Chapter 5
"Orad!" Ayah terkejut, "apa yang kau lakukan?!" Segera ayah pun membuang bara perunggu itu ke dalam ember yang berisi air lalu berjalan ke arah paman Orad.
"Pergilah El ... da--dan bawa istri serta anakmu!" balas paman Orad dengan suara seraknya.
"Apa yang kau katakan? Ada apa Orad? Tolong jelaskan!" tanya ayah lalu membantu paman Orad untuk berdiri, aku pun ikut serta menarik lengannya.
"Raja Obero. Raja Obero bersama pengawalnya datang kemari!" Apa?! Raja Obero, aku pernah mendengar kata itu sebelumnya, tetapi dimana. Ya, yang benar saja. Buku diary milik ibu, ia adalah ayah dari ibuku tepatnya kakekku. Apa yang terjadi aku tak mengerti dengan semua ini, tentang buku itu, mungkinkah itu semua nyata. Tak pernah sekalipun ibu memberitahuku tentang seluk beluk dirinya ataupun Raja. Kukira buku itu hanya sebatas karangan ibu saja.
"Abid! ... Abid!" teriak ibu, jelas itu teriakannya tepatnya di luar ruang ini. "El, Abid ... cepat kalian pergi dari sini!" Tiba-tiba ibu datang dengan mengenakan pakaian anehnya. Belum pernah aku melihat ibu dengan berpakaikan jubah hitam seperti itu. Aku pun terbelalak di hadapannya, yang semula kukira ia Ibu yang sangat penakut, tetapi malah sebaliknya ia berjalan menuju pojok ruang ini. Dengan gagahnya memegang busur serta anak panah yang menyagang, lalu tak lama setelah itu ayah pun menghampiri ibu dan berbisik di telinganya. Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas. Namun, samar-samar masih bisa terdengar oleh kedua telingaku.
"Apa yang ingin kau lakukan, Eliz? Cukup! Aku tidak mau kau dibunuh oleh Ayahmu sendiri," kata-kata yang keluar dari mulut ayah.
"Tidak, tujuannya kemari hanya satu. Dan bukan untuk membunuhku lagi, melainkan---" Belum selesai ibu berkata, yang sebelumnya bersemuka dengan ayah. Ia langsung berpaling dan menatapku, aku semakin bingung bahkan mengernyit di hadapan mereka. Ayah langsung memegang kedua lengan ibu sembari menggelengkan kepala. "Tidak El. Sudah saatnya Abid tahu semua ini!" Lalu ibu berpaling dari ayah dan beranjak melangkah maju ke arahku. Ia memegang kedua lenganku ditambah lagi tangan kanannya merapikan rambut di ujung kepalaku dan berkata, "Ibu sangat menyayangimu nak, dan Ibu meminta satu permohonan. Pergilah sejauh mungkin dari sini atau tinggalkan kota kelahiranmu ini, jauh-jauh dan jangan pernah kembali ke sini!"
Apa? Ibu menyuruhku pergi dari sini, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?
"Tapi, Bu?"
"Tidak, Abid. Ini untuk yang terakhir kalinya, Ibu meminta permohonan padamu," sahutnya. Seketika itu sepasang mata ibu pun mulai memerah dan tak sengaja air mata itu jatuh. Sebelum ia jatuh ke lantai aku dengan sigap menadahi air mata itu menggunakan kedua telapak tanganku.
"Aku tidak akan meninggalkan kota ini, apalagi harus meninggalkan Ibu serta Ayah!" balasku sembari mengusap air mata yang mengalir melewati lekuk wajahnya.
Prang!
Beberapa kaca pun pecah berserakan tak karuan dimana-mana bersamaan anak panah bermata perak lancip itu jatuh tepat di sisi kananku. Kami berempat pun terkejut setelah mendapati kejadian itu, apalagi ibu. Ia langsung mengambil anak panah itu dan memandang tajam perak lalu beralih pandang ke arah jendela yang terkena bidikan. "Eliz," ucap ayah memegang pundak kanannya, lalu ibu pun membalasnya dengan sebuah anggukan serius.
"Orad, tolong jaga anakku!" kata ibu menatap tajam ke arah paman Orad.
"Baik, tuan putri!" Sebelum ibu meninggalkanku ia mencium keningku dengan sangat lembut dan akhirnya berlalu keluar ruangan meninggalkanku.
Kulihat ayah pun segera mengambil pedang perunggu miliknya lalu berjalan dengan tergesa-gesa ke arahku. "Nak, pergilah sejauh mungkin dan kembalilah bila kau sudah mengetahui siapa jati dirimu yang sebenarnya." Itulah kata terakhir ayah yang diucapkannya padaku sembari senyum yang tersungging di bibirnya dan pergi begitu saja meninggalkanku.
Seketika itu aku ingin mengejar ayah. Namun, usahaku dikekang oleh paman Orad yang memegang keras pergelangan tangan kananku. "Paman biarkan aku pergi!" Aku menoleh ke arahnya.
"Tidak, aku sudah berjanji pada Ayah serta Ibumu!" balasnya sembari menggeleng.
"Tidak, Paman! Aku sudah dewasa, ini saatnya diriku tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku penasaran tentang buku yang kubaca tadi pagi, hanya buku itu yang memberitahuku tentang semuanya, tapi sebelum aku menyelesaikannya Ibu sudah merampas itu dariku." Lalu aku pun menarik paksa lengan yang digenggam erat oleh paman Orad.
Tak akan kusia-siakan. Segera kuberlari keluar dari ruangan ini, meninggalkan paman Orad mencari ibu serta ayah. Pandanganku yang masih menatap ke arah sekitar, dengan teliti aku menoleh ke arah kanan serta kiri. Hal itu kulakukan berulang kali, bahkan berkali-kali layaknya orang yang tersesat. Kulihat mereka pun berlalu lalang tak karuan di samping, depan, dan dimana-mana. Masyarakat kota ini terlihat ketakutan serta bingung, dan itulah yang dilakukannya terbirit-birit hingga beberapa kali tersungkur ke tanah yang tertutup tipis butiran putih beku itu. Dan terlihat juga beberapa pengawal kerajaan itu menyeret beberapa orang.
Sedangkan pandanganku masih terfokuskan untuk mencari ayah dan ibu, yang belum terlihat oleh pandang mataku. Dengan sangat khawatir, aku mulai berjalan dengan langkah seribu. Aku juga tidak bisa mendengar suara mereka, seandainya mereka berteriak atau sebagaimananya. Mungkin saja itu mempermudahkanku untuk menemukan mereka berdua. Hanya suara berat masyarakat yang menderu di telingaku.
Tiba-tiba seorang lelaki paruh baya, ia tak menyadari bahwa sudah menabrak tubuhku dan akhirnya kami pun sama-sama terpental dan jatuh ke tanah salju yang dingin. Aku pun segera berdiri dan berkata, "Maaf, Pak. Saya tidak sengaja," lalu melangkah ke arahnya sembari menolongnya dengan mengangkat kedua bahunya.
"Tidak, Nak. Saya yang seharusnya meminta maaf." Lelaki paruh baya itu menatapku nanar. "Kau mau kemana? Kami semua berlari ke arahmu, sedangkan kau malah sebaliknya."
"Saya mau mencari, Raja Obero!" jawabku sembari tersenyum.
Terlihat sungguh pada tatapannya yang terkejut, ia pun mengernyitkan dahinya. "Kenapa kau ingin menemuinya? Jangan, Nak. Jangan temui, Raja yang murka itu! Kau akan dijadikan budak olehnya jika ia melihatmu."
Responku yang sungguh santai di hadapannya, hanya senyum manis yang kulontarkan ke arah lelaki paruh baya itu. "Pak, hati-hati ya. Sekarang saya ingin menemui Raja itu!" Lalu aku pun segera melepas peganganku pada kedua bahunya seraya meninggalkannya.
Masih terlihat jelas pada raut wajahnya, ia merasa kasihan padaku jika apa yang ia katakan itu akan terjadi. "Semoga Tuhan selalu memberkatimu, Nak!" kata yang ia lontarkan, meski suaranya tak begitu jelas, tetapi masih bisa terdengar oleh pendengaran tajamku.
Tujuanku sekarang berlari ke pusat kota, tepatnya di depan balai kota. Beberapa suara yang terdengar cukup membuatku miris. Suara pecut yang mencambuk bagaikan kilat yang menggelegar di kuping serta jerit-jerit yang menyeruak. Apa yang terjadi?
Aku hampir sampai di balai kota yang tak jauh di depan dengan tertutup gedung tinggi itu.
Kuatur langkahku ketika sudah tepat di samping gedung tinggi ini, dengan sedikit mengendap-endap menyusuri tembok gedung ini. Kulihat sado itu terparkir tepat di depan balai kota, pandanganku semakin memicing lalu sedikit kumiringkan tubuh ini agar lebih leluasa memandang. Dan yang benar saja, apa yang kulihat ini. Mereka masyarakat yang tinggal di kota ini duduk berlutut di hadapan seseorang ... tak begitu jelas dari sini. Namun, terlihat ia memakai pakaian yang berbeda denganku ataupun masyarakat di sini. Pakaian yang terlihat seperti bangsawan dengan membawa pedang tepat digengam pada tangan kanannya....
Apa itu Raja Obero?
Lalu masyarakat yang berlutut tadi berdiri berbaris dan berjalan. Bersamaan suara cambuk yang sangat keras, menuju sebuah kurungan ... lebih tepatnya sebuah kerangkeng bukan berpagar besi, melainkan kayu serta bawah yang diberi roda dan dijalankan oleh dua pasang kuda yang berbaris serta tali pada masing-masingnya....
Apa mereka akan dibawa ke istana dan dijadikan budak, seperti kata lelaki paruh baya tadi?!
Sekilas aku tak sengaja mengalihkan pandanganku tepat ke sisi samping Raja itu, wanita berjubah hitam itu mengendap-endap di balik tembok rumah yang terbilang hampir roboh, dengan mengangkat busur serta anak panah yang sudah memasang pada tempatnya. Ia dengan tegap dan terlihat begitu tegang, pandangan yang sungguh fokus pada bidikannya. Ya, tepatnya. Ia ingin membidik sasarannya yakni Raja itu.
Beberapa kali kuarahkan pandangan tepat pada wanita juga Raja itu. Jarak yang tidak begitu jauh sekitar tigaratus meter berbanding lurus dengan arah Raja itu berdiri.
Tunggu, wanita memakai jubah hitam? Semoga saja apa yang kupikirkan itu salah, jika memang ia adalah Ibuku!
Apa yang merasuki pikiranku ini. Mana mungkin itu ibu, ia begitu sangat pemberani. Belum terlalu jelas, aku memandang melewati sisi samping wajahnya. Dan seketika itu anak panah miliknya diluncurkan melayang ke atas permukaan, tertuju tepat ke arah Raja ... pandanganku pun mengikuti arah melesatnya anak panah itu dan ya, ia menancap tepat sasarannya. Jantung yang merupakan organ vitalnya....
Bersambung!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top