Bolehkah Aku?

Cuaca hari ini cukup bersahabat. Salju yang turun juga semakin sedikit, tumpukan salju pun menipis. Sehingga orang-orang, penduduk sekitar sudah terlihat berani berjalan-jalan sekaligus membersihkan salju di area tempat tinggalnya.

Alvaro baru selesai mandi, sementara Nindy, yang sudah siap untuk berjalan-jalan, menunggunya sembari membuka laptop. Mencoba meneruskan urusan skripsi yang tinggal sedikit lagi.

Nindy langsung memalingkan muka. "Udah pake baju belum??"

"Udahlaah,"

Pertanyaan tersebut dilontarkan Nindy semenjak dia tak sengaja melihat Alvaro sedang bertelanjang dada untuk berganti pakaian, semenjak itu pula mereka bergantian ke luar kamar setiap mau mandi.

"Kamu lagi ngapain?" tanya Alvaro.

"Biasa, skripsi. Tiba-tiba tadi ada ide."

Alvaro menghampiri Nindy sedekat mungkin hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa cm saja.

DEG. Tenggorokan Nindy rasanya langsung tercekat dan seisi perut terasa ada kupu-kupu.

"Oh, ini sih udah enak lah udah bagian akhir. Nanti aku boleh kasih masukan nggak? Minimal buat kalimat dan kata-katanya." ujar Alvaro setengah menengok pada Nindy. Hening, tidak ada jawaban. "Kok kamu diam aja?"

"Bo..boleh!" jawab Nindy, langsung menutup laptopnya dan menjauh dari Alvaro.

Alvaro sesungguhnya sedang menggoda Nindy, ingin mencari tahu lebih dalam tentang perasaan Nindy padanya, memastikan bahwa dia tidak akan merasakan bertepuk sebelah tangan. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum. 

"Ngomong-ngomong, apa tata bahasa skripsi aku ada yang salah?" Nindy penasaran.

"Nggak sih, udah cukup bagus, palingan nanti aku izin baca sedikit, siapa tahu aku bisa bantu kasih pencerahan kalimat. Begini-begini kan aku sudah melewati masa-masa skripsi dan juga tesis,"

"Ha-ha." Nindy setengah meledek.

Alvaro melirik tajam pada Nindy. "Kamu beneran nggak percaya ya aku udah S2?" Alvaro bertanya diiringi gerakan bersiap-siap untuk pergi seraya memakai syal dan jaket. Nindy tidak menjawab.

"Pasti kamu berpikir seorang artis nggak akan kepikiran buat ngurusin akademik, ya kan?"

"Sedikit," jawab Nindy sambil menunjukkan jari jempol dan telunjuk menyatu.

"Aku berbeda dari yang lainnya. Buatku, otak itu investasi nomor satu. Modal utama buat jadi sukses. Aku nggak sedangkal itu, Nindy." jawab Alvaro tegas. Usai memasang sarung tangan dan topi kupluk, dia mengambil tasnya dan langsung pergi meninggalkan Nindy.

"Lah? Katanya mau jalan-jalan bareng? Dia ngambek nih ceritanya?" Nindy pun buru-buru mengambil jaket, penutup kuping dan tasnya. Kemudian dia bergegas menyusul Alvaro.

Pria itu menunggu di luar hotel, di tengah gerimis salju yang berangsur menipis. Nindy mensejajarkan diri di sampingnya. 

"Kok aku ditinggalin?" tanya Nindy. Alvaro hanya menoleh sedikit, lalu menghela napas. 

"Maafin aku deh... aku kan nggak tahu,nggak tahu kalau kamu ternyata pintar," ucap Nindy memberikan cengiran. Dia juga mencolek-colek lengan Alvaro. Hingga dia tersadar sendiri, dia lupa bawa sarung tangan. "Nah kan! Gara-gara ngejar kamu, aku jadi kelupaan bawa sarung tangan, sebentar deh aku balik lagi."

Alvaro menahan tangan Nindy, wanita itu keheranan. Varo lalu melepaskan kedua sarung tangannya lalu memakaikannya ke kedua tangan Nindy. "Makanya kalau bicara itu harus banyak dipikirkan terlebih dahulu, kedua.. ngapain juga ngejar-ngejar aku? Aku masih di Niigata, nggak akan kemana-mana, masih gampang ditemukan, lagipula barang-barang aku masih di kamar, kamu nggak perlu se-khawatir itu,"

"Hah? Khawatir? Biasa aja kali, aku kan cuma mau minta maaf,"

"Takut aku marah? Apa kalau aku marah.., kamu takut nggak bisa lihat aku senyum dengan hidung yang sedikit melebar dan garis senyum yang terlihat nyata ini?"

Nindy langsung sedikit panik. Kenapa Alvaro bisa membahas itu? Itu kan pembicaraan dia dengan Mikta beberapa hari lalu. Jangan-jangan...

"Kamu nguping ya!?"

Senyuman dikulum milik Alvaro yang membuat matanya membentuk bulan sabit pun terlihat. "Ih, rese banget!" Nindy berkata sembari memukul lengan laki-laki itu. 

"Nggak apa-apa, aku senang. 'makasih ya," ujar Alvaro, kedua tangannya memegang bahu Nindy. 

Keduanya saling menatap.

"Nah, bagus deh kalau begini, nggak jadi marah kan? Aman kan?" Nindy berusaha bersikap biasa, memecah tatap-tatapan yang hanya akan mengurangi kadar oksigen dalam tubuhnya.

"Belum tentu, aku masih sedikit sebal gara-gara kamu remehin, aku akan maafin kalau...,"

"Kalau apa?"

"Kalau kamu bolehin selama jalan-jalan, kita berpegangan tangan atau kamu gandeng lengan aku, bolehkah?"

Sesungguhnya Nindy tidak akan menolak, hanya saja sebagai wanita yang memiliki tingkat percaya diri yang tidak terlalu tinggi. Dia mempertanyakan banyak hal ketika itu. Is this real? Seorang Alvaro, si idol dengan banyak fans di Indonesia meminta izin untuk bergandengan tangan?

Gila kali lah. Pasti tidak akan menolak. Tapi, satu sisi...., apa Alvaro memang selalu seperti ini pada setiap wanita yang dia temui? Bisa saja kan?

"Nin, boleh nggak?"

Nindy menelan ludah. "Setiap lawan main kamu.. Yang cewek ya, kamu ajak pegangan tangan juga nggak kalau di luar shooting?"

Alvaro menghela napas. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku overcoat. Kemudian mulai melangkah meninggalkan Nindy.

"Eehh.., tunggu! Kok malah pergi ninggalin aku sih?" Nindy menarik badan Alvaro.

"Nggak usah jadi, kalau kamu mempertanyakan terus kapabilitas aku,"

"Ya wajar dong, menurutku sih wajar. Emang kamu nggak paham ya perasaan fans-fans kamu yang ibaratnya akan meninggoy kalau idolanya ngomong kayak gitu tadi?"

"Tapi kan kamu bilang sendiri, kamu bukan fans aku. Kenal aja nggak,"

Lelaki tampan itu tak memalingkan matanya dari wajah Nindy.

Nindy lalu mengangguk pelan. "Oke. Fine. Kita gandengan," jawab Nindy akhirnya.

Alvaro tersenyum, lagi. Dia lalu melepas sarung tangan Nindy  yang sebelah kiri, yang baru saja dia pasangkan. "Eh?" gumam Nindy.

Ini laki ya. Ngerjain gw apa gimana sih? Cepat ngambek cepat juga senyumnya.

Pikir Nindy.

Pelan-pelan, Alvaro meraih tangan Nindy dan menggenggamnya. "Yuk, kita jalan-jalan,"

Tanpa penolakan, Nindy mengikuti langkah Alvaro, dia merasa wajahnya sudah memerah, semacam kepiting baru direbus.

***

"Ngomong-ngomong, kamu dulu ambil jurusan apa pas kuliah?" tanya Nindy pada Alvaro.

"S1 aku ambil antropologi sementada magister aku ambil manajemen bisnis,"

Nindy mengernyitkan dahi. Mempertanyakan keterkaitan dua ilmu tersebut.

"Sebelum kamu bertanya apa nyambungnya dua hal tersebut, aku jelasin sedikit. Di antropologi aku belajar tentang ilmu mengenal manusia dan sekitarnya juga turunannya. Apa nyambungnya dengan bisnis? Untuk berbisnis, aku perlu tahu pangsa pasar aku, disitu lah aku gunakan ilmu antropologi, kurang lebih begitu, "

Hari sudah menjelang sore, mereka sudah cukup puas berjalan-jalan keliling Niigata seperti berbelanja di Nuttari Terrace Street, pergi berbelanja ke pasar segar yang meski penjualnya baru sedikit namun mereka berdua sangat senang melihat produksi ikan laut yang segar-segar. Selain itu juga mereka juga melihat pohon sakura, serta ke akuarium raksasa di Niigata.

Akhirnya, meski singkat, mereka merasakan liburan menikmati Niigata, harusnya Alvaro dan Nindy sudah kembali ke Tokyo, namun keadaan darurat membuat mereka memperpanjang waktu mereka di Niigata.

Mereka sangat menikmati jalan-jalan perdana mereka secara bersama. Mereka tertawa, bertukar cerita dan pikiran sambil becanda.

Menjelang memutuskan untuk kembali ke hotel, Nindy sudah tidak lagi menggandeng tangan Alvaro, dia memutuskan untuk melepasnya. Menurut Nindy, dimana dia sedari tadi berpikir kenapa harus bergandengan.. Bukankah itu dilakukan oleh pasangan? Kan mereka bukan. Kenapa Nindy musti menuruti keinginan Alvaro? Lalu apakah Alvaro mempertanyakan juga dengan keputusan Nindy tak lagi menggenggam tangannya?

Jujur. Iya. Dalam hatinya, dia mempertanyakan kenapa Nindy meragu?

"Kita mau masak apa dengan seafood yang kita beli tadi?" tanya Nindy.

"Terserah." jawab Alvaro. Dia lalu berhenti berjalan, tepat di tengah jalur dengan pohon sakura di kanan kiri yang tertutupi salju.

"Lho, kenapa berhenti?" tanya Nindy.

"Nin, kenapa nggak mau pegang tangan aku lagi?" Alvaro memberanikan diri bertanya.

Nindy tertawa. "Ya kan sudah tadi, memangnya harus selalu gitu? Nggak sekalian aja tangan kita diborgol?"

"...."

"Lagipula, aneh aja. Biasanya kan yang pegang tangan terus itu tuh pasangan kekasih, suami istri, lha ya kita kan bukan.. Kenal juga baru beberapa hari, kita...,"

"AKU SUKA KAMU, NIN."

Rentetan kata tersebut akhirnya keluar dari mulut Alvaro. Sudah beberapa hari ini dia tahan, dia pikir ini hanya perasaan sesaat, tapi ternyata semakin hari perasaan dia pada Nindy justru semakin bertambah besar.

Nindy mematung usai mendengar pengakuan Alvaro. Apa dia nggak salah dengar?? Alvaro menyukai aku??

Nindy menoleh dan memasang tampang penuh pertanyaan.

"Iya. Aku suka kamu," Alvaro kembali mengatakan itu seraya berjalan mendekat ke arah Nindy. Nindy sampai harus sedikit mendongak ketika pria itu berdiri tepat di depan dia.

"Aku suka kamu dari semenjak kamu turun dari mobil di bandara. Kamu cantik. Kamu punya aura yang membuat aku ingin terus mengenal kamu."

"Bandara?" tanya Nindy heran.

"Iya. Sewaktu kamu diantar keluarga kamu, cara kamu berinteraksi dengan orang tua kamu. Cara kamu tertawa, cara kamu berjalan dan membawa diri. Kamu tahu nggak? Aku sampai ke kafe yang sama dan sengaja duduk bersebrangan dengan kamu,"

Nindy menelan ludah.

"Aku ingin kenalan sama kamu, tapi kamu kabur. Untung tiket kamu ketinggalan, di situ aku jadi tahu kalau tujuan kita sama. Dan aku beranikan diri menyapa kamu saat tiba di Jepang.. Aku.. Aku nggak pernah kayak begini, Nin."

Mereka saling menatap.

"Mungkin kamu nggak percaya, tapi aku percaya takdir. Keadaan darurat ini semakin mendukung keinginan aku untuk mengenal kamu lebih dekat."

"A.. Aku..," Nindy tidak bisa menjawab.

"Aku suka kamu, Nindy. Bahkan mungkin aku sudah sayang, mungkin. Kamu mau nggak kita pacaran?"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top