Chapter 7
Sring! Sring! Sring!
Aku masih terpukul tentang apa yang menimpa ayah. Sejak kejadian dua hari yang lalu, dengan rasa antusiasme aku terus berlatih pedang bersama Paman Orad. Tak kupedulikan peluh yang terus bercucuran keluar dari seluruh tubuh ini, rasa lelah tak sebanding dengan rasa sakit yang kualami. Hampir setengah hari terus berlatih, mulai dari pagi menjelang senja disore hari ini. Aku masih memegang pedang buatan ayah. "Abid, apa kau tak merasa lelah?!" Suara paman terdengar begitu lesu bersamaan napas yang terengah-engah.
"Tidak, Paman! Aku ingin terus berlatih untuk menjadi diriku yang bisa mengalahkannya," balasku dengan mengatur napas agar tidak terengah-engah.
"Sudah Abid! Paman sudah tak sanggup lagi," sahutnya.
Trang!
"Ah, Paman ... kenapa pedang itu bisa jatuh begitu saja? Aku kan masih ingin berlatih!" cetusku sembari menatap lekat mata Paman Orad.
Memang sudah terlihat pada wajahnya yang tak ada semangat sama sekali, mungkin ia sungguh sudah sangat letih dengan menumpu kedua tangannya di atas lutut seraya mengatur napas dalam-dalam. "Sudahlah, kau saja yang berlatih sendiri. Kali ini, Paman benar-benar lelah!" Ia pun bangun mengedikkan badan di depanku, lalu pergi mengambil pedangnya dan kemudian berlalu meninggalkanku begitu saja. Sambil berteriak, "Ingat masih ada hari esok, dan pulanglah segera. Bibimu sudah memasak makanan untuk kita!" Tanpa sekalipun ia bersemuka denganku, dengan posisi yang berjalan membelakangiku. Menaikkan tangan kanan dan mengangkat jari jempolnya.
Ya, begitulah pamanku. Aku pun hanya menyunggingkan sebuah senyuman meski ia tak melihatnya. Dengan rasa semangat yang membara, aku terus mengayunkan pedang ini. Bagaikan seseorang yang sedang diombang-ambing dengan mulus, bahkan mengakibatkan seseorang itu menjadi pusing seketika. Lain halnya pedang ini yang menerus bergesekan satu sama lain, maka semakin tajamlah lempengan perunggunya.
Sing!
Sing!
Setelah sekiranya sekarang matahari mulai menenggelamkan dirinya di bawah kaki bumi dan akan berganti dengan kerlap-kerlip bintang pun cahaya rembulan ... jika cuaca tidak mendung. Layaknya diriku sekarang, kuharap cuaca kali ini benar-benar terang dari dua hari sebelumnya. Sejak kematian ayahku. Bukan hanya diriku saja, bahkan alam pun ikut menumpahkan airnya....
Aku berjalan, menuju sebuah rumah yang mungkin dulunya kuanggap sebagai rumah dari paman juga bibi. Namun, sekarang sudah kuanggap sebagai rumah sendiri. Tiga hari ini aku tinggal bersama paman juga bibi, tetapi terkadang aku juga mengunjungi rumah lama. Dengan beberapa kali kubersihkan bagian dalamnya, dan tak lupa mampir di galeri ayah dengan setiap kali aku berkunjung. Pandanganku selalu tertuju pada depan tungku yang biasanya ayah menempa perunggu-perunggu itu dengan antusias.
Namun, berbeda dengan sekarang yang terlihat hanya tungku kosong tak terdapat bara api. Dan yang paling tak kuterima sampai sekarang, ia sudah meninggalkanku dengan sangat jauh. Begitu jauh hingga tak kuasa kumenarik ulur tangannya. Padahal baru kemarin ia meninggal dan rasanya seperti sudah berminggu-minggu.
Cklek,
Krittt!!
Ya, beginilah derit pintu sederhana ini ketika ada yang membuka maupun menutup tanpa mengucapkan salam pun, seseorang pasti sudah tahu jika ada yang baru masuk atau sebaliknya. Dengan melepaskan alas kaki, segera aku menyagangkan pedang tepatnya di dekat pintu masuk ini. Aku berjalan dengan santai, dan tujuanku mengarah ke kamar mandi ... tapi aku harus terlebih dulu melewati dapur. Pastinya dengan kedua orang tua itu.
"Nak, mari makan dulu!" Suara lembut wanita itu menyeruak di kedua telingaku. Memang aku sudah mengiranya ia pasti akan memanggilku dan menyuruhku untuk makan.
"Nanti saja, Bi. Aku mau mandi dulu!" balasku sembari memasang senyum palsu yang manis.
Kulihat Bibi Sorey sudah menyiapkan semua makanan, di masing-masing piring tentunya terdapat tiga piring yang tertata rapi di atas meja makan. Paman yang terlihat semangat, lalu ia pun menyunggingkan senyum di hadapanku, ya, meski senyumnya masih terlihat manis milik ayahku. "Sudahlah. Ayo, Nak!" Paman dengan langkah panjangnya, menuju ke arahku serta merangkulku dan mengajak secara paksa sembari melontarkan senyum pahitnya. Itulah senyum yang kadang membunuhku!
Aku hanya mengikuti ajakannya. Duduk di tengah dengan bibi juga paman berada di samping kiri pun kanan. Sebenarnya aku tak begitu nafsu kali ini, tetapi mau bagaimana lagi ... ya, semua aku paksa masuk ke mulut. Sebelumnya bibi yang menyuapiku. Ah, benar-benar memalukan! Jika ada anak yang masih berumur di bawah sepuluh tahun pun ia pasti akan menertawakanku. Bayangkan saja besok adalah hari bertambahnya umur, untuk yang ke-tujuh belas tahunnya. Dengan sangat lahap bibi menyuapiku hingga semua yang masuk masih menggumpal di mulut, mengunyah saja pun susah. Apalagi menelan. "Sudahlah, Bi. Aku bukan anak kecil!" Aku terpaksa berbicara hingga sebagian dari apa yang masuk ke mulutku, muncrat keluar.
Setelah selesai kukunyah dengan penuh bersusah payah, akhirnya makanan yang masuk ke mulut pun jatuh ke dalam perut. Ya, setelahnya aku langsung beranjak pergi menuju semula tujuan utama. Yaitu pergi untuk berendam dengan air hangat, merupakan salah satu hobiku karena memang cuaca di sini sungguh sangat dingin. Ada saatnya kita menenangkan diri dengan cara sesuatu yang kita sukai!
Tak butuh waktu cukup lama, segera aku pun membalut tubuh dengan pakaian. Kali ini aku menggunakan pakaian yang sengaja ibu rajut dari kain wol untuk diriku, ini adalah kenangan satu-satunya yang kupunya darinya. Warna yang sangat kusukai, biru yang melambangkan: kebijakan, kelembutan, air, laut, kreativitas, cinta, kedamaian, loyalitas, kepandaian, kekuatan, kepercayaan diri, kestabilan, idealisme, dan kasih sayang. Mungkin itu saja yang bisa kuutarakan, dan yang lain pun masih banyak arti dari warna biru.
Hari yang sudah mulai gelap dipadu dengan terang oleh cahaya bulan purnama.
Yang kutahu, bulan purnama itu bulat dan besar. Bukan hal biasa yang pernah kulihat sebelumnya, aku membayangkan jika kali ini bisa memegang bulatnya. Dengan kuulurkan tangan ke atas jendela mencoba menangkap ... itulah hal bodoh diriku yang kadang timbul disaat ada kegagalan dalam diriku, gagal akan menyelamatkan seseorang yang begitu berharga, melebihi sebuah emas pun berlian....
Sepi, gelap, senyap. Yang ada hanya suara krik krik yang terdengar. Dan kerlip bintang pun ikut mendekorasi langit malam yang dingin. Aku masih memposisikan tubuh, tepatnya terduduk dengan meletakkan kaki di atas dan bersandar pada ambang jendela kayu yang terbuka penuh, agar leluasa diriku untuk menikmati kesendirian ini.
Ya, kuharap malam ini ada sesuatu yang indah terjadi!
Sekarang aku tak tahu, bagaimana keadaan ibu di sana ... dengan kakek, sebenarnya ia tak pantas kupanggil kakek. Lebih pantas aku memanggilnya dengan sebutan bengis keparat! Aku sungguh sangat muak terhadapnya. Muak dengan segala apa pun yang menyangkut tentangnya, memang sebagian dari darah yang mengalir di tubuhku adalah darah dari keturunannya. Tak apalah, yang terpenting aku tidak akan menjadi seperti dirinya....
Semua masyarakat kota Barrow ... aku merasa kasihan pada mereka, yang tak bersalah pun menjadi budak dan disiksa keras oleh para pengawal. Itulah bayanganku ketika budak berada di bawah penglihatan Sang Raja. Ada mata meski bukan menggunakan kedua mata dengan iris warna hitam pekat milik Raja.
〰〰
"Tidak, jangan!
Ibu, jangan pergi dariku. Aku akan segera menyelamatkanmu. Membawamu jauh dari kastil ini, tapi tolong tunggu aku, Bu!"
Secepat kilat, bayangan hitam itu menyambar. Dengan beberapa kali merasuk ... dua pedang panjang itu ditembuskan bersamaan tubuhnya yang bisa menembus tubuh ibu. Lalu tubuh ibu pun mulai lelah untuk menghadang sebuah bayang hitam itu, dengan tak sadarkan diri ia jatuh ke lantai, mungkin itu hanya sebuah bayangan hitam. Namun, bagaimana mungkin bayangan hitam itu bisa meluluhkan tubuh ibuku, darahnya sudah memenuhi bibir lantai yang semula berwarna cokelat seketika berubah menjadi merah menyala. Inginku berlari, menyelamatkannya dari maut, tetapi aku terhalang oleh sesuatu yang merantai kedua tanganku ke sisi samping juga kanan. Aku baru sadar ternyata beberapa pengawal sudah berada di sekitarku mengepung diriku, beberapa juga terdapat Cerberus dengan mengeluarkan liur yang kadang membuatku ingin muntah. Berulang kali aku memaksakan rantai ini, hingga membuat lekukan pada pergelangan tangan dan kalau dipikirkan itu sungguh sakit. Namun, itu tak masalah bagi diriku. Aku tak selemah itu, ingat ada dua darah yang mengalir di urat tubuhku.
Untung kaki serta tubuhku tak dirantai, aku dengan mudahnya melompat keatas seraya kedua kaki mengayun keras ke arah dua pengawal di samping. Kuanggap ia sungguh sangat bodoh, tanpa menyadari gerak gerikku kedua pengawal itu jatuh. Terlihat ini bukan hal yang sepele, tetapi yang sungguh membuatku ingin tertawa adalah tiang yang mengikat rantaiku hanyalah sebuah tiang penyangga lampu yang terdapat di atas sana. Sekali lagi, sekuat tenaga aku mengayunkan tubuh membuat penekanan pada rantai ini, hasilnya pun tak sia-sia. Kedua rantai yang mengikatku ikut lepas dari tiang yang mengikat di ujungnya. Jangan remehkan! Masih ada empat pengawal, dua belum beranjak berdiri. Ini kesempatanku untuk menghabisi ke-empat pengawal itu. Tak salah aku memutuskan rantai ini dari pengikat di ujung tiang itu, spontan kedua rantai yang masih terikat oleh pergelanganku. Aku lilitkan pada telapak tangan yang sengaja kubuat sebagai senjata utama.
Empat pengawal itu langsung menyerbu, aku yakin meski mereka pun membawa pedang ... itu tak masalah! Untuk yang ke-tiga-kalinya aku melempar rantai ini layaknya pecut yang melambung tinggi sejajar dada, aku terus memainkan kedua rantai yang melilit dengan berpikir menggunakan otak kanan serta kiri. Satu; terkena wajahnya. Dua; rantai itu melilit ke lehernya yang sengaja aku tarik sekuat tenaga, sehingga membuahkan hasil yang sangat memuaskan. Bersamaan itu ke-empat pengawal sudah mati. Kali ini, benar sulit untuk diriku. Dua pengawal tadi sengaja melepas rantai yang mengikat salah satu leher Cerberus. Dan benar apa yang kalian pikirkan, dengan secepat kilat. Tiga Cerberus menuju ke arahku! Sasaran yang sungguh tak salah lagi, dua menggigit bagian lengan. Sedangkan satu masih menatap tajam ke arahku, aku yakin anjing keparat itu ingin mengoyak bagian kepalaku dengan sekaligus menggunakan ke-tiga kepalanya!
"Dasar! Argghhh...." Satu dari Cerberus itu langsung menerkam tubuhku menggunakan ketiga kepalanya. Sungguh aku bisa merasakan taring itu menembus depan perutku serta pinggang. Perlahan aku semakin lemah, tak sanggup untuk melepas terkamannya. Dengan sisa tenagaku, mencoba untuk bangkit. Aku melempar dengan sekaligus kedua Cerberus yang menggigit lengan, meski sebagian dari kulitku sudah mengelupas. Rasanya perih dan panas. Hingga aku menggigit bibir bawah sampai mengeluarkan darah, karena memang tak tersadarkan kedua taringku muncul dengan tiba-tiba.
"Taring?!" teriakku. Ya Tuhan, ternyata hanya mimpi. Keringat dingin sudah penuh membasahi seluruh pakaian yang melilit tubuh ini. Seketika itu aku langsung mengusap bagian kening menggunakan telapak tangan. Mimpi yang sungguh menyeramkan, tetapi bagaimana bisa aku menjadi kuat seperti itu. Menahan terkaman Cerberus yang kutahu air liurnya pun mengandung racun. Dan satu pertanyaanku ... taring? Muncul dengan tiba-tiba! gumamku. Apa yang terjadi padaku, itu kali pertamanya diriku melihat memiliki dua ruas gigi lancip. Aku Segera beranjak berdiri menuju sebuah cermin berukuran kecil, kupandang wajah terutama pada gigi. Tak ada yang berbeda masih sama seperti yang dulu. Untung saja!
Bersambung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top