Chapter 8
Aku kembali menatap luar jendela. Langit yang sebagian sudah mulai memberi kesan warna orange bercampur kuning. Tepatnya sekarang senja pun telah datang menggantikan gelapnya malam. Apa itu?! Kepulan asap berasal dari arah timur, sebagian telah menutupi senja. Tanpa banyak alasan, segera aku melompat dari atas jendela menuju bagian atap yang lebih rendah, tepat di bawah atap yang kupijak adalah ruang tamu. Musim salju telah berganti, jadi aku tidak kesulitan berlari di atas atap. Karena jika ada sedikit salju yang menutup di atasnya, itu sangat menyulitkan kakiku untuk beradaptasi ... terpeleset dan rasa sakit yang kemudian kurasakan.
Blug!
Kini, kembali kutegakkan badanku dan berbalik menatap atas. Tepatnya ke atas jendela kamar. Cukup tinggi juga! Lalu kuubah pandangan ke arah depan. Mengernyit dan heran yang kulakukan sekarang. Seketika itu aku berlari menuju arah timur melewati beberapa jejeran rumah yang menghadap satu sama lain. Kulihat sisi kiri pun kanan, hampir semua rumah masih dengan keadaan pintu yang tertutup. Mungkin mereka masih bersenang-senang dalam bunga tidur masing-masing.
Kepulan itu membentuk layaknya awan hitam yang bergelayangan ke mana-mana dan terus keluar tak karuan. Sedari tadi aku berlari, dan terus menambah kecepatan. Bagai seseorang yang berhasrat memenangkan perlombaan lari jarak jauh. Namun, kepulan asap itu berasal dari hutan ... bukan, tepatnya dari rumah yang berada di tepi hutan wilayah timur. Kutahu, semoga tidak terjadi apa-apa pada rumah itu.
Aku sedikit mengatur langkah dengan mengurangi kecepatan hingga kini, aku berhenti tepat di depan rumah itu. Tidak ada sesuatu yang mencurigakan, pintunya pun masih tertutup rapat, tetapi aku merasa ada sesuatu yang ganjil di sini. Seketika itu aku mengubah pandangan. Menatap ke sisi kiri serta kanan lalu berjalan memilih ke arah kanan. Tujuanku pergi ke ... belakang rumah.
Kret! Kret!
Kobaran itu terlihat pada kedua mataku. Dan saat itu juga aku membulatkan mata serta mulut pun ikut menganga lebar, lalu kututup kembali mulutku kemudian mengendap di balik tembok yang bernuansa hitam-putih ini. Mengatur napas dalam-dalam kemudian kembali memicing ke arah dimana kobaran itu menghasilkan warna yang begitu menantang. "Hahaha ... matilah kau Vrada! Bersama jiwa terkutukmu," ucap seseorang yang membawa sebotol minyak lalu membuangnya pada kobaran itu.
Duar!
"Dasar, Bodoh! Kenapa kau buang minyak itu, inilah akibatnya. Rumah ini semakin tertutup api!" cetus salah satu temannya. Tunggu. Pakaian itu ... akhir-akhir ini aku baru saja melihat pakaian mirip seperti yang mereka kenakan, tetapi di mana? Aku berusaha mengingat segalanya, semua yang terkenang pada memori.
"Memang. Ia sangat, Bodoh! Sekarang ayo kita pergi! Raja pasti senang, karena kita telah membunuhnya secara diam-diam!" sahut lelaki yang mengedik di atas kuda. Benar! Mereka semua pengawal dari, bengis keparat!
Plakkkt!
"Ayo!" Sebelum kuda itu meringkik, ia dengan sangat kesakitan mengangkat kedua kakinya hingga rata-rata se-dada manusia dan berlalu membawa penunggangnya. Diikuti kedua pengawal lainnya dari belakang. Aku merasa kasihan pada dua hewan berkaki empat itu. Perlakuannya terhadap hewan saja seperti itu, apalagi terhadap masyarakat kota Barrow. Apa yang harus kulakukan sekarang?! Separuh rumah itu sudah terbalut api. Aku pun berlari menuju depan rumah, mencoba mencari celah. Agar dapat memasukinya. Yang kulakukan sekarang mendobrak pintu itu menggunakan bahu kanan milikku. Dengan sekuat tenaga kuhitung satu sampai tiga ... untuk yang ketiga-kalinya berhasil terbuka.
"Halo, apakah ada orang?! Rumah ini kebakaran!" teriakku di ambang pintu.
"Halo. Tolong keluarlah ... siapa saja!"
Tak ada yang menggubrisnya. Sudah pasti aku segera menuju ke kamar, terdapat empat kamar di sini. Aku memilih kamar yang berada di urutan depan lalu membukanya. Hanya satu yang belum sempat aku buka, bertepatan dengan kobaran api yang sudah melahap sebagian pintu itu. Dengan cepat, kudorong pintu itu sekuat tenaga menggunakan kaki kanan. Pertama kali kulihat, seseorang berada di atas kasur. Ia merasa kesulitan dengan keadaannya yang meringkuk ... tangan serta kaki diikat kuat oleh tali dugang. Mulut yang dibungkam menggunakan kain berwarna hitam membuatnya sulit untuk mengeluarkan sebuah teriakan.
Hal yang ia lakukan pun hanya membolak-balikkan badan. Kini, ia sedang menatap tajam ke arahku lalu mendeham, mungkin itu salah satunya cara yang bisa ia lakukan sebagai permintaan pertolongan. Sesegera mungkin aku berlari menuju ke arahnya, hal pertama yang kulakukan adalah melepas kain yang membekap mulutnya. Kulihat juga peluh yang mendecur melewati seluruh kulitnya, hingga sebagian dari pakaiannya pun basah akibat keringat itu sendiri. "Tolong ... tolong selamatkan aku! Bawa aku pergi dari sini!"
Aku tak meresponnya! Lekuk yang terdapat pada pergelangannya terlihat lebam. Kemungkinan sedari tadi ia, memaksakan tangannya untuk terus merenggangkan tali ini. Akhirnya aku berhasil melepas semua pengikat yang membuatnya kesulitan untuk melakukan pergerakan. "Terima ... kasih, terima kasih sudah menolongku!" ucapnya dengan memegang pergelangan tangan kanan pun kiri.
"Iya, tapi kita harus segera keluar dari sini!" tegasku beranjak berdiri lalu berlari ke arah pintu.
Brak!
Suara itu menghentikan jangkahku dan mengalihkan pandanganku, tepatnya di belakang. "Apa yang kau lakukan?!" tanyaku menatap ke arahnya. Ia pun mendongak ke arahku lalu berkata, "Aku tidak bisa berdiri, kakiku terasa keram akibat tali yang mengikat tadi!"
Kenapa disaat keadaan darurat, selalu saja ada cobaan. Aku kembali menuju ke arahnya lalu meraih kedua tangan dan membopongnya keluar dari rumah ini secepat mungkin. Kini api itu sudah sampai tepat pada ambang pintu kamar kedua dari belakang, aku dengan tekad serta jiwa pemberani melompati reruntuhan kayu yang menyala berserakan di hadapan. Hingga akhirnya kami berhasil keluar dari rumah itu.
Sekarang aku berdiri dengan jarak yang lumayan jauh. Pandanganku beralih pada sesosok wanita yang masih berada dalam genggaman kedua tanganku, terlihat pada sepasang matanya yang menutup erat ... tangannya pun mengalung pada leherku secara erat. "Halo, sekarang kau sudah aman!" ucapku sedikit menggunakan nada tinggi, karena memang aku sangat risih terhadap seseorang yang belum kukenal. Apalagi ia melekatkan kedua tangannya ke leherku.
Beberapa kali ia mengerjap lalu melepas pegangannya pada leherku dan aku pun segera menurunkannya. "Sekali lagi, aku sangat berterima kasih padamu. Terima kasih," wanita itu tersenyum dengan sangat manis di hadapanku. Manisnya pun melebihi senyum milik ayahku.
"Iya, itu tak masalah. Kau tak apa, 'kan?"
"Aku baik-baik saja! Tapi bagaimana dengan ... rumahku?!" Tatapannya pun beralih pada rumah yang terlahap api itu.
"Iya juga. Bagaimana ya ... kini, api itu sudah memakan seluruhnya. Tapi tak masalah, yang terpenting kau selamat!" Aku sambil menelengkan kepala tepat di hadapannya. Ia pun langsung memandangku lalu beberapa kali mengerjap dengan menggelengkan kepala.
"Iya! Tapi ... aku tidur di mana?"
"Oh iya, di mana ya? Ya sudah kalau masalah itu serahkan saja padaku!" balasku sembari tersenyum.
"Benarkah? Jadi ... aku akan tinggal bersamamu?!" jawabnya dengan rasa antusias.
Yang benar saja?! Wanita ini sepertinya suka sekali dengan lelaki yang sepenuhnya belum ia kenali. Bagaimana mungkin dengan mudahnya ia menerima tawaranku, untung saja diriku orang yang benar-benar baik! batinku dalam hati.
"Cukup! Aku bukan wanita, apa yang seperti kau pikirkan!" sahutnya menggunakan nada tinggi sembari berkacak pinggang lalu memicing ke arahku.
"Apa?! Oh tidak ... tidak, bukan itu maksudku. Ah, sudahlah. Ayo kuantar kau ke rumahku!" balasku sedikit heran lalu menggaruk tengkuk yang sebenarnya tidak gatal. Tak perlu banyak alasan lagi aku segera melangkah santai ke depan, ia pun menyusulku dengan sedikit berlari.
"Oh ya, namamu siapa?" tanyanya sembari menyamakan langkah kakiku.
"Panggil saja, Abid!" jawabku tanpa sekalipun menoleh ke arahnya.
"Senang berkenalan denganmu!"
"Ya."
Aku berjalan melewati setiap rumah, keadaannya juga masih sama persis apa yang terlihat sedari awal. Nuansa antar rumah pun berbeda-beda, tetapi yang lebih mendominasi adalah warna hitam-putih. Kebanyakan orang di sini menyukai warna itu, lain halnya dengan diriku.
Pasti sekarang paman serta bibi sudah menungguku. Aku kembali mempercepat langkah. Akhirnya jarak kami pun merenggang aku yang sudah berada di depan, sedangkan ia masih jauh di belakang. "Tunggu!" Suara yang bisa-bisa membuat kedua telingaku ini tuli seketika. Aku masih tetap pada posisi tak memelankan langkah sama sekali. "Oh ya, perkenalkan. Namaku, Eranevrada!" Secara tiba-tiba aku menghentikan langkah lalu menoleh ke arahnya.
"Iya, aku sudah tahu itu!" Lalu kembali berjalan.
"Bagaimana, kau bisa tahu?" Aku terus berjalan.
"Abid! Bagaimana kau bisa tahu?!"
"Hemm ... iya, tadi ada seseorang yang mengucapkan namamu, Vrada!" ucapku sembari memperlambat jangkah.
"Apakah mereka ... pengawal kerajaan?"
Kedua kakiku rasanya tak ingin melangkah ketika mendengar kata-kata yang menyangkut kerajaan. "Kemungkinan iya, yang kutahu hanyalah pakaian yang mereka kenakan!"
"Berarti benar, apa kata hatiku! Semua itu rencana, Raja Obero." ucapnya mengalihkan pandangan ke arah depan.
"Kau baru menyadari ya? Siapa yang melakukan semua itu, yang membakar rumahmu?!" Aku mengernyit di hadapannya.
"Iya, aku tak tahu awalnya bagaimana, tetapi sewaktu aku tidur ada yang membekap seluruh kepalaku menggunakan kain hitam, spontan aku langsung pingsan. Dan saat sudah terbangun, begitulah keadaanku ... saat kau menemukanku!"
"Memang dasar. Mereka semua, Keparat!" sahutku lalu melangkahkan kaki kembali.
"Ya, begitulah!"
"Tapi ... apa hubungannya dirimu dengan, Raja?" tanyaku menelengkan kepala ke hadapannya.
Ia pun bersemuka denganku, raut wajahnya sulit untuk kutebak ... aku yakin, ia berbeda dengan yang lainnya! "Entahlah...." katanya sembari menggelengkan kepala.
Pagi itu matahari sudah muncul dengan sebagian bulatnya, tepatnya hanya setengahnya yang terlihat ... aku bisa merasakan, hangatnya sinar itu menembus bagian kulit luarku. Semua orang pun sudah mulai membuka sebagian pintu dari masing-masing rumah dan yang lain memulai aktivitas paginya. "Abid! Dari mana saja kau?!" teriak Harold. Ia adalah salah satu tetanggaku. Rumahnya bersebelahan dengan rumah lamaku.
"Jalan-jalan!" sergahku dengan tersenyum palsu.
"Oke, lanjutkan kawan. Aku mendukungmu!" sahutnya meninggikan nada suara.
"Apa-apaan dia itu!" cetus Vrada memicing ke arah Harold.
"Sudahlah, jangan hiraukan dia!"
Ya, sekarang kami sudah berada tepat di depan rumahku dulu. Seketika itu aku langsung memegang kenop pintu dan membukanya. Semuanya sama persis dengan sedari awal. Hiasan dari berbagai alat bertarung ... menghiasi sebagian dari tembok, tepatnya di atas perapian itu; pedang, tombak, panah....
"Ini rumahmu?!" Vrada melangkah masuk sebelum aku menyuruhnya.
"Ya!"
"Unik menurutku!" Ia melangkah menuju atas perapian lalu memegang kedua pedang yang menyagang di atas.
"Jangan sentuh itu!" ketusku sembari memegang pundaknya. Kemudian ia pun menatap mataku dengan tajam.
"Maaf ... aku tidak bermaksud ..."
"Iya, tidak apa! Mari kuantar ke kamarmu!" Jadi, sekarang aku harus mengantarnya ke kamarku ... itu pasti tidak! Kamar ayah dan ibu ... jangan, aku belum sepenuhnya mengenalinya. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayakan kamar mereka pada wanita itu.
Ceklek!
"Ini kamarmu! Sekarang kamu bisa tinggal di sini."
"Benarkah? Jadi aku boleh tinggal di sini?!" ucapnya membulatkan mata padaku kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman.
"Apakah wajahku terlihat meragukan?!" Aku mengernyit di depannya.
"Tidak ... bukan itu maksudku, tapi kita kan baru kenal. Apa kau tak merasa curiga denganku?"
"Tidak! Kalaupun iya, aku pasti tak akan segan-segan menebas kepalamu!"
Bersambung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top