapi Nindy tidak mau mengangkatnya, sudah kebayang reaksi Mikta dan dia sedang malas menanggapi. 

Saat ini, Nindy sedang duduk di sofa ruang tengah sambil berkonsentrasi dengan laptopnya. Sementara Alvaro sibuk membuat ramen di dapur. "Kamu mau ramen?"

Nindy menggeleng. "Nope, thank you,"

"Enak lho, aku pakein keju,"

"Ntar aku cobain punya kamu aja," jawab Nindy asal, tapi tidak buat Alvaro, jawaban itu membuat dia tersenyum. 

Dia segera mengirimkan sebuah pesan di hp, tertuju pada Pak Maman. 

"Pak, perasaan apa ini ya? Kok saya bawaannya deg-degan terus dekat dia,"

SEND.

Tak perlu waktu lama menunggu Pak Maman membalas. "Dinikmati saja, Mas. Kita nggak pernah tahu. Jaga diri ya,"

Membaca itu, Alvaro tersenyum sendiri.

Ramen pun sudah jadi, Varo membawanya ke ruangan tengah, dia menyalakan TV dan memutar film Mamma Mia, Here We Go Again yang dibintangi oleh Lily James.

"Aku suka banget sama film ini nih, salah satu cita-cita aku, dapat peran di film musikal,"

"Hmm," jawab Nindy.

"Nin, dilihat dong aku nonton film apa?"

Nindy menoleh sebentar, "Oh, ini? Aku juga udah beberapa kali nonton ini, aku suka sama lagu Adante Adante,"

"Sama dong? Kalau ada piano, aku bisa mainin buat kamu,"

"Awww... buat aku? Manis amat, padahal tapi yang pede bilang bisa naksir duluan itu aku, siapa yaa?" goda Nindy.

Mendengar itu, Alvaro pura-pura tidak peduli dan langsung menyeruput mie. Dilanjutkan dengan menyuapkannya ke mulut Nindy.

"Aduh, apaan sih?"

"Katanya kamu mau, nih. Cobain,"

Dan di saat mulut Nindy sudah menganga dan baru saja mie itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba...

BYARPET. Tiba-tiba lampu mati di sore hari ini, dan ucapan Mikta benar terjadi.

Internet mati, TV mati bahkan penghangat ruangan pun mati. Di luar badai salju makin kencang sampai membuat jendela berbunyi gemeretak.

"Wah, mati lampu." kata Alvaro.

Nindy menutup laptop dan segera mengecek ke luar jendela. "Semua area mati lampu, aku coba cari senter atau emergency lamp dulu,"

"Oke.. Aku mau habisin ramen,"

Nindy melirik tajam seolah berkata : bisa-bisanya lu masih mikirin ramen di tengah kondisi begini??

Ah ya sudahlah, Nindy maklumi, mungkin memang mukanya Alvaro semacam sang surya menyinari dunia karena sudah mencrang dari sananya. Setelah mencari-cari di lemari dekat pintu masuk, dia pun menemukan sebuah lampu darurat dan langsung menyalakannya. 

"Hadeehh, bisa-bisanya nih matiin akses listrik tanpa peringatan," Nindy berbicara sambil mengecek telepon genggamnya. "Waduh! Termasuk sinyal juga mati!"

"Oh," jawab Alvaro.

"OH?? Cuma Oh? Kamu sadar nggak sih kondisi ini nggak bagus, di luar cuaca makin buruk, di salam semua listrik mati termasuk penghangat ruangan. Kita bisa kedinginan, tau!"

"Yaa, aku musti jawab apa? Aku musti gimana? Ke luar buat benerin listrik? Kan nggak."

Nindy menghempaskan pantatnya ke sofa, memperhatikan Alvaro yang menghabiskan ramen di tengah gulita. "Kalau ngelihat cara lo makan, nggak nyangka ya kalau lo seorang idol,"

"Kenapa emang? Aku kan juga manusia, bernapas, ilfeel??"

"Ya nggak usah pakai urat gitu juga kali jawabnya sampai mulutnya monyong-monyong gitu," Nindy mendengus. 

Sejujurnya, Nindy mulai merasa semakin kedinginan, dia mengambil dua buah jaket untuk dia pakai, begitu juga dengan kaos kaki. Alvaro yang sudah selesai menyantap ramen keheranan melihatnya. "Kenapa kamu?"

"Dingin! Nggak lihat apa?"

Sejam telah berlalu dan listrik masih padam. Sementara Nindy sedari tadi berjalan bulak balik agar rasa dingin tidak terlalu berasa pada tubuhnya.  Alvaro sesekali memperhatikan.

"Hssshhhh, dingiiiinn!" Nindy berlari ke arah kasur dan mengambil selimut, lalu membungkus badannya, kemudian duduk manis di sofa. Tubuhnya gemetar.

Alvaro menghampiri. "Are you okay?"

Nindy menggeleng. Alvaro kaget begitu lihat bibir Nindy mulai membiru dan bergemeretak, pria itu menarik tangan Nindy yang mulai memucat. 

"Aku nggak kuat dingin...,"

"Haduuh, nggak kuat dingin kok malah liburan ke Jepang pas musim salju begini??"

"Ma..na.. aku taa..hu kalau akan a..da badai saa...ll..juuu," jawab Nindy gemetaran. 

"Norak dasar,"

"Serius..waktunya nggak te..pat.. buat ber..de..baaat," Nindy jengkel.

"Sebentar," Alvaro ke arah dapur dan menuangkan air dari teko ke sebuah ember kecil. Lalu dia datang kembali, duduk di bawah, menarik kedua kaki Nindy dan membuka kaos kakinya. "Tadi aku rebus air buat kamu, biar kamu merasa hangat. Rendam kaki kamu dulu di ember ini,"

Nindy terdiam, tidak menyangka Alvaro bakalan berbuat seperti itu, tidak menyangka kalau sedari tadi Alvaro memperhatikan gerak gerik dia yang kedinginan. Nindy membiarkan kakinya dibimbing masuk ke dalam ember oleh Alvaro.

"Gimana? Mendingan?"

Nindy mengangguk. "Thanks,"

Alvaro duduk di samping Nindy dan memperhatikan wanita itu. "Ada satu hal lagi sih agar kamu merasa hangat, tapi itu kalau kamu izinkan,"

"Ha?" Nindy bingung dengan pernyataan Varo, juga tatapan Varo yang tidak manusiawi itu. "Apapun deh, asal aku hangat,"

Perlahan Alvaro membuka selimut dan ikut masuk di dalamnya, tangannya juga pelan-pelan mendekap Nindy, dengan hati-hati, takut Nindy berontak dan marah. Tapi Nindy yang meski kaget, dia juga pasrah Alvaro melakukan itu, dia malah merebahkan kepalanya ke dada Alvaro. "Konon, pelukan juga membuat hangat. Nggak apa-apa kan, Nin?"

Alih-alih menjawab, Nindy justru melingkarkan tangannya di tubuh Alvaro. Heran. Dia malah merasa sangat nyaman dan aman berada dalam pelukan Alvaro. Sebodo amat baru kenal belum seminggu juga, Nindy membutuhkan rasa itu. 

Begitu tahu Nindy tidak menolak, Alvaro pun semakin merekatkan pelukannya seraya mengusap-usap bahu Nindy agar dia tidak kedinginan.

Alvaro merasa senang, saat semilir darah mengalir lebih deras di seluruh tubuhnya. Dia merasa, itulah kali pertama, di mana ada wanita yang tulus membutuhkan dirinya.


***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top